Chapter 9-Khawatir

8 1 0
                                    

Hari ini, entah mengapa Abell merasa kesepian. Dia bahkan sampai tidak fokus terhadap materi yang diajarkan oleh Pak Gito. Matanya terus menatap bangku di sebelahnya yang kosong. Otaknya pun menerka-nerka di mana sekiranya cowok itu berada. Apa Laksa sakit? Abell segera mengenyahkan pikirannya itu. Saat mengantar Abell kemarin, jelas-jelas Laksa masih sehat. Bukannya khawatir, Abell menegaskan hatinya jika dia hanya penasaran. Namun dia terlalu gengsi untuk sekedar bertanya pada Bopak ataupun Acid.

Bel pertanda istirahat berbunyi. Karena Bora dan Nasya harus ikut remedi di ruang guru, dia tetap duduk di bangkunya sembari menatap bangku Laksa. Abell memilih sendiri karena terlalu malas bergabung dengan teman sekelasnya yang hobi bergosip. Berulang kali sudah Abell menghela napas. Bosan, itulah yang dia rasakan saat ini.

"Bell," ucap Gathan yang tiba-tiba sudah berada di depannya. Sebagai kembaran, pasti Gathan juga merasakan kegelisahan yang dialami Abell saat ini. Cowok itu menatap Abell yang masih diam. Sebenarnya Abell mendengar sapaan Gathan, namun dia enggan merespon. Bukannya tak suka keberadaan Gathan, hanya saja Abell butuh waktu untuk menyendiri. Dia terlalu bingung dengan perasaanya ini.

"Kenapa?" tanya Gathan melihat Abell yang seakan sedang mengacuhkannya.

"Nggak apa-apa," balas Abell, lalu kembali menatap bangku Laksa.

Gathan mengikuti arah pandang adiknya. Dia menautkan alisnya kemudian tersenyum tipis. Ternyata sedikit demi sedikit Abell telah menerima kehadiran salah satu sahabatnya itu. Walaupun respon Gathan yang terkesan ogah-ogahan kepada Laksa yang menyukai adiknya, namun hati terdalamnya berkata lain.

Sebenarnya Gathan sudah tahu bahwa Laksa menyukai adiknya dari dulu, namun saat itu dia takut jika pertemanannya dengan Laksa akan rusak. Akhirnya dia mengumumkan pada temannya bahwa tidak ada yang boleh mendekati Abell. Bahkan dia juga tahu bahwa Laksa tidak pernah benar-benar menyukai para pacarnya.

Sialan, adik gue galau cuma gara-gara playboy bar-bar. gumam Gathan dalam hati.

"Lo suka Laksa, ya?" tanya Gathan menyelidik.

Abell terlonjak kaget mendengar pertanyaan kakaknya. Apa iya dia menyukai Laksa? Playboy bar-bar itu? Dengan begitu mudahnya? Rasanya tidak mungkin. "Enggak,"

"Laksa kecelakaan,"

Duarrr! Abell menoleh cepat dan mencari kebohongan di wajah kakaknya, namun nihil. dua kata itu berhasil membuat jantung Abell nyeri. "Bohong." sanggahnya.

Gathan merotasikan bola matanya. "Mana mungkin gue doain sahabat gue sekarat."

"Tapi kemarin dia masih baik-baik aja, Than. bahkan dia nganter gue balik."

"Kejadiannya jam sembilan malem, Bell. Dia korban tabrak lari." jelas Gathan serius.

"Di mana?"

"Apanya?"

"Dia dirawat di mana?!" Abell mulai kesal dengan Gathan yang loading lama.

Tawa Gathan menggelegar. Dia bisa melihat terdapat sirat khawatir dalam nada bicara Abell bahkan sampai membuat para cewek kelas Abell menghentikan acara gosipnya. "Cieee, khawatir." godanya.

"Bukan khawatir, tapi cuma penasaran." elak Abell.

"Di Rumah Sakit Harapan." Gathan melipat tangannya di atas meja, dia menatap Abell dengan pandangan kasih sayang. "Gue yakin lo udah move on, Bell. Dan kalaupun belum, gue yakin nggak lama lagi lo bakal nemu pengganti Bang Bagas,"

***

"Papa udah urus kecelakaan kamu. Pelakunya udah ditangkap juga. Lagian gimana sih kok bisa sampai ditabrak? Kamu ngelamun?" oceh Haidar begitu memasuki ruang rawat putra sulungnya.

Kemarin malam dia dikejutkan dengan kabar dari rumah sakit yang mengatakan putra sulungnya kecelakaan. Tanpa berlama-lama, dia dan Sarah—istrinya—langsung meluncur ke rumah sakit. Dayu tidak diajak karena sudah tidur. Sarah tak henti-hentinya menangisi sang anak. Apalagi setelah mendapat keterangan polisi bahwa Laksa adalah korban tabrak lari. Ya, Laksa ditabrak oleh seseorang saat dirinya pulang setelah membereskan semua kekacauan yang dibuat oleh Mario di WarKep.

Haidar mendekati ranjang rawat lalu merebut ponsel milik sang putra, "Diajak ngomong tuh dijawab, jangan main HP terus!"

"Iya, aku harus jawab apa?" tanya Laksa yang tidak mendengar perkataan ayahnya.

"Kamu ini emang nggak pernah ngehargain orang tua bicara, ya?" Haidar berkacak pinggang, "Dibilangin jangan ngeluyur malam-malam susah banget. Kalau udah gini, gimana? Sekarang tangan kamu patah, besok apa lagi? Kalau mau tangan dan kakimu patah, Papa juga bisa matahin. Gak usah bawa motor! Kamu pikir biaya benerinnya murah?!"

Astagfirullah. Padahal, kan, Laksa korban. Tapi kenapa dia merasa dimaki dan disumpahi layaknya pelaku?

"Mas, udah dong. Dia masih sakit, kasihan." lerai Sarah yang tak tega anaknya dibentak.

"Kasihan? Ini karma buat dia, Sar. Jangan bela dia kali ini."

"Iya, aku tahu anakku salah. Tapi sekarang dia sakit." balas Sarah dengan menekankan kata anak.

"Dia juga a—"

"Pa, Ma, udah jangan berantem. Mumet nih kepalaku. Masih nyut-nyutan." sahut Laksa yang pusing melihat orang tuanya bertengkar.

"Tanganmu yang patah, kenapa kepalamu yang sakit? Manja." sewot Haidar lalu duduk di sofa.

Laksa tidak menggubris ejekkan papanya. Yang dia mau saat ini bukan debat melainkan makanan. "Ma, aku mau apel."

Dengan sigap, Sarah mengupas buah apel. Pasalnya Laksa sangat susah disuruh makan apabila sedang sakit. Jadi ketika Laksa sakit dan tiba-tiba ingin memakan sesuatu, Sarah langsung menurutinya.

"Lak, kayaknya habis ini Mama pulang dulu deh. Kasihan Dayu di rumah sendiri." ucap Sarah yang menatap arlojinya. Setengah jam lagi putri kecilnya itu akan pulang sekolah, jadi dia harus menyiapkan makan siang.

Laksa mau tak mau mengangguk. Kasihan juga adiknya jika pulang sekolah tidak dikasih makan. "Dianter Papa aja, Ma. Aku nggak papa sendiri."

"Emang Papa mau antar Mama. Kamu pikir Papa mau gitu di sini sama kamu? Yang ada vertigo nanti." Sarah mencubit perut Haidar. Bisa-bisanya sang suami berkata seperti itu saat Laksa sakit.

"Yaudah, Mama pulang dulu." pamit Sarah lalu mencium kening putranya.

Setelah orang tuanya pulang, Laksa benar-benar bosan. Dia mengambil ponsel dan membuka WhatsApp. Dia memang sudah mengabari teman-temannya, namun mereka hanya menjawab ala kadarnya. Tidak ada tanda-tanda menjenguk sama sekali.

Dia menscroll deretan chatting, lalu terhenti di nama Abell. Ah, dia lupa mengabari gadisnya. Namun mau chat kok rasanya gengsi. Laksa takut dengan respon Abell nanti. Apakah Abell bersimpati? Atau malah bodoamat. Tapi dia harus mencoba dulu, kan?

Laksa memfoto punggung tangan kirinya yang diinfus lalu memasangnya di status WhatsApp. Walau tidak bilang chatting, kode pun jadi.

WarKep War!

Bopak: send a picture

Bopak: Asw, ngode!

Gathan: lebay cuk!

Acid: Elahh, kayak si doi nge-save nomer lo aja.

Gibran: Alay

Laksa: YANG PENTING USAHA!

Bopak: Tau tuh, Cid. Kalau si doi ternyata nggak nge-save, gue mau nyumbang ngakak sejam.

Gibran : 1,5 jam

Acid : 2 jam

Laksa: @Bopak @Acid @Gibran diem setan!

Gathan: Lo nggak lupa privasi status lo kan, Lak? Nanti yang dateng barisan pacar lo lagi. Kan kecut.

Sial! Laksa lupa. Dia belum memprivasi status WhatsAppnya. Buru-buru dia keluar dari ruang chat. Dan benar saja, notifikasinya penuh dengan nama cewek yang menanyakan keadaanya.

"Sialan, Senjata makan tuan!"

***

Bersambung...

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang