Lura terbangun dari tidurnya saat mentari mulai menampakkan sinarnya dari balik gorden. Lura menyingkap selimutnya, namun dia seakan merasa janggal pada suatu hal, tadi malam seingatnya dia tidur di meja dapur, lalu bagaimana caranya di sampai di kamar dan ini dia tidur di kasur bukan di sofa.
Lura melirik ke arah sofa, di sana dia melihat Elzein yang masih bergelung di bawah selimut, senyum tipis terpatri di bibir Lura, tapi bagaimana jika sebenarnya Elzein menyeret bukan menggendongnya seperti yang dilakukan oleh pria pada wanitanya. Lura menngeleng keras, dia tidak merasakan sakit di tubuhnya, jika Lura diseret pasti tubuhnya akan merasa pegal. Tapi, bagaimana jika Lura digendong oleh pak supir yang bekerja di rumah ini, ahh, Lura jadi bingung sendiri.
Lura menatap Elzein sebentar, senyumnya kembali mengembang, tidak tahu mengapa tapi wajah tampan Elzein membangkitkan senyum di bibirnya. Lura menggeleng keras, segera mengakhiri lamunannya dan berjalan ke luar kamar setelah membasuh wajah dan menngosok giginya.
Berjalan ke arah dapur dan kebetulan melewati kamar mertuanya. Lura mendengar suara histeris dan kesakitan dari dalam, segera Lura mendekat dan menempelkan telinga di pintu kamar itu. Erangan kesakitan dan meminta tolong terdengar begitu jelas, sontak Lura mengetuk pintu itu.
“Mah … mamah kenapa? Buka pintunya, Mah! Mamah!” Lura sedikit menaikkan nada bicaranya, tangannya juga semakin keras mengetuk pintu saat erangan kesakitan sang mamah mertua semakin keras.
Tidak ada balasan, melainkan suara mertuanya yang mengerang kesakitan semakin jelas terdengar. Lura menggedor pintu itu keras, tangannya bergerak membuka engsel pintu, tetapi sayang terkunci. Lura heran biasanya pagi-pagi begini akan banyak pelayan yang bekerja, namun saat ini satu pun tidak ada yang kelihatan.
“Mamah … buka pintunya, ini Lura. Mamah kenpa?” Tanya Lura sedikit berteriak, tangannya tetap mengetuk pintu itu brutal.
Setelah beberapa menit berteriak dan mengetuk pintu, kini pintu itu bergerak, Lura menunggu tidak sabar takut sesuatu yang buruk terjadi pada mertuanya itu. Lura terkejut melihat sang mertua, rambutnya acak-acakan bahkan beberapa helai menggantung di bajunya seakan habis dijambak. Bajunya tampak kusut, wajahnya memerah jelas bekas telapak tangan ada di sana, bukan hanya itu tangan dan betisnya memerah seolah habis kena cambuk.
“Ma … mamah kenapa?” Tanya Lura bergetar, tangannya terulur hendak menyentuh bahu sang mertua, namun langsung ditarik oleh laki-laki yang entah sejak kapan ada di belakanganya.
“Gapapa,” sahut Kirana dingin.
Siapa yang akan percaya pada kata itu jika yang disuguhkan adalah penampilan kacau seperti Kirana saat ini, bahkan orang gila sekalipun akan berpikir dua kali untuk percaya. Lura segera menggeleng hendak menyentuh sang mertua dan segera di tepis kasar oleh Kirana.Lura semakin bingung, Elzein bahkan tidak bereaksi apa-apa saat melihat ibunya yang sangat kacau, Lura meringis dalam hati. Bahkan Elzein menarik tangan Lura kasar dan meninggalkan sang ibu.
“Bawa istrimu pergi membeli kebutuhan dapur, Zein.” Begitu pesan sang ibu sebelum mereka berdua semakin jauh darinya. Kirana kembali masuk dan mengunci pintu kamar itu, mendapat luka begini sudah hal biasa baginya.
Lura tidak tahu harus bereaksi apa, melihat orang sekacau Kirana tadi adalah yang pertama kalinya bagi Lura. Biasanya dia melihat itu hanya pada sinetron dan Lura tahu bahwa itu adalah hasil make up, tapi yang tadi itu nyata, lalu siapa yang melakukan itu, tidak mungkin Kirana sendiri melukai dirinya dan meminta tolong, jawabannya pasti papa mertuanya.
Kenapa dia melukai istrinya sendiri? Dan kenapa Elzein diam saja, tidak peduli bahkan tidak bertanya seolah hal itu sudah biasa. Lura semakin bingung, cekalan di tangannya tidak lagi dia rasakan, bahkan tubuhnya yang terseok-seok karena ditarik oleh Elzein tidak lagi dia rasakan.
Setelah Elzein berhenti, Lura memandang Elzein serius, “kenapa kau membiarkan ibumu terluka? Bahkan kau tidak bertanya, apa kamu tidak peduli pada orang yang telah melahirkanmu? Dia terluka dan sangat kacau tapi kau tidak menolongnya, apa yang terjadi dengan hatimu?”
Elzein mencekal erat tangan Lura. Mendengar ucapan Lura membuatnya marah, Elzein menghempas tangan Lura dan mendorong bahu Lura hingga dia terjatuh di lantai kamar mereka. Mata legamnya menatap Lura dingin dan tajam, “itu bukan urusanmu.”
“Itu memang bukan urusanku karena aku bukan siapa-siapa di rumahmu ini, namun sebagai seorang manusia aku punya hak untuk menolong orang lain sekalipun kami tidak memiliki hubungan,” ucap Lura dengan bergetar, bokongnya terasa ngilu karena bersentuhan langsung dengan lantai dengan cara yang tidak wajar.
“Tapi kurasa kamu tidak tahu itu, kan? Ibumu saja yang terluka tidak kamu tolong apalagi orang yang tidak memiliki hubungan denganmu,” lanjut Lura sambil kembali berdiri dan membalas tatapan Elzein walau dia tahu tatapannya tidak bisa membuat Elzein merasa takut.
Lura merasa air mata yang sudah dia tahan sejak tadi, kini berkumpul di pelupuk retinanya bersiap jatuh dan membasahi pipinya. Dan laki-laki di depannya ini sama sekali tidak merasa bersalah, setidaknya pada ibunya, namun yang Lura lihat hanya tatapan tajam di wajah datarnya yang menakutkan.
“Bersiaplah, aku menunggu di depan,” ujar Elzein pada akhirnya dan meninggalkan Lura yang terdiam sambil menunduk, menikmati setiap tetes air mata yang jatuh dari pelupuk retinanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CHOICE [END]
RomanceCINTA adalah diksi yang paling romantis dari semua diksi yang ada di dunia ini. Banyak sekali orang mencoba menerjemahkan kata ini. Banyak sekali kalimat yang disangkutpautkan dengan kata ini. Banyak sekali syair indah yang tercipta hanya karena kat...