04

4 1 0
                                    

Rasa tidak nyaman kembali menggeluti hati Lura, duduk bersama Zein, Papahnya, dan Mamahnya mampu membuat seluruh syaraf Lura seakan berhenti bekerja. Namun sebisa mungkin dia menyesuaikan diri dengan mengontrol mimik wajahnya, sangat memalukan bila tiba-tiba dia menangis hanya karena merasa tidak nyaman, kan?
Belum lama mereka melakukan sarapan, suara seorang wanita dari arah pintu masuk memecah keheningan yang tercipta di antara meraka.

“Selamat pagi om, tan, Zein,”ucapnya sambil tersenyum, dan berjalan ke arah meja makan.

Sontak Zein berdiri dan menghampiri gadis itu, tangannya terulur menggenggam erat tangan gadis itu. Jelas sekali tatapan penuh cinta dan memuja melekat pada netra legam milik Elzein. Gadis itu memang cantik, tidak, sangat cantik. Bukannya iri, tetapi Lura di sini adalah seorang istri sah.

“Wah … Sabira, mari makan, Nak,” ajak Teo.

Hal itu membuat Lura merasa tersakiti. Jelas sekali Teo tidak menyukainya. Namun setidaknya bisakan hanya menghargai, di depan gadis yang bernama Sabira ini dia bisa bersikap layaknya manusia, namun di depan Lura dia bahkan lebih diam dari sebuah patung, dan lebih menyeramkam dari pada seorang zombie.

Dan dengan santainya, Elzein berjalan melewati Lura yang tadinya duduk di sampingnya. Mempersilahkan Sabira duduk di samping Mamahnya yang berada di depan Lura, lalu Elzein duduk di samping Sabira. Sekarang Lura duduk sendiri di baris sebelah kanan, sedangkan Teo duduk sendiri sebagainkepala rumah tangga.

Akhirnya Lura dapat bernafas lega setelah sarapan selesai. Namun belum sempat dia ingin meninggalkan meja dengan alas an membantu merapikan piring bekas makan, Elzein terlebih dulu bicara.

“Sabira, dia Lura, sepupuku dari desa. Lura, dia Sabira, kekasihku.”
Lura tersenyum tulus walau hatinya tidak terima. “salam kenal,” ucap Lura  tanpa ada nada getir di dalamnya, bukankah banyak orang berkata, ‘kau harus masuk ke dalam permainan, untuk dapat memenangkannya’, tapi jangan lupa kata kalah itu ada. Walaupun hubungan mereka bukan berasal dari kata cinta, tapi bukan berarti Zein bisa melakukan hal sesuka hatinya, Lura tidak terima. Namun untuk sementara, ikuti saja permainan laki-laki ini.

Sabira tersenyum dan membalas ucapan Lura dengan kalimat yang sama.

“Rencananya dia mau kuliah di universitas yang sama dengan tempat kamu ngajar,” ucap Alzein dengan nada yang terdengar sangat tulus dan penuh kasih sayaang, itu berlaku hanya untuk Sabira.

Ucapan Elzein membangunkan senyum di bibir Lura. Lura menatap Alzein seolah mengucapkan kata terima kasih. Sedang sang papah sudah menatap Elzein garang, seolah tidak setuju pada ucapan Elzein , kirana menatap Lura dengan binar bahagia di wajahnya seolah mengucapkan kata selamat.

“Mau ngambil jurusan apa? Nanti aku bantu pengenalan kampus dan cara belajarnya,” ucap Sabira tampak tulus.

Hal itu membuat Lura meringis, apa Sabira akan bersikap yang sama saat tahu siapa dirinya yang sebenarnya? Lura menatap Elzein, seolah meminta jawaban. Namun laki-laki itu hanya mengedikkan bahu, jadi Lura anggap Elzein memberinya kebebasan untuk memilih jurusan.

“Arsitektur,” jawab Lura mantap.

***

Seminggu berlalu sejak kejadian di meja makan hari itu, Lura juga sudah menyiapkan semua berkas yang dia perlukan untuk mendaftarkan diri hanya dalam kurun waktu tiga hari. Sabira sesekali membantunya, juga menjelaskan hal apa saja yang dapat dia lakukan ketika di kampus nanti.
Sabira itu orang baik dan ramah, selain itu dia juga pintar, cantik dan kaya tentunya. Nyaris sempurna. Entah mengapa sikap baiknya malah membuat Lura takut, bagaimana kalo dia tahu siapa Lura sebenarnya. Seolah sikap baik itu, hanya untuk menunggu bom waktu pecah dan menghancurkan semuanya, terutama Lura.

Kala itu, Lura menelpon orangtuanya di desa dan meminta mereka untuk mengirimkan berkas yang dia perlukan berupa, kartu keluarga, ijazah,dan berbagai sertifikat yang dia punya. Tetapi orangtuanya menolak dan meminta Elzein membatalkan rencananya untuk menyekolahkan Lura. Alasannya pun sangat klasik, hanya karena takut Lura jadi lupa akan tugasnya menjadi seorang isteri.

Hal itu membuat Lura meringis geli, sejak kapan dia menjadi seorang istri? Dia hanya orang luar yang terseret dalam urusan keluarga Elzein, entah mengapa Lura tidak pernah merasa bahwa dia akan bisa menjadi figur istri yang sesungguhnya bagi Elzein. Entah itu karena Lura sendiri yang menolak atau memang Elzein yang tidak menerimanya.

Seperti saat ini, keduanya ada dalam ruangan yang sama tapi tidak ada yang memulai pembicaraan. Lura diam sama sekali tidak bergeming, padahal matanya masih tetap terbuka. Begitu juga dengan Elzein, diam dan menatap tajam pada langit-langit kamar tidurnya.

“Hmm … makasih, Elzein,” ucap Lura ragu. Memang sejak seminggu yang lalu Lura dan Elzein tidak punya waktu walau hanya untuk saling bertegur sapa. Bukan Lura yang sibuk, tetapi Elzein yang bahkan tidak punya waktu, hanya  untuk beristirahat di rumah barang sebentar.

“Untuk?” Tanya Elzein sambil mengalihkan tatapannya pada Lura yang sedang terbaring di atas sofa.

“Kesempatan kembali belajar, mungkin,” jawab Lura, matanya menatap netra legam milik Elzein.senyum kecil terlukis di bibir kecilnya. Elzein itu tampan, tapi tidak dapat tergapai sekalipun sebenarnya dia sudah ada dalam genggaman, itu pendapat Lura terhadap Elzein.

“Hmm.” Elzein memejamkan matanya dan memilih mencoba melelapkan tubuh yang terasa sangat lelah.
Lura mendengus kasar, dasar es batu, pikirnya.

Lura memejamkan matanya, benar kata orang saat kamu dirundung masalah, cobalah mengikuti alurnya tapi jangan biarkan dirimu hanyut di dalamnya. Karena faktanya, saat kamu mencoba lari dari masalah itu, dirimu hanya akan semakin terluka, saat kamu menyalahkan takdir, kamu hanya akan semakin hanyut dalam pelik yang sebenarnya kamu yang buat sendiri.

Lura ikut memejamkan mata, mencoba mencari kepingan-kepingan kenangan di masa lalu yang dapat ia putar di otaknya sebagai dongeng penghantar tidur untuk malam ini. Belum lama Lura memejamkan matanya, tiba-tiba asaja Elzein bersuara, sontak Lura membuka retinanya dan menatap elzein dengan bola mata teduh miliknya.

“Sebagai gantinya kau harus mematuhi segala peraturan yang aku buat.” Dingin dan tegas, seolah memberitahukan bahwa Lura tidak ada celah untuk menolak. Netra legamnya menatap Lura datar, entah mengapa tatapan itu membuat Lura merasa takut dan seakan ditelanjangi.
Lura tidak memberikan jawaban atas ucapan Elzein, pikirannya melayang pada minggu kemarin. Entahlah tapi dalam hati kecilnya dia merasa bahwa Elzein berubah. Lebih dingin dan menakutkan. Lura jadi merasa sekelebat rasa takut bersemayam dalam hati dan menggerogoti jiwanya.

Lura mengalihkan netranya dari netra legam yang sempat mengunci tatapannya. Mencoba memejamkannya kembali, namun tatapan datar Elzein seakan berputar di otaknya. Lura langsung membuka netranya, menatap Elzein yang sudah memejamkan netranya dan kembali mengejar mimpi di alam bawah sadarnya.

Berkali-kali Lura mencoba tidur, namun tatapan dan ucapan Elzein seakan jadi melodi yang selalu terngiang di telinga dan pikirannya. Lura memilih menegakkan tubuhnya ,sambil bersandar di punggung sofa, diliriknya jam yang berada di atas nakas di samping tempat tidur, pukul 23.47 Lura menghela nafas gusar, sedangkan laki-laki yang jadi alasan dia tidak bisa tidur, sudah terlelap.

Lura menatap wajah laki-laki itu, tampan memang, munafik jika Lura berkata dia tidak tertarik pada wajah itu. Lura mencoba mengulangi memori ketika dia pertama kali bertemu Elzein, saat itu Lura baru pulang dari pondok tempat dia mengajar anak-anak desa. Dan Elzein sudah duduk manis di teras rumahnya sambil memperhatikan warga desa yang berlalu lalang di jalan setapak depan rumah Lura. Sama sekali tidak memiliki kesan romantis atau unik, hingga sulit dipercaya atas apa yang terjadi saat ini.

Hingga mereka terjebak dalam hubungan rumit ini, Lura juga tidak tahu alasan Elzein mau menikahinya, tanpa mencoba melarikan diri. Dan mengapa dia tidak langsung saja mengurus surat cerai, maka hubungan mereka tidak perlu serumit ini. Dia tidak perlu berbohong pada Sabira.

Lamunan Lura terhenti saat ponselnya berbunyi, pertanda ada panggilan masuk. Lura melirik tidak minat pada ponsel itu, namun saat membaca nama orang yang menelpon Lura langsung tersenyum, jantungnya berpacu hebat, rasa rindu seakan bergabung di dalam hatinya dan bersiap untuk tumpah. Segera Lura menjawab panggilan itu.

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang