Abell duduk termenung di balkonnya. Dapat ia rasakan angin yang lebih dingin malam ini. Langit begitu suram, tidak ada bintang maupun bulan. Sunyi dan sedih, suasana yang begitu sempurna untuk dirinya. Pikirannya bercabang, merenungkan setiap kejadian hari ini. Mulai dari kesempatan untuk Laksa yang berarti harus merelakan Bagas, kemarahan papinya, hingga kejadian dimana di mendorong kakaknya.
Namun yang lebih menyita pikirannya saat ini adalah saat dia mendorong Asha. Kemarahannya membuat kakaknya itu terluka. Dulu, bahkan Abell tak berani mengejek kakaknya itu karena dia begitu menyayangi Asha.
Setiap bermain bersama, walaupun sang kakak kerap mengambil mainannya, dia tak pernah mengadu. Dia pikir, itulah cara menyayangi kakak. Dengan membiarkan dia mengambil sesuatu miliknya agar kakaknya selalu mau bermain bersama. Dia melihat boneka Barbie berambut pendek dan usang di nakas yang membawanya kembali pada masa lalu untuk sesaat.
"Horee! Papi pulang!" teriak dua bersaudara yang melihat ayahnya pulang setelah sekian lama bertugas di perbatasan. Saking kerasnya teriakan mereka, sampai-sampai membangunkan si bungsu yang berada di gendongan ibunya.
Gadis kecil itu mendongak menatap ibunya dengan mata sayu karena tidurnya terganggu. Ibunya pun membalas tatapannya dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, "Papi pulang, Dek!" Indira dapat melihat wajah berbinar Abell walau anak itu masih demam. Dia tahu jika Abell mempunyai ikatan batin yang kuat dengan ayahnya. Sudah menjadi kebiasaan jika anak bungsunya akan sakit ketika merindukan sang ayah. Dan akan langsung sembuh jika dipeluk oleh ayahnya.
Seketika, gadis kecil itu minta turun ingin menyambut ayahnya bersama dua saudaranya yang lain. Melihat kedua kakaknya berlarian menuju sang ayah, dia tak mau kalah. Dia tak menghiraukan kepalanya yang sedikit pusing. "Papi!"
Angga, pria itu menyambut teriakan ketiga anaknya dengan senyuman. Dia pun mendekati ketiganya lalu merentangkan kedua tangannya. Sontak, ketiga anaknya itu berlari dan berhamburan memeluknya. Tak bisa dipungkiri, dia juga sangat merindukan keluarga kecilnya. Hatinya begitu berat meninggalkan istri dan ketiga anaknya yang masih kecil itu. Namun ini sudah risiko pekerjaannya.
"Papi kenapa lama? Kakak kangen!" Angga tersenyum lalu kembali memeluk erat anak sulungnya di sisi kanan.
"Papi, Abang udah jagain Mami, Kakak sama Adek. Tapi kayaknya Abang gagal, deh. Adek sakit, Pi." adu Gathan sambil menunduk. Dia merasa gagal menjaga keluarganya seperti perintah papinya karena Abell sudah demam dua hari. Dia juga pernah melihat maminya menangis ketika adiknya itu mengigau memanggil papinya saat tidur.
Mendengar perkataan anak laki-laki nya, Angga langsung menyentuh dahi Abell. Dan benar saja, anaknya itu masih demam. "Adek sakit, ya?"
Abell kecil mengangguk, dia semakin menenggelamkan kepalanya di ceruk leher papinya.
Angga menghela napasnya, dia tahu sebab sakitnya Abell. "Abang, Kakak, Adek, Papi punya sesuatu buat kalian!" ucap Angga ceria lalu mengeluarkan tiga kotak hadiah dari paperbag yang ia bawa. Sontak, pandangan ketiga anak itu beralih ke paperbag yang dibawa papi mereka.
"Ini buat Kakak, ini buat Abang, dan ini buat Adek." imbuh Angga sembari memberikan satu per satu kotak hadiah itu pada anak-anaknya.
"Hore! Aku dapat robot!"
"Aku dapat Barbie!
"Adek juga dapat Barbie!"
Angga tertawa melihat keceriaan anak-anaknya. Tatapannya beralih kepada istrinya yang masih setia berdiri di depan pintu. Ah, Angga juga sangat merindukan wanitanya. Dia harus berterima kasih dan meminta maaf kepada Indira untuk kesabaran dan ketulusan istrinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden
Teen FictionHal yang tak terpikirkan oleh Abell ketika sang ayah menuntut dirinya untuk kembali ke Jakarta disaat dirinya belum sepenuhnya melupakan masa lalu yang meyakitkan. Audrina Serabelle, gadis remaja dengan sejuta perasaan membingungkan dihadapkan pada...