“Kenapa orang gak punya selalu dikucilkan? Bahkan dipandang rendah. Apa orang gak punya tidak berhak memiliki kehidupan seperti orang-orang pada umumnya?”—Qiana Abila.
***
Jam menunjukkan pukul 02.48 dini hari.
Namun, seorang cowok masih bertempur dengan buku-bukunya. Reano meminum air putih yang sudah ia siapkan terlebih dahulu sebelum mulai belajar. Cowok itu nampak sudah mengantuk, tetapi ia paksaan karena tidak mau nilainya turun lagi.Tepat pukul 03.00 Reano ketiduran bersama buku-bukunya yang akan dipelajari, dengan bolpoin yang masih dipegang.
***
“Hari ini lo gak bawa uang jajan lagi gak apa-apakan?” tanya Reano pada Qiana yang masih di rumah, bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
“Gak apa-apalah, Bang. Meski tiap hari gak bawa uang jajan pun, gue gak mempermasalahkannya.” Qiana berbicara dengan senyuman. “Masih bisa sekolah aja gue udah bersyukur,” lanjutnya.
Mendengar itu membuat Reano lega. Ia pun memberikan sebuah kotak bekal pada Qiana. “Sebagai gantinya, gue masakin lo nasi goreng. Istirahat nanti lo harus makan,” tutur Reano yang mendapat anggukan dari Qiana.
“Pasti dong, masakan lo kan, enak,” ujar Qiana membuat Reano tersenyum.
***
Bel istirahat berdering nyaring membuat siswa-siswi SMP Perkasa Bangsa berhamburan keluar kelas. Namun, tidak dengan Qiana. Cewek itu mengeluarkan sebuah kotak bekal yang di simpan ke meja. Ia sudah lapar sekali, karena tadi pagi tidak sarapan.
Raut wajah cewek itu berbinar cerah tatkala melihat nasi goreng yang dibentuk lucu oleh Reano, membuat ia tak tega memakannya.
Qiana terus memandangi, sayang jika ia makan.
Namun, karena rasa perut lapar yang tak bisa ditahan, akhirnya ia memutuskan untuk memakannya.Saat hendak memasukkan satu sendok ke dalam mulut, seseorang dengan sengaja menyiram nasi goreng itu dengan air, membuat Qiana seketika terbelalak.
Ia mendongak, melihat siapa yang melakukannya. “Putri!” Qiana beranjak berdiri dengan perasaan marah.
“Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?!” berang Qiana dengan sorot mata memancarkan amarah.
“Supaya lo gak jadi makan, dan kelaparan! Kalau jajan ke kantin kan gak mungkin, lo gak punya duit.” Putri berujar dengan sarkas membuat amarah Qiana semakin memuncak.
Sudah banyak pasang mata yang melihat pertengkaran antara Qiana dan Putri. Tak jarang mereka berbisik-bisik membicarakan keduanya, yang hanya menonton tanpa ada niat untuk melerai.
Kelopak mata Qiana berkaca-kaca. Baru kali ini ia merasakan sakit yang mendalam dari ucapan Putri. Padahal sudah sering Putri mencibirnya.
“Salah gue apa sama lo? Sampai lo sebegitu bencinya sama gue?!” Dadanya berdesir perih, ia tak tahan lagi menahan linangan air mata yang membaluti kelopak mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDURE
Teen FictionKehidupan gue tidak seperti anak muda pada umumnya. Yang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Di usia gue yang terbilang cukup muda, gue harus menjadi tulang punggung keluarga. Mengganti peran Ayah bagi adek perempuan gue. Dan harus mencari na...