08

3 1 0
                                    

Hari ini adalah hari yang paling Lura tunggu. Dengan persiapan yang sudah cukup matang, Lura melangkahkan kaki keluar dari kamar tidurnya bersama Elzein. Tas hitam lura sampirkan di pundaknya. Pagi ini Lura mengenakan kaos putih polos yang dibalut oleh sweater abu-abu dan celana jins berwarna hitam, dipadukan sepatu polos berwarna senada dengan sweaternya. Rambut sebahu miliknya dibiarkan tergerai, Lura menyapukan  bedak baby di wajahnya dan sedikit lipbalm di bibir tipis itu.

Dengan raut bahagia Lura menyusul Elzein ke meja makan, di sana Lura mendapati Elzein bersama orangtuanya. Elzein tersenyum melihat penampilan Lura, sederhana tapi sangat memikat. Kirana yang melihat Elzein tersenyum ikut tersenyum, hatinya menghangat melihat interaksi antara anak dan menantunya itu.

“Pagi!” sapa Elzein terlebih dahulu dan mempersilahkan Lura duduk di sampingnya.

“Pagi,” balas Lura dengan senyum di bibir, Lura duduk di samping Elzein. Lura takut menyapa papah mertuanya, dan masih sedikit canggung dengan Kirana karena kejadian kemarin.

Mereka ber-empat makan dalam diam, pagi ini Lura mengambilkan sarapan untuk Elzein. Entah mengapa Lura sangat bahagia berada di samping Elzein yang saat ini. Setelah selesai, Lura berangkat bersama Elzein. Laki-laki itu sangat baik padanya sejak kemarin dan hal itu membuat Lura selalu tersipu malu.
Hari ini adalah hari pertama Lura memasuki dunia perkuliahan.

“Senang banget, yah?” Tanya Elzein ketika mobil berjalan menuju kampus Lura.

“Iyah, makasih, El,” jawab Lura sambil tersenyum manis.

Elzein meletakkan sekotak tisu di pangkuan Lura. “Bedak sama lipstiknya dihapus,” ucap Elzein tegas.

“Tebal banget, yah? Tapi tadi aku lihat kaca biasa aja, deh,” kata Lura namun tetap saja tangannya terulur mengambil tisu itu dan menghapus bedak dan lipbalm di bibirnya.
Elzein tersenyum menatap Lura lembut. Penampilan Lura sangat memikat, Elzein takut ada kating atau maba yang nantinya akan menyukai Lura. Bedak dan lipbalm Lura tidak tebal hanya Elzein saja yang melebih-lebihkannya.

“Udah?” Tanya Lura sambil menatap Elzein, dia tidak percaya lagi pada kaca. 

Elzein mengangguk, jauh dalam lubuk hatinya masih belum terima pada wajah Lura yang masih terlihat sangat cantik padahal bedaknya sudah dihapus. Tidak mungkin Elzein meminta Lura melakukan operasi plastik untuk mengurangi kecantikannya, kan?

Setelah beberapa saat di dalam mobil, akhirnya mereka sampai di kampus Lura. Lura bahkan ingin segera keluar dari dalam mobil, dari tadi Elzein selalu menasehatinya, ‘jangan ganjen’, ‘kalo ada yang ganteng jangan cari perhatian’, ‘jaga mata’, ‘kalo ada yang coba dekatin kamu langsung ditolak,’ dan bla bla bla. Lura bahkan tidak berpikir sampai sejauh itu, diterima dengan baik saja oleh teman-teman barunya sudah lebih dari cukup untuk Lura.

“Aku duluan,” ucap Lura tangan kanan Lura meraih tangan kanan Elzein kemudian menciumnya lembut. Lura tersentak kaget atas apa yang dia lakukan, biasanya Lura memang melakukan itu pada Ayahnya tapi ini dengan Elzein.
Elzein kaget atas apa yang dilakukan oleh Lura. Namun dia bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya, Elzein merasa bahagia dan ada gejolak aneh yang menyenangkan membuncah di dalam sana. Sebelum Lura keluar, Elzein tidak kehabisan akal dia meraih masker di sakunya.

Elzein menarik tubuh Lura untuk mendekat, kemudian memasangkan masker itu pada Lura. “Jangan dilepas di luar banyak virus, nanti kalo udah di dalam kelas baru di lepas. Tunggu aku di sini nanti aku jemput, ingat jangan ganjen, pake masker ini lagi nanti setelah ke luar kelas,” peringat Elzein pada Lura, tangannya membetulkan rambut Lura untuk menutupi wajah bagian samping Lura. Jika seperti ini Lura terlihat seperti gadis yang alergi pada debu.

“Iya,” jawab Lura malas.

***

“Nama aku Dheara Ziena, biasa dipanggil Dhea,” ujar seorang gadis  mengulurkan tangannya pada Lura sambil tersenyum manis.
Lura membalas senyum itu, tangan kanannya menyambut uluran tanga Dhea, “Allura Tiarani, biasa dipanggil Lura.”

“Lo anak dosen, yah?”

“Gak. Kenapa?” Tanya Lura penasaran.

“ Lo gak hadir selama ospek, kan? Gue pikir lo anak dosen makanya dikasih kelonggaran, mungkin,” jawab Dhea ragu, mungkin dia merasa tidak enak pada Lura.

Lura meringis dalam hati. Di sini Elzein yang berperan, katanya uang bisa melakukan apa pun, hal ini misalnya. Lura jadi merasa tidak enak pada teman sekelasnya, biar dimana pun meraka sama-sama mahasiswa dan mahasiswi baru.

“Maaf, gue gak maksud nyinggung lo, kok, Cuma nanya, sumpah,” ujar Dhea ketika melihat wajah Lura yang tiba-tiba berubah sendu.

“Gak. Seharusnya gue yang minta maaf, kalian pasti merasa gak adil, kan?"

Belum sempat Dhea menjawab pertanyaan Lura, tiba-tiba saja Sabira datang dan mengajak Lura berkeliling kampus. Lura mengajak Dhea untuk ikut sambil menunggu kelas masuk. Namun gadis itu menolak, tidak enak berjalan bersama dosen, katanya. Lura pun jadi ikut merasa tidak enak, biar dimana pun Sabira adalah dosen di kampus ini.

“Kamu punya pacar?” Tanya Sabira random.

“Punya.”

“Kalian LDR, yah?”

Lura mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Sabira.

“Awal ketemunya gimana?” Sabira mencoba mendekati Lura karena gadis ini adalah sepupu Elzein.

“ Aku sama dia ikut lomba olimpiade tingkat provinsi, kita satu jurusan dan kebetulan dia duduk di belakangku. Kita kenalan dan saling tukar nomor ponsel, tapi waktu itu dia jadi juaranya. Semakin lama kita semakin dekat, saat ulang tahun aku yang ke tujuh belas, dia datang ke desa aku dan kasih kejutan sekaligus nyatain perasaan,” ucap Lura sambil tersenyum mengingat kejutan yang diberikan Daniel waktu itu.

“Wah … sudah jalan satu tahun, yah, sama aku sama Zein juga udah jalan satu tahun. Semoga langgeng.” Sabira tampak berbinar mengatakan hubungannya dengan Elzein. Lura merasa tidak terima pada ucapan Sabira. Namun Lura hanya tersenyum mengabaikan raut berbinar Sabira. Keduanya kembali diam dan lanjut mengelilingi kampus itu.

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang