19

45 6 0
                                    

“Akulah si takut kehilangan, yang sudah hilang.”—Endure.

°°°

Digenggamnya pena membuat jari-jemari lentik itu menari-nari di atas kertas putih. Menghasilkan coretan hitam pekat yang teratur. Kini hari liburnya harus dipenuhi dengan tugas-tugas menumpuk, membuat perempuan itu begitu lelah. Ingin rasanya di hari libur ini, ia berbaring seharian di atas kasur. Akan tetapi, deadline yang mendesak membuatnya mau tak mau harus terus mengerjakan.

Terdengar suara langkah kian pasti, membuat perempuan yang kini tengah duduk menoleh ke belakang. Dilihat ternyata itu kakaknya.

“Cepet siap-siap, kita pergi sekarang," titah Reano yang sudah rapih memakai jaket hitam. Rambut yang biasanya berantakan, kini ia sedikit menata.

“Mau ke mana, Bang?” Perempuan itu menghentikan aktivitas menulis, beralih menatap lelaki yang berada di belakang—berdiri.

“Ikut aja ayo, gue tunggu di depan,” ujar Reano membuat Qiana tak lagi bertanya. Perempuan itu langsung saja beranjak berdiri untuk bersiap-siap.

°°°


Keduanya baru memasuki sebuah mall. Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, melihat barang-barang mewah yang ada di sana. Dulu, ia dan keluarganya sering ke sini, tapi itu dulu.

Qiana kebingungan kenapa kakaknya mengajak ke sini? Ia benar-benar tak bisa menebak pikiran laki-laki di sampingnya yang saat ini tengah berjalan beriringan.

“Sebutin yang lo mau, nanti gue beliin.” Tiba-tiba Reano berbicara seperti itu, membuat Qiana menoleh ke samping. Keduanya sejenak menghentikan langkah. “Kenapa?” lanjutnya bertanya.

Qiana mendongak. “Gue gak mau apa-apa, Bang.” Ia menghentikan sejenak ucapannya. “Lagian tumben banget kita ke sini?”

Mendengar itu membuat laki-laki yang berada di samping Qiana, kini sedikit menggeser posisinya saat ini, menjadi saling berhadapan.

“Karena ini hari spesial. Ini hari kelahiran lo, Cil,” jawab Reano dengan mata berbinar—menandakan laki-laki itu sangat bangga memiliki adek yang selalu menemaninya dalam keadaan apapun.

Mendengar itu membuat Qiana terkejut. Jujur, ia pikir kakaknya tak akan ingat hari ulangtahunnya saat ini. Mengingat bagaimana Reano yang sibuk bekerja, sekolah, dan belajar. Perempuan itu berpikir bahwa Reano akan melupakan hari-hari spesial, tetapi ternyata tidak.

“Kenapa malah diem?” Reano membuyarkan lamunan adeknya. “Sebenarnya gue pengen kasih lo hadiah, tapi gue gak tau lo mau apa. Jadi, khusus hari ini, lo minta apapun gue beliin,” lanjutnya menjelaskan.

“Yaelah Bang, gue gak mau apa-apa.” Lagi dan lagi Qiana menjawab seperti itu. Jujur saja ia memang tak mau apa-apa. Perempuan itu hanya berharap, ia dan kakaknya selalu bersama-sama. Qiana takut keluarga satu-satunya yang dipunya ikut meninggalkan. Lagi pula, dalam keadaan saat ini ia harus bersyukur masih bisa sekolah dan bertahan sampai detik ini.

“Gue gak mau lo jawab kayak gitu.” Reano merasa sedih. Dulu saat keluarganya masih baik-baik saja dan utuh, saat Qiana berulangtahun, ia dan kakaknya akan membeli hadiah sebanyak usia ke berapa ulangtahunnya.

Perempuan itu dulu sangat dimanjakan dan semua keinginan selalu dikabulkan oleh kedua kakak laki-lakinya. Namun, itu dulu sebelum semuanya berubah. Meski begitu, rasa sayang Reano terhadap adek satu-satunya tak pernah berkurang. Ia sangat menyayangi Qiana melebihi pada diri sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ENDURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang