Chapter 1-Balik

32 2 0
                                    

Ini Gila!!

Sepulang sekolah, Abell ditelepon papinya. Dikarenakan dirinya jauh dari orang tua, dia pun senang bukan kepalang. Namun setelah berbicara beberapa saat dengan papinya, Abell dihadapkan dengan kabar buruk. Sangat buruk malah. Tapi kabar buruk baginya, pasti membuat sang mami jingkrak-jingkrak ria. Ya, dia harus pindah sekolah ke Jakarta lagi, garis bawahi lagi.

Setelah setahun Abell bisa hidup tenang di Bandung, dengan teganya papi menyuruh kembali ke sana lagi. Memang papinya belum tahu saja, jika disana dirinya pernah tersiksa. Dan itu pun juga karena anak buah sang papi-Bagas Aji-yang sialnya mantan pacar Abell sendiri.

Perkenalkan, dia adalah Audrina Serabelle Abhivandya anak bungsu dari Airlangga Abhivandya dan Indira Abhivandya. Abell punya dua saudara, kakak pertama Ashalira Saravani Abhivandya dan kakak kedua sekaligus kembarannya, Argathan Reinaldo Abhivandya.

"Pokoknya Papi nggak terima penolakan ya, Bell. Kamu harus mau pindah ke Jakarta! Kalau kamu nggak mau pindah, jangan harap Papi kasih uang jajan lagi. Nanti biar Papi kasih ke Gathan sama Asha aja."

Horror!

Nggak rela lah seorang Abell menyerahkan uang jajannya pada dua kakaknya. Terlebih kakak perempuannya itu.

"Ya jangan atuh, Pi. Nanti Abell jajan apa? Tega banget sama anak sendiri. Gini aja, Pi. Gimana kalau Abell tiap weekend ke Jakarta, temu kangen gitu sama kalian." tawar Abell. Sumpah demi apapun dirinya tidak ikhlas kalau disuruh pindah lagi ke Jakarta lagi.

"Nggak ada temu kangen-temu kangen kayak gitu. Pokoknya Papi mau kamu pindah. Kalau nggak bisa pakai cara baik-baik, Papi yang bakal samperin kamu ke rumah Eyang dan seret kamu pulang!" tegas Papi sekali lagi yang membuat Abell membelalak takut. Enak saja, cewek cantik diseret-seret.

Tapi gadis itu tidak heran lagi sih dengan sifat papinya, secara beliau adalah seorang perwira TNI AD. Dari kecil pun Papi udah biasa didik anaknya dengan tegas.

Jika diingat,dulu waktu anak-anaknya masih kecil, habis subuh pasti Papi tidak akan membiarkan mereka tidur lagi. Papi pasti ngajak olahraga dan itu sifatnya wajib banget. Habis itu langsung siap-siap buat sekolah dengan waktu yang Papi tentukan. Kalau telat lima detik aja, dijamin deh bakal ada ceramah tentang kedisiplinan. Hahaha.

"Hallo! Bell, kamu dengerin Papi ngomong nggak sih??"

"Eh iya, Pi. Abell denger kok."

"Yaudah, kamu tinggal siap-siap aja. Urusan sekolah biar Papi yang urus. Kamu terima beres aja."

Abell pun hanya bisa menghela nafas, Papi mana mungkin bisa dibantah. "Fine, aku pindah."

"Emang seharusnya gitu!" seru Papi yang merasa menang.

"Kasih aku alasan dong, Pi. Kenapa aku harus pindah lagi. Kan baru setahun aku di sini."

Abell bisa dengar suara hembusan nafas Papi dari ponsel. "Sudah selayaknya kalau Papi sama Mami sebagai orang tua ingin dekat dengan anaknya, Bell. Apalagi kamu anak bungsu."

"Itu aja, kah?"

"Ya terus kamu mau alasan apalagi?"

"Nggak tahu." balas Abell menggelengkan kepala polos dan pastinya sang papi tak bisa melihatnya.

"Dulu Papi nggak tahu apa masalah kamu, sampai menyebabkan kamu minta pindah ke rumah Yangkung. Dan karena Papi lihat kamu sedih kayak gitu, Papi setuju." itu karena anak buah Papi. Ingin rasanya Abell teriak ke papinya untuk menghajar anak buah brengseknya itu. "Papi rasa waktu satu tahun udah cukup untuk menyembuhkan luka kamu itu."

"Hemm, udah dulu, ya, Pi. Aku mau beres-beres." kata Abell guna mengakhiri percakapan ini. Gila saja, Abell sudah mau nangis mengingat kejadian setahun yang lalu. Luka hatinya masih belum sepenuhnya kering

"Iya, Sayang. See you. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Abell membanting ponselnya ke kasur dengan rasa dongkol. Dia juga harus packing barang-barangnya sekarang. Rasanya dirinya ingin nangis kejer sekarang. Tapi harus menahan air mata karena tidak mau mengganggu waktu tidur kakek dan neneknya.

Ya ampun ingin nangis saja berasa nyicil! Nggak bisa langsung plong.

"Sebel gue ihh!! Rasain lo!!" dan akhirnya Abell melampiaskan marah ke guling. Dia memukul guling secara brutal, seakan-akan guling itu adalah hal yang menyebabkan masalah. Tapi tetap saja tidak bisa plong.

Jam tujuh malam, Abell baru keluar dari kamar. Gadis itu langsung menuju ruang makan. Nangis juga nguras tenaga tahu!

"Mata kamu kenapa, Bell?" tanya Yangti melihat mata cucunya yang sembab.

"Abell nggak mau pindah, Yangti." rengek Abell sambil mengayun-ayunkan tangan Yangti.

"Bell, kali ini Yangti setuju sama Papi kamu. Bukannya Yangti nggak suka kamu disini, tapi kalau kamu tetap disini kamu nggak ada yang ngawasin. Nah kalau di Jakarta kan ada Papi kamu yang bisa ngawasin kamu." tutur Yangti penuh kelembutan. Kalau di halusin gini, gimana Abell tega mau debat coba.

"Udah, sekarang kita makan dulu. Yangkung udah lapar." Yangkung pun menginterupsi mereka berdua.

"Iya, Yangkung."

***

Cowok yang selalu diganderungi kaum hawa itu sekali lagi berhasil memasukkan bola ke ring basket lawan. Cowok bernomor punggung 16 itu bertos ria dengan tim nya.

Tribun penonton begitu ramai dengan suara yang sebagian besar dari kaum hawa. Mereka berulang kali menyerukan namanya. Tribun penonton dibuat semakin ramai tatkala si cowok menyugar rambut basahnya yang terkena keringat.

Laksamana Cakra, yang biasa dipanggil Laksa menyunggingkan senyumnya. Dan hal itu membuat tribun penonton SMA Garuda Sakti semakin riuh.

Laksa pun kembali fokus ke pertandingan. Meskipun jaraknya dengan bola sedikit jauh, tak lantas membuat cowok itu menyerah. Dan lagi-lagi dalam waktu singkat cowok itu berhasil merebut bola kemudian memasukkannya ke dalam ring. Baginya, pantang pulang sebelum menang.

Brukkk

Laksa mengusap bahunya yang bertubrukan dengan seorang lawan mainnya. Tak siap, cowok itu tersungkur.

"Kalau main nggak usah kasar!!" teriak cowok yang ditubruknya.

"Sorry, nggak sengaja." balas Laksa sambil mengulurkan tangannya.

"Halah alasan lo!" hardik cowok itu menampik uluran tangan Laksa. Dasarnya Laksa bukan orang yang sabar, emosinya pun tersulut dengan mudah. Laksa menarik kerah kaos Rivan-lawan mainnya-dengan kasar.

"Udah gue bilang, gue nggak sengaja, Njing!"

"Bukan gini cara nyelesein masalah," lerai Gibran-teman satu tim sekaligus sahabat Laksa-. Gibran berusaha melepaskan tangan Laksa dari kerah kaos Rivan. "Lak, udah."

"Pertandingan ini nggak sportif, gue mau pertandingan ini diulang minggu depan." timpal Mario, kapten basket tim Rivan yang berasal dari SMA Pancasila.

Laksa melepas cengkramannya di kaos Rivan. Ia tak terima dengan penawaran Mario. Menurutnya, Mario hanya mengelak karena tak bisa menerima kekalahan.

"Nggak sportif matamu!" umpat Bopak, teman satu tim Laksa lainnya.

"Diulang, ya? Boleh aja. Asal minggu depan kepala lo yang gue masukin ring." Laksa menanggapinya dengan santai. Satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan.

Mario yang tak terima dengan tanggapan Laksa mulai naik pitam. Cowok itu mengambil bola dan berencana melemparkan ke arah Laksa namun segera ditahan oleh Rivan dan Jodi, sedangkan Laksa juga ditahan oleh Gibran dan Bopak.

"Sini lo, Njing! Tangan kosong kalau berani!!" teriak Laksa berusaha melepas cengkraman tangan dua sahabatnya.

***

Bersambung...

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang