"Abell!"
Abell menghentikan langkahnya dan berputar seratus delapan puluh derajat. Ia mendapati seorang cewek bertubuh gempal dan bermata bulat tengah lari menghampirinya. Senyum lebar dari bibir Abell pun mulai nampak. Cewek yang Abell ketauhi bernama Bora itu merangkulkan tangannya di bahu Abell.
"Hai, Bora." sapa Abel.
"Gimana, PR? Lo udah ngerjain, kan?" tanya Bora.
"Gue kerjain sampai mabok juga masih aja ada yang kosong. Lo?" jelas Abell sambil menekankan kata masih.
"Sama lah. Nanti kita tanya Nasya." jawab Bora memberi saran sambil menepuk bahu teman barunya. Abell pun hanya mengangguk karena sudah pasrah, dia benar-benar menyerah pada soal-soal kimia itu.
"Emang bener-bener tuh, Pak Gito. Masa lo baru muncul sehari aja udah dikasih PR." gerutu Bora yang masih kesal.
"Heh, yang dikasih kan bukan cuma gue. Tapi sekelas."
"Udah tahu. Gue nih buktinya."
Abell tak menyadari bahwa aktivitas sederhana bersama Bora itu menarik perhatian Laksa. Apalagi saat Abell mengumbarkan senyumnya, jantung Laksa berdetak tidak karuan. Niat awal ingin makan di kantin sekalian bolos, namun ia urungkan karena melihat masa depannya di koridor.
"Duh, jantung biasa aja dong. Sabar dulu, nanti kalau waktunya tepat dan nggak ada pengganggu, kita mulai beraksi." gumam Laksa sembari mengelus dadanya. Dia pun memutuskan melangkah ke kantin daripada nanti masuk rumah sakit karena serangan jantung.
"Woy, kemana aja sih? Ditungguin daritadi nggak nongol-nongol!" oceh seorang cewek yang mengenakan oversize hoodie berwarna merah maroon.
"Nasya!" pekik Bora semangat, Abell pun tak mau kalah. Dia melambaikan tangannya begitu semangat pada Nasya
"Biasa, tadi gue mampir ke WarKep belakang sekolah noh." ucap Bora membalas pertanyaan Nasya.
"WarKep?" beo Abell bingung. Bukan bermaksud suudzon, tapi nama WarKep itu mau tak mau menuju ke apa yang dipikirkan Abell.
"Hayo, mikir apa? Ngeres nih pasti." goda Nasya.
"Sembarangan."
"Bukan warung plus-plus kayak dipikiran lo kok, Bel. Itu cuma warung biasa." terang Nasya cekikikan.
"Heh, gue nggak ngeres, ya!" sangkal Abell stay cool.
"Udah nggak papa, kok. Semua orang awalnya juga ngira begitu." timpal Bora yang juga cekikikan, namun beberapa saat kemudian dia memegangi perutnya.
Abell yang menyadari hal itu, mengerutkan keningnya. "Lo kenapa, Ra? Mens?" Nasya pun mau tak mau menoleh ke Bora.
"Duh, kayaknya gue tadi lupa nggak setor deh, habis mandi. Kalian duluan aja sana. Gue mau ke toilet, setor emas batangan." Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, Bora langsung saja ngacir. Maklum saja, berkat badan gempalnya dia harus cepat dalam berjalan saat ini. Dia tak mau kalau emas batangan itu jatuh pada tempat yang tidak diinginkan. Abell dan Nasya hanya geleng-geleng melihat Debora yang sedikit kesulitan saat berlari.
***
Sejak jam pelarajan dimulai, Abell telah kehilangan fokusnya. Hal itu karena Laksa yang sedaritadi bergerak-gerak gelisah. Ya, Abell terpaksa duduk sebangku dengan Laksa karena cowok itu tak melarang keras Abell duduk dengan Beno. Awalnya Abell menolak, namun Laksa tak mau kalah. Dan jadilah sekarang dia bebangku dengan playboy yang possessive bin bar-bar ini.
"Bisa diem, gak, sih?" geram Abell menatap Laksa.
"Duh, gue tuh lagi grogi, Bell. Harap maklum, gue lagi deket sama masa depan gue." balas Laksa yang tak mau menatap mata Abell. Dia benar-benar grogi. Tangannya dingin seperti mau pingsan.
"Yaudah, sih, pindah aja."
"Ogah! Gue tuh mau jagain lo dari cowok-cowok nggak bener lho, Bell. Kok malah diusir, sih?"
"Dih, gak ngaca dia. Lagian lo kayak yang paling iya aja, Lak." celetuk Bopak yang daritadi mendengar keributan kecil di depannya.
"Iya, Bop. Pasti lagi pikun tuh, hari ini jadwal mau ketemu ceweknya yang ke berapa." sahut Acid.
"Diem lo pada!" gertak Laksa mulai emosi.
Cukup! Hari masih pagi, dan dua temannya itu telah berhasil membuat kepala Laksa sakit karena naik darah.
"Laksa, Bopak, Acid! Maju kedepan dan kerjakan tiga soal ini! Bapak lihat kalian semangat sekali pagi ini." perintah Pak Gatot sekaligus menyindir tiga muridnya yang terkenal bandel itu.
"Maaf-maaf, nih, Pak. Sebenarnya saya mau aja ngerjain soal itu. Tapi alangkah baiknya Bapak memberikan soal itu pada orang yang lebih membutuhkan, misal Laksa." kelakar Acid yang dihadiahi tatapan tajam oleh Laksa.
Abell yang mendengar itu menahan tawanya. Sebenarnya ada rasa kasihan untuk Laksa, namun cowok itu tetaplah salah karena tidak mencatat sama sekali.
"Iya, Pak. Kami daritadi juga mencatat kok, nih sampai sehalaman. Jadi kami kurang lebih sudah tahu, Pak. Beda dengan Laksa yang buku aja nggak bawa." ujar Bopak membela dirinya dan Acid. Enak saja disuruh kedepan. Meresapi rumus pun tidak.
"Penghianat lo berdua!" seru Laksa menunjuk dua temannya. Sedangkan yang ditunjuk hanya memasang wajah mengejek.
"Saya maunya kalian bertiga maju sekarang! Gak ada penolakan!" putus Pak Gatot tak terbantahkan.
"Yah, Pak Gatot nggak asyik, ah." gerutu Acid yang akhirnya maju diikuti Bopak dan Laksa.
***
Bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Abell, Bora, dan Nasya memutuskan ke kantin atas saran Bora.
Setelah membeli makanan, mereka bertiga celingak-celinguk mencari bangku kosong. Namun entah kesialan apa yang dimiliki Abell, bangku yang tersisa hanya bangku di sebelah Laksa dan para sahabatnya.
"Bell, ayo! Udah lapar nih!" ajak Nasya yang membawa baki penuh dengan tiga mangkok soto.
"Iya, Bell. Duh, beruntung banget gue hari ini. Bisa duduk di sebelah Laksa and the genk. Oh iya, ada abang lo juga tuh." timpal Bora kegirangan.
Beruntung perutmu, Ra! gerutu Abell dalam hati.
Dengan kesal, Abell melangkah mengikuti Bora dan Nasya menuju bangku itu.
"Wihh, siapa, nih, yang datang? Calon masa depan Laksa ternyata." celetuk Bopak menyenggol bahu Laksa.
"Gak ada calon-calon! Udah gue bilang, Abell nggak boleh sama playboy kayak Laksa!" sewot Gathan tiba-tiba.
"Santai, Boss. Lagian gue bilang kayak gitu cuma buat nyenengin Laksa doang. Kalau gue jadi abangnya Abell, gue juga nggak rela kok." ucap Bopak yang terkekeh pelan.
"Hujat aja terus. Nanti gue kasih dooprize buat kalian. Pilih sekarang juga boleh deh. Mau pipi lo jadi ungu atau perut lo yang biru." Laksa menatap Bopak dan Gathan bergantian.
"Udah-udah, mending kalian makan deh. Mumet gue dengernya." lerai Gibran kemudian melahap gado-gadonya lagi.
"Bell, lo jangan mau dideketin si onoh. Buanyak minusnya." Peringat Gathan.
Abell hanya mengendikkan bahunya acuh. Menurutnya, semangkok soto lebih penting dari pembahasan ini.
"Rugi loh, Than, nolak gue sebagai calon adik ipar potensial. Kalau lo khawatir masalah mantan, tenang, testimoni mantan gue jamin bintang lima semua." rayu Laksa tak putus asa.
"Dih, mantan. Emang udah putus semua?" cibir Acid tiba-tiba membuat gelak tawa kembali mencuar.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden
Teen FictionHal yang tak terpikirkan oleh Abell ketika sang ayah menuntut dirinya untuk kembali ke Jakarta disaat dirinya belum sepenuhnya melupakan masa lalu yang meyakitkan. Audrina Serabelle, gadis remaja dengan sejuta perasaan membingungkan dihadapkan pada...