03

239 20 1
                                    

“Pengen ngeluh, tapi sadar gak punya tempat bersandar.”—Reano Abimanyu.

°°°

“Beneran kan lo gak pacaran sama Aksa?” tanya Reano.

“Iyaaaaa!” Qiana kesal. Entah sudah ke berapa kali abangnya bertanya seperti itu. Sampai-sampai ia pusing. Kenapa saat dirinya bertemu dengan Aksa harus ketahuan.

“Awas aja kalau pacaran,” peringat Reano dengan kedua mata memicing tajam. Namun, Qiana menghiraukannya.

“Bukannya gak boleh, tapi lo harus pokus belajar dulu.” Kini keduanya tengah duduk di kursi ruang tamu.

“Iya, Bang, iyaaa!” jawabnya dengan raut wajah sebal.

“Ya udah, sekarang lo tidur gih, udah malem,” suruh Reano sambil beranjak dari tempat duduknya.

“Sebentar lagi. Gue belum ngerjain tugas matematika.” Qiana berbicara sambil mengeluarkan buku matematika dari dalam tasnya.

Melihat itu membuat Reano kembali duduk di samping Qiana. “Sini gue bantu. Bagian mana yang gak paham?” tanyanya, karena Reano tau adeknya ini kurang paham dengan mata pelajaran matematika.

“Yang ini, Bang.” Qiana menunjuk materi yang ada di bukunya. “Tengang trigonometri,” lanjutnya berujar.

“Matematika itu menyenangkan, lo harus hafal dulu rumusnya.”

“Matematika? menyenangkan!?” Qiana terheran mendengar ucapan abangnya. “Matematika itu bikin stres, bukan menyenangkan,” lanjut Qiana protes.

°°°

“Cil, ayo berangkat. Lo udah siap belum?” teriak Reano yang tengah duduk menunggu Qiana di jok motor Ninja.

“Bentar lagi, Bang!” teriak Qiana yang belum selesai sejak tadi.

Reano menghela nafas dalam. Punya adek lelet banget. Gak tau apa, kalau Reano udah kesiangan. Belum lagi antar dia ke sekolahnya dulu, nambah telat aja.

“Cil cepetan! Lo ngapain aja sih, dari tadi belum selesai juga!” Pagi-pagi gini udah dibuat emosi aja, untung Qiana adeknya. Kalau enggak, udah Reano tinggal.

“Sabar napa, Bang. Masih pagi udah marah-marah aja,” ujar Qiana dengan santainya. Huh, untung kesabaran Reano gak setipis tisu.

“Lama banget,” gumam Reano dengan sangat pelan, tapi masih terdengar sama itu bocah. “Ya udah ayo naik,” suruh Reano padanya.

Namun, Qiana bukannya segera bergegas naik ke motor, malah terdiam.

“Lo ngapain masih berdiri di situ? Ayo cepetan naik, udah siang ini!” Kayaknya Reano perlu stok kesabaran yang banyak ngadepin ini bocah. Gak tau aja Reano udah kesiangan.

“Bang,” panggilnya lirih.

“Apa lagi?”

“Tiga hari lagi gue ujian. Sedangkan gue belum bayar SPP selama dua bulan, ditambah uang ujian. Kalau gak dibayar besok, gue gak bisa ikut ujian,” celetuknya seketika membuat Reano terbungkam.

“Bang, lo denger gue gak, sih?” Lamunan Reano seketika terbuyarkan, ketika mendengar suara nyaring Qiana.

“Iya gue denger kok.” Reano menghentikan sejenak ucapan. “Gue usahakan dapat uang hari ini, biar lo bisa bayar besok, dan ikut ujian. Lo gak usah mikirin apa-apa, yang terpenting lo belajar yang bener, okay.”

°°°

Gue harus cari uang di mana, ya.”

“Mana batasnya sampai besok.”

“Apa gue pinjam ke rentenir aja, ya.”

“Tapi nanti kalau udah jatuh tempo belum kebayar juga gimana?”

“Atau gue pinjam ke Bos.”

“Gajian kan, baru lima hari yang lalu, masa nanti katanya udah habis gitu aja. Dan kayaknya gak bakal dikasih."

“Argh, pusing banget kalau udah kayak gini.”

Reano bener-bener pusing mikirin bagaimana caranya biar dapat uang hari ini juga. Reano gak mau karena belum bayar, adeknya gak ikut ujian.

“Argh!” Refleks Reano berteriak yang menimbulkan seisi kelas menatapnya dengan tatapan heran.

“Reano, kamu ngelamun terus dari tadi? Gak memperhatikan Ibu, ya?!”

Reano kelabakan disodorkan pertanyaan seperti itu oleh Bu Ira. Namun, segera mungkin ia menjawab dengan gelengan kepala.

“E–enggak, Bu. Tadi kaget aja ada cicak jatuh.” Ah, bodo amat Bu Ira mau percaya atau enggak, yang penting Bu Ira gak banyak tanya.

“Semuanya perhatikan Ibu, jangan ada yang melamun!” tagas Bu Ira pada semuanya dengan raut wajah garang.

°°°

“Iya, Cil, ada apa lo telepon?” Tumben-tumbenan banget Qiana menelpon Reano ketika masih di sekolah.

“ ... ”

Reano seketika terdiam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Qiana di seberang sana. Masalah satu belum selesai, ditambah masalah baru.

“Bang, lo masih ada di sana kan?” Pekikan Qiana di seberang sana berhasil membuyarkan lamunan Reano.

“Iya-iya, gue di sini dengerin lo bicara. Nanti gue urus semuanya. Sekarang gue mau masuk kelas, bel udah bunyi.”

“ ... ”

Setelah itu Qiana langsung memutuskan sambungan via telepon.

Sumpah hari ini Reano Bener-bener pusing. Uang buat ujian Qiana aja belum dapat, dan sekarang ditambah uang buat wisata sebelum ujian. Mana wajib ikut.

°°°

Reano memukul keras pembatas jembatan besi. Saat ini ia sedang duduk di trotoar jalan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, cowok itu belum juga mendapatkan uang untuk bayar sekolah Qiana dan wisatanya.

Di saat-saat seperti ini, Reano sangat membutuhkan sosok ayah. Sosok tempat mengadu. Tempat berlindung, dan berkeluh-kesah.

Jujur sebenarnya Reano cape sama kehidupan sekarang ini. Ia ingin menyerah dengan keadaan, tetapi kalau nyerah, siapa yang akan menjaga adeknya. Ke siapa adeknya nanti mengadu jika ada apa-apa, kalau bukan ke dirinya. Dan siapa yang akan menafkahinya.

Beberapa kali Reano mencoba untuk menyerah, tapi ia pikirkan kembali. Itu bukan jalan keluar yang tepat untuk segala dari permasalahan.

Deg!

Refleks Reano menoleh ke belakang ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya. Reano benar-benar terkejut bukan main. Dan ternyata yang menepuk pundaknya ialah ....

°°°Batas Akhir°°°

Selasa, 1 Agustus 2023
10.05

ENDURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang