Chapter 11-Uring uringan

2 0 0
                                    

Lagi-lagi Gathan mengerutkan dahinya dan meringis tertahan. Dalam hati, tak henti-hentinya merapal kata sabar. Sudah setengah jam dia seperti ini. Bahkan kepalanya mulai pusing karena terlalu banyak berkerut. Dia menoleh melihat sosok di sampingnya lalu memejamkan mata.

Sejak dia dan Abell pulang dari rumah sakit, adiknya itu mendadak uring-uringan. Dan Abell punya kebiasaan saat dia gelisah, yaitu mencubiti bagian tubuh Gathan sampai kegelisahannya hilang. Ini belum seberapa, saat kecil bahkan Abell tak segan menggigit tangan Gathan jika gelisah. Sebenarnya Gathan bisa saja kabur, namun Abell pasti mengejarnya lalu menangis. Alhasil saat ini dia harus merelakan punggung tangannya yang malang.

"Bell, udah belum? Tangan gue keburu mati rasa nih!"

"Bawel, ih!"

Gathan menghela napas lelah. Ini sudah kelewatan. Tangannya benar-benar sakit. Apalagi kuku-kuku Abell terbilang panjang. Jika saja tangannya bisa bicara, pasti sudah teriak meronta-ronta minta diamputasi. "Ck, lo tuh kenapa lagi sih?! Punya masalah apa?" tanya Gathan yang sudah terlampau kesal.

Abell memandang Gathan berkaca-kaca. Dia memang sangat sensitif jika gelisah. "Huwaaa, Mami!"

"Eh, jangan nangis dong. Nanti kantong mata lo item, lho. Jadi nggak cantik lagi." Gathan kelabakan. Bagaimana dia bisa lupa kalau saat ini perasaan adiknya dalam mode senggol bacok.

"Jadi gue nggak cantik?!!"

"Dek, kenapa?" ucap Indira yang berlari kecil dari arah dapur. "Lho, kok nangis? Than, kamu apain si Adek?" tuduhnya.

"Biasalah, Mi. Lagi uring-uringan dia. Nih, tangan Gathan biru-biru." adu Gathan sambil menyodorkan punggung tangannya yang terdapat bekas cibutan Abell.

Indira mendekat dan duduk di sebelah Abell. "Kamu kenapa, Dek?"

"Nggak tahu, Mi. Abell bingung." jawab Abell yang memeluk maminya.

"What the—! Jadi dari tadi lo nggak tahu apa masalah lo gitu?! Jadi sakitnya tangan gue ini nggak ada artinya? Lo tuh kalau buat masalah yang jelas, dong! Kalau gini kan kasihan tangan gue." cerocos Gathan tak terima.

"Kenapa?! Gak ikhlas?! Maju sini! Kita gelud sekarang!" tantang Abell lalu menekuk lengan bajunya sembarangan.

"Udah! Kalian berdua tuh udah gede. Masih aja kayak anak kecil." lerai Indira kemudian menatap Abell. "Kamu, Bell. Kalau ada masalah tuh ngomong baik-baik! Jangan jadiin tangan Gathan pelampiasan. Kamu pikir itu nggak sakit?"

Gathan tersenyum sinis, merasa menang. Sedangkan Abell menunduk takut.

"Dan kamu, Than. Kalau Abell punya masalah, kamu sebagai kakak harusnya dibantu, jangan malah diledek adiknya. Paham?!" ujar Indira sembari menatap kedua anaknya bergantian.

Gathan pun mengusap tengkuknya. Memang tadi ia meledek Abell, ya?

"Paham, Mi." jawab Gathan dan Abell serempak.

"Ada apa sih? Kok ribut-ribut. Dari luar kedengeran, lho." kata Angga yang masih mengenakan sarungnya, menandakan dia baru pulang dari masjid.

"Anakmu, nih, Pi. Turunanmu semua. Bandel. Udah gede masih pada ribut aja. Pusing aku." gerutu Indira.

Angga mengelus dadanya sabar. Niat hati ingin bertanya, malah ikut kena semprot. Padahal, kan, mereka berdua ini juga anak Indira. Kenapa hanya dia yang disalahkan?

"Bang, Dek, Kenapa? Jelasin ke Papi!" perintah Angga serius. Menurutnya, Gathan dan Abell ini sudah besar. Tahu mana yang benar dan salah. Sudah tidak cocok lagi jika mereka berdua bertengkar layaknya anak SD.

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang