04

213 15 1
                                    

“Cape, tapi gue harus tetap bertahan demi keluarga.”—Reano Abimanyu.

°°°

Ketika masuk ke dalam rumah, yang pertama kali Reano lihat ialah Qiana yang sudah tertidur pulas di kursi bersama buku-bukunya. Sepertinya Qiana sangat kelelahan ketika sedang belajar untuk ujian.

Reano melangkah mendekati Qiana. Lalu duduk di sampingnya seraya menatap wajah Qiana lekat, yang sedang tertidur pulas.

Ia berharap, Qiana gak akan pernah ngerasain apa yang dirinya rasakan. Biar ia sendiri yang merasakannya. Adeknya harus bahagia.

"Lo udah pulang, Bang. Sejak kapan?" tanya Qiana sambil menguap yang terbangun dari tidurnya dengan posisi masih mengantuk.

"Baru aja sampai," jawab Reano, "Nih." Ia memberikan dua porsi nasi goreng yang dibeli di pinggir jalan tadi. Karena Reano pikir pastinya Qiana belum makan.

"Lo pasti belum makan, kan?" tanya Reano pada adeknya. Qiana mengangguk senang.

"Iya Bang, gue belum makan. Laper banget dari tadi," ujarnya seraya mengelus-elus perut dengan raut wajah melas.

"Ya udah, ayo kita makan," ajak cowok itu pada Qiana ke dapur untuk makan.

°°°

“Ini uang untuk bayar sekolah lo besok." Reano menyodorkan uang itu pada Qia. Ia terlihat antusias—senang karena akhirnya bisa mengikuti ujian, bayar SPP, dan bayar untuk wisata.

"Tapi Bang, lo dapat uang ini darimana?" tanyanya, penasaran. Qiana penasaran abangnya dapat uang itu dari mana dalam waktu satu hari.

"Ada lah. Lo gak perlu tau gue dapat uang itu darimana. Yang terpenting sekarang, belajar yang bener. Lo harus jadi anak sukses." Qia hanya mengangguk-angguk sebagai jawabannya.


Flashback

“Gue dengar-dengar lo lagi butuh banget uang untuk Adek lo?”

Seorang cowok yang bertubuh tak kalah atletis dengan Reano, tiba-tiba saja berbicara seperti itu, hal yang membuat Reano menoleh ke belakang.

Sudah dipastikan dari raut wajahnya, cowok itu ada maksud tertentu.

“Mau apa lo ke sini?” tanya Reano tanpa basa-basi.

“Seharusnya gue yang tanya sama lo. Ngapain lo ada di sini?” Cowok itu tersenyum smirk. “Atau ... mau coba bunuh diri karena merasa dunia begitu melelahkan?” Lagi dan Lagi cowok itu tersenyum smirk diiringi tatapan sinis.

“Pengecut,” gumam cowok itu yang masih terdengar oleh Reano.

Reano geram melihat cowok di hadapannya, tapi ia tahan agar emosinya tak terpancing.

Reano melangkah, menghiraukan ocehan cowok itu. Namun, langkahnya terhenti saat ia kembali berbicara.

“Lo serahin motor itu.” Cowok itu menunjuk motor ducati Reano. “Dan, gue akan kasih lo uang seberapa pun yang lo minta,” ucapnya.

Hal itu seketika membuat Reano menatap tajam. “Sampai kapanpun gur gak akan serahkn motor ini sama lo!” peringat Reano.

Mengingat bahwa motor itu, peninggalan kakaknya, dalam kondisi apapun Reano tak akan pernah menjual apalagi menyerahkannya pada siapapun. Banyak kenangan bersama kakaknya dengan motor itu.

“Santai, Men. Lo bisa kembali mengambil motor itu, dan lo kembalikan uang gue, dalam waktu yang sudah ditentukan,” ujar cowok dengan raut wajah penuh arti.

ENDURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang