08

172 18 0
                                    

“Rindu yang paling menyakitkan itu, ketika merindukan orang tua yang sudah tiada.”—Endure

°°°

“Aksa,” panggil Qiana Lirih pada Aksa yang berada di hadapannya.

“Apa?” tanya cowok itu singkat.

Kini Qiana dan Aksa sedang bekerja kelompok di rumah Reynald. Tak hanya ada Aksa dan Qiana, malam ini ke tujuh inti komunitas Stronghold hadir semua di rumah Reynald.

“Ini benar gak menurut lo?” Qiana memperlihatkan soal jawaban yang ia tulis di buku. Cowok itu pun memeriksanya.

“Ini udah bener kok, cuma ada beberapa yang kurang.” Aksa mengambil buku itu. “Sini biar gue perbaiki,” lanjutnya berujar. Qiana hanya mengangguk sebagai jawaban.

Sedangkan di sisi lain ke lima inti Stronghold sedang asik becanda ria.

“Al, ke mana aja lo baru nongol?” celetuk Harlen bertanya pada Alvano Mahendra.

“Biasalah akhir-akhir ini gue sibuk, dan Adek gue sakit,” jelas Alvano yang duduk berada di samping Dito.

“Wah, serius? Gimana kabar Adek lo sekarang?” Kali ini Reynald yang bertanya.

“Alhamdulillah udah sembuh,” sahut Alvano.

“Tuh anak berdua belajar mulu dari tadi, apa gak pusing?” Dito melihat ke arah Aksa dan Qiana yang tengah fokus belajar.

“Enggaklah, emangnya lo!” Harlen menoyor kepala Dito, yang membuat teman-temannya tertawa.

“Kalau dipikir-pikir mereka banyak persamaannya, jangan-jangan jodoh lagi.” Kini Harlen yang berbicara.

Seketika Reano menyahut, “Jodoh-jodoh! Mereka masih kecil!” celetuk Reano dengan raut wajah keruh, membuat teman-temannya tertawa.

“Sensi amat lo, kek emak-emak!” seloroh Reynald. Kini  bagian Reano yang mendapat gelak tawa dari teman-temannya.

***

Pagi pun tiba. Di kediaman rumah Reynald tengah melakukan sarapan pagi. Rumahnya menjadi seru semenjak kedatangan Qiana dan Reano.

“Makasih Tante, Om, sudah mengizinkan saya tinggal di sini sementara waktu.” Reano hanya bisa berterima kasih sekarang, karena semalam orang tua Reynald tak ada.

“Sama-sama,” ucap mamanya Reynald—Syifa— “Lagian Tante suka kalau rumah ini jadi ramai, biar Rey ada temannya,” ucapnya dengan senyuman.

“Bener banget kata mamanya Rey. Semenjak kedatangan kalian, suasana rumah menjadi hangat,” timpal Irza—papanya Reynald.

“Makasih Tante, Om,” ucap Reano.

“Makan yang banyak, biar makin cepat tumbuh tinggi,” seloroh Reynald pada Qiana sembari memberikan lauk pada piring cewek itu.

Qiana hanya mengangguk diiringi senyuman. Reynald sudah menganggap Qiana seperti adeknya sendiri.

***

“Sekolah yang bener, jangan ribut terus, okay?” Reano mengantarkan Qiana sampai depan gerbang sekolah adeknya.

Hari ini Reynald memakai mobil untuk berangkat sekolah bersama Reano. Terlebih dahulu ia mengantarkan Qiana.

“Iya, Bang ... gak akan kok,” ujar Qiana.

“Ya udah, sana cepat masuk,” Suruh Reano, setelah itu Qiana pun masuk ke dalam. Ia pun masuk ke dalam mobil.

***

Hanya di hari Minggu keluarga Reynald bisa istirahat dari penatnya pekerjaan. Kedua orang tua cowok itu selalu saja sibuk dari pagi sampai malam. Makanya hal itu membuat Reynald tak betah ada di rumah.

ENDURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang