Seminggu berlalu begitu cepat, tidak terasa Lura sudah punya banyak teman di kampusnya, mungkin karena dia cantik atau mungkin karena dia adalah sepupu seorang Elzein. Lura tidak peduli apa pun alasan teman-temannya, yang penting mereka memperlakukan Lura dengan baik.
Lura terdiam di salah satu kursi di dekat ruang tamu yang berhadapan langsung dengan taman belakang rumah. Lura memandangi bunga yang sedang mekar itu dengan lekat lewat jendela di depannya. Indah dan memikat. Namun akan menjadi tidak berharga ketika layu, begitulah kehidupan, syukuri apa yang ada saat ini. Kamu tidak tahu apa besok kamu masih bisa bersinar seperti saat ini, atau mungkin mati seperti bunga yang layu itu, dan pada akhirnya terbuang dan terlupakan.
Lura melupakan buku yang seharusnya dia baca, dan terlelap dalam lamunan. Air mata jatuh dari pelupuk retinanya, tidak tahu mengapa Lura merasa tersisih hanya karena sifat Elzein yang kembali berubah. El menghilang. Lura bingung dan resah, semakin hari hubungan Elzein dengan Sabira semakin dekat, bahkan Sabira mengajak Elzein berkeliling dunia mencari tempat yang bagus untuk tempat foto pra-wedding.
Lamunan Lura terhenti karena pintu utama rumah yang tiba-tiba terbuka dan menampilkan Sabira dan Elzein. Tampak keduanya bahagia terlihat dari senyum mereka yang sejak tadi tidak menghilang. Sabira yang melihat Lura, datang dan menghampiri gadis itu. Tangan Sabira masih terpaut dengan telapak tangan Elzein.
“Buat kamu,” ujar Sabira sambil memberikan sebuah kotak berukuran sedang dengan warna merah maron.
Lura tersenyum dan menerima kotak itu, jika dia menolak, Lura takut Elzein semakin menjauhinya.“Makasih.”
Sabira dan Elzein berlalu meninggalkan Lura. Lura terdiam, menatap kotak itu dengan sengit, ingin sekali rasanya Lura melempar kotak itu tepat pada wajah cantik Sabira. Perlahan tangannya membuka kotak itu, ternyata isinya adalah gaun selutut berwarna biru muda dan sepatu berwarna senada.
Lura menutup kotak itu dan menghampiri Sabira, “buat kakak aja, aku gak suka pakai gaun,” ucap Lura sambil meletakan kotak itu di depan Sabira.
“Gak bagus, yah? Atau kamu mau ganti aja?”
“Gak usah.”
Sabira menatap Elzein, seolah meminta pendapat atau mungkin mengadu karena tidak terima penolakan Lura. Lura yang melihat kelakuan Sabira hanya menarik nafas gusar dan segera pergi meninggalkan mereka.
“Ambil. Pakai besok ke kampus.”
Lura menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Elzein. Sabira akan selalu menang, entah mengapa itu membuat hati Lura sakit. Jika memang Sabira yang akan menetap di rumah ini, lalu untuk apa sifat Elzein yang tiba-tiba baik kemarin, seolah Lura adalah segalanya baginya.
“Aku gak suka pakai gaun.” Jelas ini adalah penolakan. Lura tidak ingin Elzein melanjutkan perdebatan ini hanya untuk membuat Sabira yang jadi pemenang.
“Dan aku gak terima penolakan.”
Elzein menatap Lura sengit, dia tidak suka gadis ini. Menurut Elzein gadis ini sudah melewati batasan yang bahkan Sabira saja tidak mampu lakukan. Dan itu membuat Elzein semakin tidak menyukai Lura.“Terserah.” Lura melanjutkan langkahnya, biar saja dikatakan tidak sopan, Lura tidak peduli.
Elzein mengambil kotak itu dan melemparkannya pada Lura. Gaun dan sepatu itu berhambur keluar, sedang penutup kotak mengenai bagian belakang kepala Lura. Lura terkejut dan menghentikan langkahnya, dia berbalik dan menatap Elzein sendu. Sehina itu Elzein memperlakukan dirinya.
“Ambil. Harga baju dan sepatu itu lebih mahal dari gaji orang tuamu selama setahun,” ucap Elzein dengan mudahnya dan menatap Lura rendah.
Sabira terdiam menikmati drama itu secara langsung. Lura tidak menangis. Namun hatinya sakit, bahkan sangat sakit. Wajahnya memerah, entah menahan pilu, amarah atau mungkin keduanya. Wajahnya berubah datar dengan tatapan sendu berbalut marah.Lura memungut gaun dan sepatu itu. Dia berjalan kembali ke samping Sabira.
“Yang pertama, aku tidak pernah minta dibelikan ini. Yang kedua, aku udah bilang, aku gak suka pakai gaun. Dan yang terakhir, sebanyak apa pun uang kamu, kamu bakal tetap mati dan pada akhirnya kembali jadi tanah, jadi kamu gak punya hak buat ngukur kemampuan orang tua aku, Kak Elzein yang terhormat,” ucap Lura sambil melipat gaun itu dan meletakkannya di depan Sabira, “permisi,” pamit Lura segera meninggalkan keduanya.
Elzein menghentakkan kakinya, meredam emosi hingga urat-urat lehernya muncul. Dia harus bisa meredam emosi, bisa fatal jika dia sampai dikuasai amarahnya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOICE [END]
RomanceCINTA adalah diksi yang paling romantis dari semua diksi yang ada di dunia ini. Banyak sekali orang mencoba menerjemahkan kata ini. Banyak sekali kalimat yang disangkutpautkan dengan kata ini. Banyak sekali syair indah yang tercipta hanya karena kat...