Pagi hari di rumah Haru, suasana masih terlihat sepi. Ayah dan Papa belum bangun karena semalam mereka memiliki pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini. Sementara bayi mereka sudah duduk di teras rumah setelah berhasil membuka pintu menggunakan tangga kecil miliknya. Semalam Jazaa lupa mengunci pintu sehingga Haru bisa keluar dengan mudah. Papa selalu bilang, jika Haru bangun dan dia melihat Ayah juga Papa masih tidur, Haru tidak boleh menganggu. Dia bisa pergi ke ruang bermain atau menonton televisi mengingat Haru sudah bisa menyalakan ataupun mematikan tv. Tapi kali ini karena pintu rumah tidak di kunci, Haru bisa dengan bebas duduk di teras seraya menikmati sejuknya udara pagi.
"Haru? Lagi apa sayang?"
"Mowniiingg Papi." Haru tersenyum kemudian menghampiri Ansel di sebelah rumahnya.
Kemarin Jibran baru saja membobol tembok pembatas rumah lalu di ganti oleh gerbang kecil. Ini akibat dari ulah anak sulungnya yang bisa kapan saja pergi ke rumah Haru. Bahkan Jessan pernah satu hari full diam di rumah Haru mengabaikan Jefry yang merasa Kakaknya melupakan dia setelah kehadiran Haru. Karena khawatir sang putra sering keluar gerbang, alhasil Jibran pun membobol tembok dan membuatkan pintu akses sehingga anak itu tidak harus membuka gerbang jika ingin pergi ke rumah Haru. Agak repot memang, tapi demi keselamatan kenapa tidak, Jibran takut Jessan tiba-tiba berlari ke warung depan mengingat tingkahnya yang begitu ajaib.
"Morning juga gemes. Ayah sama Papa mana?"
"Matsih tidul. Hawu banun hauts Pi."
Ansel tersenyum gemas. "Mau ikut Papi ke rumah?"
"Bowleh. Tapi Hawu belum bilan Papa."
"Gak apa-apa. Nanti Papi yang kasih tau."
Haru mengangguk setuju. Dia menerima uluran tangan Ansel untuk masuk ke dalam rumahnya. Mata Jessan berbinar saat dia melihat siapa yang datang. Mengabaikan mainannya yang berserakan di depan tv dia berlari menghampiri Haru kemudian memeluknya dengan sayang.
"Pagi cayang."
"Heh, di ajari siapa kamu ngomong gitu?" Ansel menatap putranya.
"Ddi kawo pagi-pagi begitu cama Papi."
Ansel menghela nafas. Sepertinya dia harus mengurangi keromantisannya bersama Jibran di depan Jessan. Anak itu begitu cepat menyerap hal-hal yang harusnya belum boleh dilakukan batita sepertinya.
"Main sama Haru ya? Papi mau ngabarin Papanya dulu."
"Oke. Ayo cini cayang."
'Anjir gue tempeleng juga lu lama-lama.' Ansel membatin saat lagi-lagi Jessan bicara seperti orang dewasa.
Jessan dan Haru anteng bermain di depan tv. Untung saja Jefry belum bangun, bayi yang sekarang sudah berumur 11 bulan itu masih tertidur nyenyak bersama Jibran karena semalam tidur larut. Ansel juga bisa memasak dengan tenang karena Jessan sudah sibuk bersama Haru. Jika mereka hanya berdua, Ansel jamin tidak akan ada keributan karena Jessan tidak akan berulah. Kecuali jika keduanya bermain bersama Dareen atau Jefry, entah kenapa Jessan selalu bersikap menyebalkan sehingga kerap membuat kepala Ansel pusing bukan main. Sepertinya Jessan memang benar-benar menyukai Haru sampai dia tidak rela membaginya dengan orang lain sekalipun itu adiknya sendiri.
"Jeje..." Tangan gempal Haru menepuk-nepuk pundak Jessan.
"Iya tenapa Halu?"
"Hawu mau mam."
"Ayo ke dapul." Jessan menggandeng tangan tetangganya, "Papi, Halu mau mam."
"Haru mau mam?" Ansel menghampiri ke-duanya kemudian berjongkok, "Tunggu sebentar ya? Nanti Haru mandi dan main disini dulu oke? Papa bilang, Papa mau nyiapin buat ulang tahun Haru nanti sore."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Hawu Daily Life || jiyosh ft haruto
FanfictionHaruna, bayi berusia 2 tahun kurang 1 bulan terpaksa harus tinggal di lingkungan baru akibat pekerjaan Ayah yang harus pindah. Anak semata wayang Jazaa dan Yasa ini sudah fasih berbicara meskipun ada beberapa pelafalan huruf yang masih harus dibenar...