02

7 1 0
                                    

Elzein memasuki kamarnya, ahh,bukan, kamarnya bersama sang istri. Netranya menatap kasur king size di depannya yang tetap kosong dan rapi. Kemudian retinanya menatap sofa di sudut ruangan yang sudah diisi oleh seonggok daging yang bernyawa. Elzein menatap tidak percaya, dia masih ingat selimut bahkan bantal yang dipakai Allura berasal dari rumahnya yang di desa.
Sedikit  rasa iba muncul saat menatap gadis muda itu, namun ini juga bukan pilhannya.

Terjebak bersama orang yang tidak di kenal bukanlah hal yang mengenakkan hati, dan Elzein paham hal itu. Terbiasa berbisnis hingga ke berbagai daerah sendirian membuat Elzein tahu bagaimana rasanya merasa asing di antara banyak orang yang saling mengenal.

Terlihat sang gadis memeluk dirinya sendiri dengan erat entah karena kedinginan atau merasa ketakutan. Elzein mendekat ke arah sofa tepatnya ke dekat sang gadis, terlihat wajahnya memerah dan matanya membengkak. Elzein memperbaiki selimut yang hampir jatuh ke lantai, tangannya terulur merapikan anak rambut yang menghalangi wajah Allura dan menyematkannya ke belakang telinga.

“Maaf.”

Hanya itu yang dapat Elzein ucapkan, entahlah dia merasa bersalah walaupun Elzein tahu bukan dia yang salah. Selanjutnya yang harus Elzein lakukan adalah membuat Allura merasa diuntungkan dengan pernikahan ini, setidaknya Allura tidak boleh merasa tertekan karena usianya masih muda untuk dapat berfikir dengan benar.

Elzein menaiki kasur , membaringkan tubuhnya di sana. Sungguh Elzein tidak pernah terpikir akan seperti ini. Jika pun dia memikirkan masa depan, itu hanya bersama Sabira, kekasihnya . Lalu setelah ini bagaimana hubungannya dengan Sabira? Apakah Sabira akan tetap menerimanya, apalagi  Sabira berasal dari keluarga terpandang.

***

Pagi sekali Allura terbangun, di desa , bangun pagi adalah salah satu kebiasaan yang selalu dia terapkan. Allura menghidupkan ponselnya, beberapa pesan masuk dari sang Ayah dan dari teman perempuannya, Zie. Allura memilih tidak mengacuhkan semua pesan itu, niatnya menyalakan ponsel hanyalah untuk melihat pukul berapa sekarang, yang ternyata , 04.59 wib.

Lalu apa yang harus Lura lakukan sekarang, biasanya dia kan membantu sang ibu menyiapkan sarapan. Di sini Lura bahakan tidak tahu di mana letak dapur. Dan bagaimana jika dia di usir dari dapur atau jika nanti di dipermalukan di dapur, mengingat  tidak ada satu pun di rumah ini yang bersikap ramah padanya.

Bayangan kemarin saat dia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini masih melekat di hati dan pikirannya. Bagaimana pandangan orangtua Elzein saat menatapnya masih dengan jelas Lura ingat. Bahkan ayah Elzein bertanya ini pada Elzein, “kenapa kamu membawanya ke rumah ini?”
Elzein sendiri hanya diam, tidak menjawab pertanyaan sang ayah, entah karena merasa tidak enak pada Lura atau memang mereka memiliki hubungan yang kurang baik, seperti yang sering Lura baca di novel-novel. Namun pertanyaannya untuk apa Lura repot memikirkan hubungan mereka sedang di sini Lra tidak tahu bagaimana nasibnya.

“Kamu sudah bangun?” suara serak khas orang bangun menyadarkan Lura dari lamunannya. Jangan Tanya suara siapa, yang pasti itu suara Elzein.

“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Lura tidak pedulikan pertanyaan Elzein.

“Tidur lagi atau kamu haus?” pertanyaan yang mirip pernyataan, walau begitu bukan hal itu yang ingin Lura lakukan.

“Bagaimana dengan memasak atau mungkin beberes atau menyiram bunga atau hal lain yang bias aku lakukan selain tidur lagi,” tawar Lura dengan menggunakan banyak kata atau , menurutnya itu tawaran untuk Elzein.

Keduanya terdiam sebentar, baik Lura yang duduk sambil bersandar di sofa dengan selimut menyelimuti setengah tubuhnya dan Elzein yang duduk sambil bersandar pada punggung kasur.

“Bagaimana merapikan ruang kerjaku saja? Semua yang kau ucapkan tadi sudah dilakukan pembantu,” ucap Elzein setelah menimang-nimang yang harus Lura lakukan.

Lura menggangguk dan merapikan selimut dan bantal yang dia gunakan tadi, meletakkannya kembali ke dalam lemari. Setelah membasuh wajah dan menggosok gigi, keduanya berlalu ke luar kamar menuju ruang kerja Elzein. Rasa tidak nyaman jelas terpatri di wajah Elzein walau tidak di ucapkan tapi Lura paham, sebagian dalam dirinya merasa menyesal meng-iyakan ajakan Elzein. Lura juga mengumpat pada Elzein dalam hati, untuk apa memberi tawaran jika hatinya sendiri tidak rela melakukannya, lebih baik dia membiarkan Lura seperti orang gila yang sedang kelelahan saja di dalam kamar tadi.

Keduanya berjalan dalam hening, Elzein yang memimpin jalan. Hingga suara seorang wanita menghentikan langkah keduanya.

“Kalian mau kemana?” Tanya wanita itu yang Lura tahu adalah ibu Elzein. Wajahnya masih cantik tampak tidak berkerut sama sekali, padahal umurnya sudah memasuki kepala empat ,sesuai perhitungan yang Lura lakukan di otaknya.

“Ke ruang kerja Zein, Mah.”

“Bagaimana kalo dia ikut Mamah ke dapur?”

***

Note :
Cerita ini udah kutulis dari lama, jadi kalo misal ada yang salah atau ga nyambung, komen aja yaaa
Biar aku perbaiki

Babayyyyyy sayy

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang