03

5 1 0
                                    

“Bagaimana kalo dia ikut Mamah ke dapur?”

Tawaran yang menguntungkan dan merugikan bagi Lura, bagaimana tidak, dia bebas dari suasana tidak mengenakkan bersama  Elzein, tetapi masuk ke suasana menegangkan bersama ibu Elzein.

Zein menatap Lura seolah meminta pendapat, Lura menganggukkan kepalanya pertanda menerima tawaran sang ibu mertua. Walaupun hatinya sedikit takut, tapi itu lebih baik daripada bersama orang yang selalu berpua-pura baik seperti Zein.
Allura kemudian berjalan di belakang ibu mertuanya, ingin membuka pembicaraan tapi rasa takut lebih berkuasa atas dirinya. Hingga bibirnya terasa kelu dan tangannya dingin bukan hanya itu, jantungnya seakan berpacu dengan bunyi dentingan jam besar yang berada di ruang tamu.

“Apa kamu akan tetap diam?” suara sang ibu mertua lagi-lagi mengagetkannya dari lamunan yang entah sejak kapan menyelimuti pikirannya.

“Hmm … maaf, Tante,” ucap Lura sambil menunuduk, segera dia mendekati sang ibu mertua dan membantu meletakkan piring di meja. Ada sekitar tiga orang pembantu yang bertugas di dapur, belum lagi yang tadi Lura lihat sedang membereskan ruang tamu. Lura jadi ingat ibunya di desa, dulu dia dan ibunya akan bekerja sama melakukan pekerjaan rumah, tetapi sekarang ibunya akan sendirian pasti dia akan merasa lelah, batin Lura.

“Siapa namamu?”

“Lura, Tante. Allura tiarani.”

“Nama yang bagus persis dengan cantiknya wajahmu. Jangan panggil tante lagi, panggil mama,” ucap kirana, mamah Elzein sambil tersenyum tulus.

Lura meringis di dalam hati, kemarin dia masih ingat tatapan wanita di depannya ini dan sekarang dai tersenyum tulus seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka, apa mungkin ibu mertunya ini memiliki kepribadian ganda seperti yang dia baca dalam novel?

“Maaf untuk yang kemarin, mamah terpaksa melakukannya karena takut pada papah mertuamu, Lura maukan maafin Mamah?”

Begitu, pantas saja, batin lura. Segera dia tersenyum dan mengangguk , setidaknya dia harus punya teman di rumah ini. Perihal papah Elzein nanti saja dia cari tahu. Sejauh yang Lura lihat, sepertinya  pembedaan gender terjadi di rumah ini.

***

Terhitung Lura dan Kirana baru tiga puluh menit bersama tetapi meraka sudah akrab bahkan tak jarang mereka tampak berpelukan. Tawa mereka mengundang para pelayan ikut bahagia dan tertawa kecil tampak malu-malu. Mereka membahas banyak hal, salah satunya tentang kehidupan Lura di desa atau kehidupan Kirana sebelum jadi Nyonya Tarata, dan fakta yang mengejutkan bagi Lura adalah ternyata Kirana juga berasal dari desa, walau bukan desa yang sama dengan Lura.

“Kamu bisa masak, Lura?” Tanya Kirana sambil merapikan masakan para pembantu dan menaruhnya di meja. Kirana dan Lura memang tidak ikut memasak hanya membantu-bantu seperti menyusun piring dan gelas di meja dan makanan lainnya.

“Bisa, Mah,” jawab Lura mantap.

“Kalo gitu bisa dong masakin sesuatu buat mamah dan suamimu.”

Lura terdiam seakan ditampar kenyataan, dia bahkan sudah lupa fakta yang baru saja menimpa hidupnya. Lura menarik nafas gusar kemudian mengangguk dan memaksakan senyuman di bibirnya. Sementara mereka terdiam, hingga sebuah pertanyaan mampir di kepala Lura. Ragu untuk bertanya ,namun dia juga penasaran.

“Mmm, Mamah, apa Elzein itu anak tunggal?” Tanya Lura pada akhirnya.
Kirana terdiam, bahkan tangannya berhenti bergerak. Lura jadi bingung sendiri ,tidak tahu apa yang salah dengan pertanyaannya.
.
“Bukan. Zein punya saudara , namanya Dani. Dia seumuran kamu, sekarang lagi kuliah dan kebetulan dia tinggal di apartment miliknya, biasanya dia pulang setiap hari sabtu,” ujar Kirana. Namun entah mengapa Luna merasa ada sesuatu yang terjadi antara mereka, hingga untuk menjawab pertanyaan Lura saja tampak susah bagi Kirana.

Rasa penasaran masih membuncah dalam hati Lura, namun lebih baik diam, kan, agar bisa tetap dalam zona nyaman. keduanya kembali pada pekerjaan masing-masing, namun kali ini rasanya sangat mencekam dan hening, mungkin satu buah jarum kecil yang jatuh ke lantai pun akan terdengar dengan jelas bunyinya.

“Dia bukan anak mamah, dia anak mas Teo dari selingkuhannya.”
Seakan terbentur pada batu keras, Luna meringis keras dalam hati. Patas saja dia menjadi diam setelah menjawab pertanyaan Lura, ternyata ada hal besar dibaliknya, hal besar yang menyakitkan. Lura jadi terpikir, apa dalam hubungannya dengan Elzein akan terjadi hal seperti ini, atau mungkin dirinyalah yang jadi penghancur hubungan orang itu, rumit.

Lura memilih diam, tidak tahu bereaksi apa. Sorot terluka jelas terpatri dalam tatapan teduh Karina. Luna paham, bagaimanapun dia seorang perempuan, dan dikhianati bukanlah sebuah hal yang dapat dimaafkan dengan mudah. Walaupun hati sudah ikhlas menerima, tapi logika pasti tidak akanpernah terima dikhianati.

“Maaf, Mah.” Dari semua kata yang bermunculan di pikirannya, tapi kata itulah yang keluar dari mulutnya, setidaknya tidak memperkeruh keadaan.

“It’s okay, Darling. Semuanya sudah siap. Sekarang kamu mandi, baru nanti turun bareng Zein buat sarapan,” ujar Karina sambil tersenyum. Rasa lega menyelimuti hati Lura, dia bersyukur setidaknya Kirana kan tetap jadi temannya, tadi dia sudah takut akan kembali merasa dimusuhi di rumah besar ini.

***

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang