Chapter 15-Munafik

1 0 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, Abell hanya diam menatap jalanan lewat kaca taksi. Dia masih kepikiran dengan ucapannya yang secara tak langsung memberi Laksa kesempatan untuk hubungan mereka. Apakah hatinya sudah siap akan hal itu?

Jujur, ucapan Abell tadi adalah ucapan spontan. Dan karena ucapan asalnya itu, dia telah memberi harapan pada Laksa. Sebuah harapan palsu.

Namun melihat wajah sumringah cowok itu membuat Abell tak sampai hati untuk merubah ucapannya. Lihat saja sekarang, Laksa selalu mencuri pandang padanya, membuat Abell sedikit gugup.

"Kamu kenapa?" tanya Laksa, menyadari perubahan sikap Abell.

Abell masih diam, tidak menjawab.

"Bell!" panggil Laksa, lagi.

"Eh?" Abell terperangah. "Kenapa, Lak?"

"Kamu yang kenapa?"

Abell menggeleng. "Enggak papa, Lak."

Abell berbohong dan Laksa tidak sebodoh itu percaya kepadanya. Namun, Laksa memilih diam dan tidak bertanya kembali.

Sampai akhirnya, mereka sampai di rumah Abell. Dengan buru-buru Abell mengambil paperbag-nya lalu keluar dari taksi. Dia masih gugup jika harus menatap Laksa walau sebentar.

"Bell!" panggil Laksa dari dalam taksi, membuat Abell menghentikan langkahnya.

"Apa, Lak?"

Laksa menatap Abell lekat, "Aku sayang kamu."

"Hah?" Abell terkejut. Matanya mengerjap beberapa kali, wajahnya mendadak merona mendengar ucapan yang dilontarkan Laksa.

"Today, tomorrow, forever. You are always be my angel."

Abell speechless. Gadis itu benar-benar tersentuh mendengar ucapan Laksa. Entah mengapa, matanya berkaca-kaca. Rasa menyesal menyeruak di hatinya, andai dulu dia lebih cepat bertemu Laksa. Bisa jadi sampai saat ini dia akan selalu bahagia.

Abell tersenyum, matanya membalas tatapan lekat Laksa. "Makasih, ya."

Mendengar balasan Abell, Laksa hanya tersenyum kecut. Pernyataannya tidak dibalas oleh gadis itu. Walaupun ada sedikit rasa sakit, Laksa berusaha tidak menampakkannya di depan Abell. "Aku pulang dulu, ya? Salam buat Mami, Papi kamu."

Abell mengangguk, "Iya, hati-hati."

***

Angga mengernyit melihat putri bungsunya baru pulang dan tidak mengenakan seragamnya padahal hari sudah mulai gelap.

Tak biasanya Abell seperti ini. Jika ada ekstrakurikuler, Abell selalu mengirimkan pesan, bahkan sejak gadis itu masih di Bandung. Lalu, ada apa ini? Abell baru pindah sekolah dan yang dia tahu kelas dua belas tidak diperbolehkan mengikuti ekstrakurikuler sejak minggu kemarin.

"Dek!" panggil Angga.

"Iya, Pi?"

Angga melangkah mendekati putri bungsunya. "Kamu habis dari mana?"

Abell merasa dirinya terintimidasi langsung gelagapan. Habis sudah jika papinya tahu dirinya membolos. Tapi, mau alasan apa? Melihat motor Gathan terparkir sempurna di garasi, tak mungkin lagi menggunakan abangnya sebagai alasan.

Mampus gue! teriak Abell dalam hati.

"Aduh, gimana, ya? Gini lho, Pi ... ehm ... jadi gini ..." Abell menggaruk tengkuknya yang tertutup rambut. Matanya bergerak kesana-kemari mencari alasan yang tepat.

"Dari mana kamu?" tanya Angga lebih tegas.

"Dari ..." Abell panik.

"Kamu tahu jam berapa sekarang?"

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang