01

9 2 2
                                    

19.00 WIB

Udara malam ini seakan bertambah dingin dengan hembusan angin di sela-sela hujan yang mengguyur bumi. Tiap tetes hujan seakan melukiskan suasana hati seorang gadis yang sedang duduk di dekat jendela kamar tidurnya.

Ada apa dengan takdir? Apa kesalahan yang pernah dia perbuat hingga mendapat bencana sebesar ini? Tidak pernah ada kalimat dalam tiap bait doanya berharap mendapat masalah serumit ini dalam hidupnya. Gadis itu memeluk lututnya erat. Tampak retinanya membengkak, mungkin karena terlalu lama menangis.

"Apa kau akan di situ semalaman?" tanya seorang laki-laki dewasa yang baru masuk ke dalam kamar tidur itu. Terlihat tampan dengan balutan kaos putih polos dengan training hitam yang melekat pas membungkus tubuh kekarnya.

Allura diam. Tidak ada niatan membalas ucapan laki-laki yang diketahuinya bernama Elzein itu. Allura menatap Elzein dengan tatapan yang sangat sulit dimengerti oleh Elzein. Walau ada luka dalam tatapan sendu itu, Elzein tidak bisa berbuat banyak hal pada Allura.

Allura Tiarani. Seorang gadis berusia 18 tahun yang harus terlibat hubungan rumit dengan Elzein Tarata. Seorang laki-laki dewasa berusia 25 tahun, yang bekerja sebagai ceo di perusahaan keluarganya.

"Apa kau akan menangis terus? Jangan terlalu banyak drama! Bukan hanya kau yang dirugikan di sini!" Terdengar dingin dan tegas menusuk indera pendengaran Allura, memaksa Allura mendongak dan menatap nyalang pada netra yang kini menatapnya dingin.

Allura bangkit dan berdiri di depan Elzein, air mata masih mengalir deras membasahi pipinya. Penampilannya sangat kacau, rambutnya acak-acakan, wajahnya terutama pada bagian mata, hidung dan pipi memerah, dan bajunya yang sedikit basah, mungkin terkena tetesan air matanya sendiri.

"Apa yang harus aku lakuin selain menangis? Apa aku harus diam seperti orang gila seolah tidak terjadi apa-apa? Atau berteriak dan mengacaukan rumahmu ini? Di sini masa depanku di pertaruhkan, selain umurku yang masih belia yang seharusnya masih tertawa bersama remaja seumuranku harus terjebak dalam hubungan rumit ini, apa lagi yang harus aku lakukan?" Allura menangis dalam tiap ucapannya. Seakan sebuah belati menancap tepat pada ulu hatinya, tapi sayang dia tidak bisa menarik belati itu. Dia hanya bisa menjerit kesakitan tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku juga tidak tahu, tapi kau juga tidak bisa seperti ini, cobalah menerima kenyataan sembari aku menemukan jawaban dari masalah yang menimpa kita," ucap El dingin kemudian berlalu keluar dari tempat itu. Meninggalkan Allura yang sudah meluruh ke lantai. Lagi-lagi dia mengepalkan tangannya erat kemudian memukul kepalanya kuat.

"Bodoh!" pekiknya keras pada dirinya sendiri.

Masalah mereka bermula saat Elzein datang menghampiri sebuah pedesaan. Di sana dia tinggal di rumah sang kepala desa yang adalah orangtua dari Allura. Elzein berada di sana murni karena urusan bisnis dengan warga desa yang ingin menjual tanah pada Elzein.

Hingga saat Elzein berkeliling tanah yang hendak dia beli yang ternyata adalah semak yang lumayan lebat. Disaat yang bersamaan Allura melewati jalan di sekitar ladang itu menuju pondok kecil yang dia gunakan untuk mengajar anak-anak di desa itu.

Elzein terjatuh hingga kakinya terasa sangat sakit. Alhasil Elzein meminta tolong, dan Allura yang kebetulan lewat hendak menolongnya dengan memapah Elzein. Namun, belum sspulah langkah mereka berjalan, Allura kehilangan keseimbangan hingga jatuh dan tertimpa Elzein di atasnya. Tidak sakit, karena Allura jatuh menimpa semak.

Dan yang paling mengejutkan adalah, beberapa warga desa lewat dan melihat mereka dalam posisi injawabannya ontak Allura dan Elzein berdiri dengan wajah terkejut, hal itu mengundang banyak tanya dalam benak warga, namun jawabannya hanya satu, Allura dan Elzein sedang melakukan hal mesum. Mereka menggiring keduanya menuju rumah pak Kades, yang merupakan rumah Allura sendiri.

Satu per satu warga menuturkan apa yang mereka lihat, yang tentu saja ditepis oleh keduanya. Namun seakan tidak mau kalah, warga semakin menyudutkan mereka berdua. Allura memeluk ibunya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher ibunya. Sekali-kali terdengar isakan dari bibir tipisnya.

"Ibu ... Lura gak gitu, Lura gak kenal dia," isak Lura kecil seolah berbisik pada sang ibu. Matanya beralih menatap sang ayah yang duduk di sampingnya, "Ayah ... itu salah paham, aku gak ngapa-ngapain," ujar Lura menatap Ayahnya seolah meyakinkan sang Ayah.

"Pak Kepdes, walaupun Lura adalah anak Bapak, Bapak harus berbuat adil," ucap salah satu warga.

"Kami semua melihat apa yang mereka perbuat, belum lagi laki-laki ini tinggal di rumah ini. Siapa yang tahu apa ajah yang sudah mereka perbuat!" seru warga lain semakin menekankan pendapat mereka.

Desa tempat Allura tinggal memang masih jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Selain alamnya yang masih bersih, desa yang Allura tempati masih memiliki adat yang sangat kental. Salah satunya begini, bagi mereka yang terpergok melakukan hal-hal yang melewati adat, akan diusir dari desa atau dinikahkan seperti Allura dan Elzein.

Hukum negara dan hukum adat seolah berdampingan dan saling melengkapi. Sangat jarang terjadi pelanggaran di desa ini mengingat sanksi yang akan mereka terima sangatlah tegas. Allura menarik nafas gusar, biar dimanapun dia sangat memahami hukum di desanya ini.

Alzein yang duduk di depan Allura sama gusarnya dengan gadis itu. Namun, sebisa mungkin dia mengendalikan mimik wajahnya agar tetap terlihat tenang. Alzein sudah menelpon keluarganya, namun sang papa tidak menerima hal itu dan meminta Alzein menyelesaikannya tanpa ada pernikahan.

Alzein mengerti kenapa sang papa sangat menentang pernikahan ini. Alzein sendiri juga tidak bisa menerima pernikahan ini karena dia sudah memiliki pujaan hati yang ingin dia jadikan sebagai ratu dalam istananya kelak. Dan sang papa sudah mengenal keluarga sang kekasih dengan baik, bahkan sudah menata proyek besar bersama.

"Kau, bicaralah!" ucap Allura tegas menunjuk Elzein.

Elzein menatap Allura dingin, "begini saja, jika dalam beberapa minggu ke depan gadis ini hamil, aku akan bertanggung jawab. Biar dimana pun aku akan tetap di sini untuk beberapa waktu ke depan, untuk menyelesaikan proyek di tanah kalian," ujar Elzein dengan penawaran yang bersahabat.

"Tidak, tidak bisa. Pasti kalian sudah melakukan sesuatu untuk mengantisipasi kehamilan Lura," ujar salah satu warga.

"Lura, aku gak nyangka, kamu nolak lamaran aku untuk laki-laki dari kota yang sama sekali tidak bertanggung jawab," ujar Dani, warga desa yang baru saja sampai di rumah kepdes setelah mendengar kabar tentang Allura.

"Lura tidak pernah dekat dengan pemuda di desa ini, ternyata pacarnya orang kota yang tidak bertanggung jawab," ucap salah satu warga dengan nada ketus.

Berbagai ucapan yang tidak mengenakkan terdengar oleh Lura dan Zein. Mereka bicara dengan nada ketus seolah ucapannya tidak berpengaruh pada hati orang yang sedang mereka bicarakan. Rejio, ayah Lura terdiam. Hati kecilnya sangat ingin menolong sang putri tapi posisinya sebagai kepala desa membuatnya harus bersikap tegas.

"Maafkan Ayah, Lura," bisik Rejio pada sang putri dengan nada getir.

"Baiklah, dengan semua bukti dan tuntutan warga, Lura dan nak Zein akan dinikahkan dua hari yang akan datang."

Seolah batu besar yang menghantam kepalanya, Lura terdiam menatap sang Ayah dengan sendu. Jantungnya berpacu dengan cepat seolah saling mengejar dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Elzein terdiam tidak tahu lagi apa yang harus dia perbuat untuk menolak pernikahan ini.

***

Hargai tulisan ini dengan vote dan komenmu🙏

Tertanda,

Dwiana Hutabarat❤

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang