11

3 1 0
                                    

Lura tidak tidur lagi setelah selesai berurusan dengan Elzein, Lura lebih memilih memandangi langit lewat balkon kamar sambil menanti matahari kembali hadir menerangi bumi. Lura terdiam menikmati angin pagi yang menyentuh kulitnya lembut, sesekali Lura memejamkan mata sambil menghela napas gusar.

Lura bingung dengan sikap Elzein, terkadang dia baik seperti waktu itu, kadang juga kasar seperti kemarin dan kadang semena-mena dan suka mengatur serta bertingkah seperti seorang kekasih pencemburu seperti tadi. Lura semakin bingung ketika Kirana memberikan surat lewat pembantu yang isinya permintaan maaf dan menjelaskan bahwa dia hanya berpura-pura kasar di depan suaminya.

Lura meremas surat itu kasar, semakin hari dia merasa rumah ini punya banyak sekali hal yang membingungkan. Elzein yang sifatnya berubah-ubah, Kirana yang takut pada Teo, suaminya sendiri. Dan Teo yang sangat dingin bahkan kepada anak dan istrinya sendiri. Lura jadi bingung harus bersikap seperti apa, mungkin dia juga harus bersikap aneh seperti mereka, misalnya bersikap seperti bocah.

Elzein yang sebenarnya tidak kembali tidur, mendekati Lura. Elzein menyampirkan selimut ke pundak Lura. Laki-laki itu duduk di samping Lura, tangannya meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. Elzein menatap lekat wajah Lura, perlahan bibirnya terangkat melengkung membentuk sebuah senyuman yang terlihat tulus. Lura bergeming, tidak tahu harus berbuat apa. Retinanya memandang Elzein sendu, Lura takut membuat Elzein kembali marah seperti tadi.

“Al, maaf. Aku gak maksud buat kamu takut,” ujar Elzein lembut dan tulus.
Lura menggeleng, “kenapa berubah, El? Kadang kamu baik seperti saat ini. Kadang kamu membuat aku takut, tapi bukan itu, El. Sekarang aku merasa kamu dekat, ada dan bisa aku gapai, terkadang kamu terasa jauh dan tidak aku kenal, seolah-olah kamu ada dua.”

Elzein menatap Lura lembut, tangannya terulur menyentuh pipi Lura dan mengelusnya lembut.

“Kamu gak bakal paham, Al?”

“Karena aku gak paham makanya butuh kamu buat jelasin. Jangan buat aku bingung, El.”

Elzein bangkit dari duduknya, “besok kamu bakal tau segalanya, Al.” Elzein berlalu meninggalkan Lura sendirian di balkon kamar yang masih terdiam dalam kebingungannya. 

***

Setelah pulang dari kampus, Elzein membawa Lura ke salah satu  perbelanjaan di pusat kota. Lura merasa bahagia, sudah lama dia berangan-angan menjelajahi kota seperti saat ini. Tujuan keduanya adalah salah satu stand tempat penjual ponsel, Elzein sudah berjanji akan mengganti ponsel Lura yang ia rusak tadi pagi.

Elzein menggenggam tangan Lura erat, keadaan sekitar mereka saangat ramai, jika dilepas bisa-bisa Lura akan hilang dalam seperkian detik. Laki-laki itu memperhatikan wajah gadisnya yang sejak tadi terlihat bahagia dan kagum pada apa yang ia lihat.

Elzein tidak tahu apa isi otak kecil gadisnya itu, bagaimana bisa dia bahagia hanya berkeliling begini.
“Mau coba kuliner dulu?” Tanya Elzein pelan hamper berbisik, tubuh mereka sangat dekat bahkan lengannya saling bersentuhan.
Lura mengangguk. Tidak boleh menolak rezeki, toh, Lura memang lapar.

Lura dan Elzein menghampiri setiap stand perbelanjaan khusus makanan siap saji. Namun mereka belum mendapat makanan yang dapat menarik perhatian keduanya. Lura dan Elzein tetap berjalan hingga mendapati salah satu stand yang sama sekali tidak menarik perhatian orang, tetapi mampu menarik perhatian keduanya.

Lura menatap Elzein ketika memandang seorang nenek yang sudah berumur dan cucunya yang sekitar dua tahun di bawah umur Lura. Nenek dan cucunya itu mencoba menarik perhatian pembeli. Namun tidak satu pun yang singgah dan membeli jualan mereka.
Lura menarik tangan Elzein dan menghampiri keduanya, Lura memesan sate yang dipadukan dengan kuah kacang untuknya dan semangkok bakso untuk Elzein. Mungkin bangunan yang sudah menua adalah alasan pembeli tidak tertarik pada jualan mereka, padahal menurut Lura walau tempat ini usang tapi cukup bersih.

“Mau,” ucap Elzein dengan nada manja, Lura mendelik tidak peduli, Elzein itu membingungkan.

“Mau mati?” Tanya Lura tajam, Elzein itu alergi kacang, bisa-bisa setelah makan kacang mereka harus ke rumah sakit untuk mengobati Elzein.
Elzein mengambil satu tusuk sate itu, mendekatkannya pada mulut Lura, “jilat kacangnya.” Itu pernyataan atau permintaan? Rasanya Lura lebih percaya itu perintah.

Lura menjilat kuah kacang yang menempel ditusuk sate itu. Mati-matian Lura menjilat sate itu berharap Elzein jadi jijik. Setelah cukup bersih Lura menghentikan jilatannya, Lura menatap Elzein, perlahan sate itu masuk ke mulut Elzein. Dengan santai laki-laki itu mengucah dan menikmati sate itu, seolah tidak peduli bahwa Lura sudah menjilatnya lebih dulu.

Lura segera menarik tusuk sate itu dari Elzein dan membuangnya bahkan Lura menginjak tusuk sate itu saking kesalnya pada Elzein.

“Kenapa?” Tanya Elzein tidak ada kilatan marah di retina itu, membuat Lura merasa perasaan aneh semakin menyusup ke relung hatinya.

“Gak jijik? Kalo mau makan sate, kamu bisa pesan yang gak pake kuah kacang,” jawab Lura pelan dan penuh penghayatan, retinanya masih menatap Elzein yang tetap mengunyah sisa sate di mulutnya.

Elzein tersenyum dan mengelus wajah Lura pelan, perlahan ibu jarinya mengelus bibir Lura pelan, “aku mau ini,” ucap Elzein lirih dan penuh minat.

Lura menghempas tangan Elzein di wajahnya dan menatap laki-laki itu tajam, “mesum,” pekik Lura kesal. Namun lain dengan hatinya yang sudah berpesta ria di dalam sana. Lura takut terlalu terbawa suasana saat bersama Elzein, karena Elzein itu suka berubah-ubah layaknya seekor bunglon.

Lura mengalihkan tatapannya dari wajah Elzein yang masih tersenyum tidak jelas, hingga pandangannya bertubrukan dengan pandangan cucu pemilik jualan itu. Lura tersenyum tulus mencoba bersikap ramah.

“Suami kakak ganteng, baik, kaya, dan sayang sama kakak, Lena mau punya suami kayak suami kakak. Semoga pernikahan kakak terberkati dan selalu mendapat yang terbaik hingga ke kakek nenek,” ucap gadis muda yang bernama Lena itu sambil tersenyum, hingga membuat neneknya yang tadi sedang menyiapkan daging untuk dijadikan sate jadi ikut tersenyum dan mengangguk ke arah Lura dan Elzein.

Lura tersenyum. Namun jauh dalam lubuk hatinya tidak terima pada ucapan gadis itu. Lura hanya diam dan memandang Elzein yang sedang menatapnya lekat, Lura mencoba mencari sesuatu yang ingin dia lihat dalam tatapan itu. Namun yang Lura lihat adalah tatapan penuh cinta dan ketulusan, bagaimana bisa Lura bisa menjamin bahwa dia tidak akan jatuh cinta pada laki-laki ini, jika Elzein selalu bersikap sehangat ini.

“Amin, makasih doanya. Semoga kamu mendapat suami seperti yang kamu inginkan.” Bukan Lura yang menjawab tetapi Elzein. Lura takut jika itu hanya permainan Elzein saja, dia takut saat semuanya sudah dia serahkan pada laki-laki ini, Elzein pergi meninggalkannya. Tuhan tolong Lura.

Lura dan Elzein meninggalkan tempat itu setelah membayar makanan mereka, Elzein juga memberikan uang lebih kepada mereka. Lura bangga, ternyata Elzein bisa juga peduli pada orang lain. Setelah berkeliling lagi dan membeli ponsel untuk Lura, mereka berdua berlalu meninggalkan pusat perbelanjaan itu.

“Kita mau kemana?” Tanya Lura saat melihat jalan yang mereka lewati bukan jalan ke rumah mereka.

Suasana jalan yang mulai dipadati oleh kendaraan lain memberikan sensasi tersendiri bagi yang melihatnya begitu juga bagi Lura. Apalagi dipadukan dengan langit yang mulai menggelap, menyempurnakan perjalanan mereka.

“Ada,” jawab Elzein singkat. Lura mendengus tidak puas.

Setelah beberapa saat di dalam mobil, kini mereka telah sampai di salah satu Rumah sakit yang cukup terkenal di daerah itu.

“Ngapain ke sini? Kamu sakit? Alergi kamu kambuh?” Lura menempelkan punggung tangannya di jidat Elzein, kemudian mengecek tangan Elzein takutnya ada bintik-bintik merah di sana.

Elzein tersenyum, Lura bahkan tidak ingat sudah berapa kali manusia kulkas ini tersenyum selama hari ini. Elzein menarik tangan Lura yang ada di jidatnya, menggenggamnya erat dan mengecup punggung tangan gadisnya itu lembut.

“Aku memang gak sehat, Al. Bukan karena alergi, tapi ada sesuatu,” ucap Elzein lembut dan membantu Lura keluar dari mobil. Lura terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakana, pikirannya melayang entah memikirkan apa.

“Ayok masuk.” Suara Elzein menyadarkan Lura dari lamunannya, ternyata mereka sudah sampai di salah satu ruangan di Rumah sakit itu.

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang