'Pas aku dolan jebul ketemu kowe neng dalan'
'Kowe konangan gendak an'
'Ngomongo... Jalokmu pie?'
'Tak turutane , tak usahakne'
'Aku ramasalah... yen kon berjuang dewe'
'Sing penting kowe bahagia endinge'
Lagu Nemen yang sedang viral di aplikasi Tik Tok itu lagi-lagi berkumandang di ruang tamu keluarga Abhivandya. Sang pelaku yang tak lain adalah putra tunggal Abhivandya itu sedang memperagakan goyangan demi goyangan ala Tiktokers.
"Than, sekali lagi kamu putar lagu itu lagi, Papi pukul pantat kamu pakai sutil mami." ancam Angga yang mulai kesal dengan tingkah anak lelakinya itu.
"Gak ada sutil-sutil mami. Enak aja, Mami pre-ordernya aja sebulan kok." sahut Indira yang tiba-tiba datang membawa teh untuk suaminya.
"Buset, sutil aja sebulan. Nah kalau dandang berapa lama, Mi? Setahun?"
"Ngapain Tanya? Situ mau beliin emang?" sewot Indira.
"Ya habis Papi kesel sendiri, Mi, lihat Gathan yang goyang-goyang gak jelas kayak gitu."
"Dih, gak jelas. Pi, sekarang Nemen lagi tren lho. Iya, kan, Mi?" Jelas Gathan sembari melirik maminya. Indira yang merasa tersindir pun gelagapan. Memang dia akui, beberapa hari yang lalu dia tak sengaja melihat anak muda yang sedang bergoyang ria di aplikasi Tik Tok milik Gathan. Dan setelah itu dia ketagihan lalu mendownload aplikasi itu. Gathan yang tahu maminya mengunduh aplikasi yang sudah pasti papinya tidak suka, merasa mendapat jackpot.
"Mami kenapa?" tanya Angga bingung.
"Nggak papa, Pi. Benar kata Papi, Than. Jangan sering-sering main gituan, ah. Mending kamu main PS aja dikamar sana." ujar Indira mengusir Gathan halus. Dia tak mau mulut tak terkontrol Gathan itu membongkar rahasianya. Nggak lucu dong jatah bulanan berkurang cuma gara-gara ketahuan kecanduan Tik Tok.
"Lho, Mi. Kok main PS, sih? Yang ada dia kesenengan dong. Nggak belajar." protes Angga pada istrinya.
"Udah, sekali-kali." putus Indira.
"Tapi kan—"
"Assalamualaikum, Mi, Pi." ucapan Angga terpotong saat melihat putri sulungnya yang baru saja pulang.
"Waalaikumsalam,"jawab mereka serempak.
"Alhamdulliah kamu udah pulang. Gimana seminarnya?" tanya Angga saat anak sulungnya yang beberapa hari ini mengikuti seminar di Yogyakarta.
"Lancar dong, Pi." jawab Asha yang lagi-lagi disertai senyuman.
"Gimmick-nya bukan kaleng-kaleng." sindir Gathan pada kakaknya itu. Pasalnya, Gathan sudah muak dengan kelakuan kakaknya yang sok manis dan sopan.
"Gathan! Jangan mulai deh!" peringat Indira. Gathan pun mengendikkan bahunya acuh kemudian berlalu ke kamarnya.
"Nggak papa, Mi." ucap Asha menenangkan maminya.
"Tapi kelakuan Gathan nggak sopan, Sha. Kamu itu kakaknya lho."
"Oh iya, Abell udah disini, dong, Mi?" tanya Asha mengalihkan pembicaraan.
"Iya, dia udah disini. Abell di kamarnya. Kamu kesana aja. Dia pasti senang." jawab Indira semangat karena anak bungsunya telah kembali. Asha yang mendengar perkataan maminya hanya tersenyum kecut.
Apa Abell akan senang berada di dekatnya setelah peristiwa setahun yang lalu? Rasanya tidak jika melihat tabiat Abell. Tidak. Dia sama sekali menyalahkan adiknya itu. Disini yang salah dirinya. Hanya dirinya. Dia jugalah yang menyebabkan keretakan hubungan persaudaraan mereka. Bahkan tak lama dari peristiwa itu, Gathan pun mulai memusuhinya.
***
Laksa dengan lesu menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah mendengar perkataan Gathan bahwa Abell belum move on, entah kenapa tiba-tiba dirinya seperti kehilangan gairah hidup. Memang terkesan lebay, tapi sungguh saat ini hatinya sangat sulit diajak kompromi.
Mata Laksa membelalak beberapa saat setelah membuka pintu kamar. Tumpahan snack di lantai, beberapa gelas kemasan minuman yang Laksa yakini harganya tak sampai lima ribu rupiah tergeletak di nakasnya, lelehan coklat di lantai disertai jiplakan kaki kucing di atasnya, seprei dan selimut yang tadi pagi rapi berubah kusut berhasil membuat Laksa naik darah. Dia tak sulit menebak siapa yang membuat kamarnya berantakan seperti ini, karena si pelaku masih duduk santai di kursi pojok kamar sambil mengelus punggung kucing kecil dengan penuh kasih sayang.
"Duyungg!" geram Laksa yang membuat gadis kecil terlonjak kaget.
"Eh, Bang Laksa udah pulang." ucap Dayu disertai cengiran khasnya.
Diah Ayu Prabawati, biasa dipanggil Dayu, namun sang kakak memlesetkannya menjadi Duyung adalah adik semata wayang Laksamana Cakra yang selisih delapan tahun saja. Walaupun masih sepuluh tahun, ada saja tingkah gadis kecil itu yang membuat Laksa kesal bukan main.
"Ngapain cengar-cengir kayak gitu? Tiap hari kok bikin kesel. Lama-lama Abang jadi pengin paketin kamu ke toko sembako." sewot Laksa pada adiknya. Walaupun dalam hati dia misuh-misuh, namun dia masih punya kewarasan untuk tidak melontarkannya.
"Jangan sewot, Bang. Aku udah baik, lho, mau mau jagain kamar Abang."
Jagain gundulmu. umpat Laksa dalam hati.
Sebenarnya Dayu ini turunan siapa, sih? Sukanya ngeles, sering ngajak ribut. Perasaan Laksa tidak begitu. Mungkin dari papanya.
"Ini siapa lagi? Kamu tahu kan abang gak suka kucing. Kok kamu berani-beraninya bawa kucing ke sini?? Hush hush." Laksa berjengit kaget tatkala bulu kucing mengenai kakinya. Bukannya takut kucing, tapi Laksa hanya tidak suka.
"Ish, Abang. Aisyah nggak salah apa-apa. Jangan diusir gitu dong. Kasihan."
Alis Laksa bertaut, di kamar ini tidak rasanya tidak ada orang bernama Aisyah. "Aisyah? Kamu ganti nama, Yung?"
"Kucing Dayu, Bang!" teriak Dayu. Seketika Laksa menjatuhkan rahangnya. Apa adiknya memang seabsurd ini? Bisa-bisanya menamai kucing dengan nama Aisyah. Memang sih, jenis kucing ini tergolong kucing mahal. Tapi apa ya harus Aisyah? Islami sekali.
"Mending sekarang kamu bantu Abang beresin kamar. Kalau enggak kita gelud sekarang." titah Laksa berusaha setenang mungkin.
"Emoh."
"Dayu!" geram Laksa setelah mendapat penolakan Dayu.
"Papaaaa!!" teriak Dayu melihat Abangnya mengambil ancang-ancang.
Beberapa saat kemudian Haidar datang, "Kenapa, Day?"
"Bang Laksa ngajakkin gelud, Pa. Dayu kan masih kecil. Mana cewek lagi." adu Dayu pada papanya. Sontak saja Haidar menatap tajam Laksa.
"Laksa, kalau mau gelud sini sama Papa aja. Beraninya kok sama anak kecil."
"Pa, Bukan gitu. Nih, kamar Laksa berantakan gara-gara anak Papa ini." balas Laksa sambil menunjuk-nunjuk Dayu.
"Ck, kan bisa diberesin. Nggak perlu adu urat." balas Haidar tak mau kalah.
"Ya suruh Duyung beresin, dong. Kan dia yang berantakin." sewot Laksa.
Haidar memandang putrinya yang memelas membuatnya tak tega. "Dayu kamu boleh keluar."
"Makasih Papaaa." seru Dayu lalu mengecup pipi papanya. Haidar pun hanya geleng-geleng melihat kelucuan anak bungsunya.
"Pa, kok gitu sih?? Nanti dia manja, lho." Protes Laksa tak terima.
"Kamu juga, sih. Udah tahu lagi Mama gak ada, nanti kalau Dayu nangis bukan cuma kamu yang kena semprot, Papa juga! Jangan bikin Papa tambah mumet bisa?" ucap Haidar sewot mengingat putranya yang gemar mengganggu adiknya dan sang putri yang gampang mengadu.
"Ck, lagian kenapa Duyung nggak ikut Mama ke Sukabumi, sih? Rusuh, kan, jadinya." gerutu Laksa.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden
Teen FictionHal yang tak terpikirkan oleh Abell ketika sang ayah menuntut dirinya untuk kembali ke Jakarta disaat dirinya belum sepenuhnya melupakan masa lalu yang meyakitkan. Audrina Serabelle, gadis remaja dengan sejuta perasaan membingungkan dihadapkan pada...