19

4 1 0
                                    

Lura menghapus air matanya dan menahan sesak di dadanya, sudah seminggu gadis itu tidak meninggalkan rumah Dhea. Zein sama sekali tidak mencarinya, padahal Lura yakin laki-laki itu mengetahui Lura ada di rumah Dhea. Lura juga memilih tidak pergi ke kampus dan mengurung diri di kamar Dhea.

Sebut saja Lura labil dan belum dewasa, tapi nyatanya pengaruh seorang Elzein Tarata sudah sangat banyak di hidupnya. Gadis itu merindukan laki-laki brengsek itu. Padahal Lura ingat sekali sejahat apa laki-laki itu padanya.

“Gak makan dulu, Ra,” Tanya Dhea sambil memasuki kamar dengan sebuah nampan di tangannya.

“Makasih, Dhea,” ujar Lura tersenyum semanis mungkin.

“Hari ini kamu ikut ke kampus, kan?” Tanya Dhea lagi sambil meletakkan nampan yang ia bawa di pangkuan Lura, gadis itu juga mendudukkan bokongnya di samping Lura.

“Selama satu minggu ini, apa kamu pernah lihat Sabira di kampus?” Lura tidak menjawab pertanyaan Dhea dan malah bertanya balik pada Dhea.

“Nope,” jawab Dhea sambil menyisir rambut Lura dengan lembut.

Lura mulai sibuk dengan sarapannya, sedangkan Dhea sibuk dengan rambut Lura. Dhea mengikat rambut Lura setengah, sedang setengah lagi dibiarkan tergerai begitu saja.

“Dari awal aku kenal Sabira, aku udah punya feeling, sih. Muka malaikatnya itu Cuma buat nutupin kelakuan bejatnya, untung ajah Elzein sadar, siapa sebenarnya Sabira itu.” Dhea berucap di tengah kesibukannya mengikat rambut Lura.

“Hari ini, apa Zein datang?” Tanya Lura hati-hati, padahal gadis iitu sudah tahu jawabannya.
Dhea menggeleng, sebagai jawaban atas pertanyaan Dhea.

“Dia sama sekali gak punya feeling sama aku, yah, Dhe,” ucap Lura dengan retina yang berkaca-kaca. Nafsu makan Lura langsung menghilang, gadis itu menghentikan tangannya yang hendak menyendokkan nasi goring kemulutnya, Lura memilih menyelesaikan makannya. Padahal belum sepuluh sendok, gadis itu makan.

Dhea kelabakan, tidak tahu akan menjawab apa, “kita ke kampus, kan?” Dhea berusaha melarikan topik agar Lura tidak lebih sedih lagi.
Lura akhirnya mengungguk. Lagipun sudah seminggu dia tidak menginjakkan kaki di kampus dengan alasan sakit.

***

”Hari ini Nona Lura sudah kembali pergi ke kampus setelah satu minggu absen,” ujar seorang wanita yang umurnya sekitar pertengahan antara dua puluh dan tiga puluh.
Zein mengangguk dan tersenyum tipis.

“Dari penyelidikan yang saya lakukan, beberapa hari terakhir ini, Sabira selalu mengirimi pesan berisi ancaman kepada Nona Lura. Ketika saya berpura-pura menjadi seorang pelayan di rumah Nona Dhea, saya melihat penampilan kacau Nona Lura. Dan saat saya bertanya pada Nona Dhea, katanya Nona Lura merindukan anda.”

Zein tersenyum lebar, gadisnya itu memang sangat lucu, “kau punya bukti, kan?” Tanya Zein pada Sharen, detektif wanita yang masih muda, tapi kompeten.

“Ada, saya berhasil menyadap ponsel Nona Lura. Selain informasi tadi, saya juga ingin menyampaikan bahwa, Tuan Daniel sudah melaporkan Sabira ke polisi dengan berbagai bukti yang dia punya,” ucap Sharen tegas dan tanpa bertele-tele.

“Lalu?

“Kemungkinan hari ini, polisi akan menemui Nona Lura dan meminta keterangan darinya.”

Zein mengangguk, “soal mertua saya, sudah kau urus?”

Sharen mengangguk, “alasan Nona Lura tidak melaporkan teror yang ia terima ke pihak yang berwajib adalah orangtuanya,” tambah Sharen.

Zein kembali mengangguk, “di saat pengadilan untuk penentuan pidana untuk Sabira, kirimkan bukti sebanyak mungkin tanpa menyertakan identitas pengirim, paham?”

Sharen mengangguk dengan wajah datar khas miliknya.

“Baiklah, kau boleh pergi. Tetap awasi istri saya.”

Zein beralih menatap foto isteri kecilnya di ponsel pintar miliknya setelah Sharen keluar dari ruangannya. Laki-laki itu sengaja tidak menemui bahkan tidak menghubungi Lura, agar gadis itu paham, seperti apa sebenarnya perasaannya.

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang