18

5 1 0
                                    

“Kerja bagus, Ra. Papah tidak tahu kamu sepintar ini,” kata Pak Teo sambil mengusap puncak rambut Lura dengan lembut.

Lura mengangguk sambil tersenyum, gadis itu mencium punggung tangan mertuanya itu dengan sopan. Namun sebelum Lura melangkah pergi, Zein menahan tangannya dan menarik Lura pergi dari ruangan itu. Zein membawa Lura ke ruangan pribadinya.

“Aku mau bicara, Ra,” ujar Zein setelah berhasil mendudukkan Lura di sofa ruangannya.

“Lima menit.”

“Pulang ke rumah, Ra. Kita perlu bicara banyak hal,” sahut Zein dengan datar, Lura benar-benar menguji emosinya.

“Aku pasti pulang, tapi tidak untuk sekarang,” ucap Lura dengan wajah datarnya.

Zein menghela napasnya gusar, keduanya terdiam hingga beberapa menit. Di saat Lura merasa semua sudah cukup, Lura berdiri dan pergi dari ruangan itu dengan cepat. Lura masih sakit hati dengan Zein, selain ucapannya yang sangat menyakitkan, juga Zein yang berani melukai fisiknya.

“LURA!” teriak Zein saat menyadari Lura sudah keluar dari ruangannya. Zein mengutuk dirinya yang sempat memejamkan mata tadi, juga dirinya yang lupa mengunci pintu.
Lura berlari secepat yang dia bisa, gadis itu harus segera keluar dari bangunan besar ini. Sesekali dia menetap ke belakang dan mendapati tubuh tegap Zein yang ikut berlari untuk mengejarnya.

Lura berdiri di depan lift dan menekan tombol lift dengan tergesa, namun lift itu tak kunjung terbuka, sepertinya ada yang sedang menggunakannya. Lura meringis dan saat melihat Zein yang semakin dekat, Lura berlari ke arah tangga darurat dan menuruninya dengan cepat.

Lura menghela napasnya gusar, setelah tenaganya hampir habis karena berlari untuk menghindari Zein, saat ini Lura sudah berada di tepi jalan besar. Lura berhenti sebentar dan mencoba menetralkan nafasnya yang sudah tersengal-sengal. Lura melirik ke arah belakang dan mendapati Zein yang berdiri di tengah jalan dan sedang mengontrol nafasnya yang memburu.

Lura menatapnya dengan sendu, jujur saja dia merindukan laki-laki itu. Lura mengunpati hatinya yang sangat lemah pada laki-laki pemilik tubuh tegap itu. Tatapan Lura mengabur karena retinanya yang mulai berair, Lura mengalihkan tatapannya ke arah kanan jalan dan mendapati truk yang hendak melintas.

Retina gadis itu membelalak, di tambah Zein yang hanya menatap datar truk tanpa berniat menyingkir dari jalan.

“ZEIN!” Teriak Lura sambil berlari ke arah laki-laki yang menatap Lura sambil tersenyum, seola-olah Zein memang sengaja tidak ingin menyingkir dan ingin menyelesaikan perjalanannya di dunia ini.

Lura berlari dengan tergesa dan menerjang tubuh Zein dengan kuat, memeluk tubuh laki-laki dengan erat, sedangkan truk itu sudah berhenti sekitar dua meter dari tubuh dua sejoli yang berpelukan itu.

Lura menangis dan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh tegap suaminya itu. Zein tersenyum dan membalas pelukan tubuh mungil istrinya itu.

“Apa yang kau lakukan, bodoh! Kau bisa mati,” Lura semakin menangis, dia tidak ingin melepaskan tubuh suaminya itu walau hanya sekejap.

“Ayo pulang, Ra,” bisik Zein pelan di telinga Lura setelah sekian lama terdiam, truk yang tadi juga sudah menyingkir ke jalur jalan yang lain.
Lura segera tersadar dan melepaskan tubuh laki-laki yang dia rindukan selama seminggu ini.

“Ahh, aku bodoh sekali,” ujar Lura sambil membersihkan air mata yang mengalir di pipinya, “kamu pasti sengaja, aku harus pergi.” Lura segera menjauh dan meninggalkan Zein yang masih mematung.

Zein tersenyum, gadis itu mencintainya dan masih peduli dengannya. Itu sudah cukup untuk hari ini.

***

“Saya memang ingin Lura kembali kepada saya, tapi tidak dengan cara membunuhnya!” laki-laki muda itu berucap dengan nada datarnya dan menatap wanita cantik di depannya ini dengan dingin.

“Saya tidak peduli dengan nyawa jalang kecil itu, karena dia, Zein jadi membenciku dan mengataiku wanita haus belaian,” wanita cantik itu tersenyum miris.

Laki-laki di depannya itu tertawa kecil, menanggapi ucapan wanitu itu, “ kau memang haus belaian, Sabira. Jangan lupakan, kau pernah menggodaku.”

“Persetan dengan itu! Zein itu milikku dan tidak ada yang bisa memilikinya selain, aku. Aku mencintainya, Daniel!”

“Tapi tidak dengan membunuh Lura. Apa yang kau lakukan hari ini benar-benar di atas kata toleransi, jangan lupa saya memegang bukti semua kejahatanmu, Sabira. Saya tidak akan segan melaporkanmu ke polisi,” kata Daniel dengan jengah, sungguh wanita di depannya ini terlalu banyak drama. Zein itu nyaris sempurna, tidak mungkin dia menerima perempuan bekas banyak orang.

Daniel juga kecewa, Lura, kekasihnya sudah menjadi kakak iparnya. Daniel memang pulang ke rumah setiap hari sabtu, tapi laki-laki itu sengaja bersembunyi, di saat dia mengetahui istri Zein itu adalah Allura Tiarani, kekasihnya.

Daniel juga sudah mencoba bicara pada Zein, tapi kakak tirinya itu memaksa Daniel melupakan Lura, karena sampai kapan pun Zein tidak akan melepaskan Lura. Daniel hilang akal dan menerima tawaran Sabira untuk bekerja sama menjauhkan Lura dan Zein, tapi untuk apa yang Sabira lakukan hari ini membuat Daniel marah besar.

Daniel lebih baik mengalah, daripada harus melihat Lura meregang nyawa. Dan pilihan Daniel adalah menghentikan Sabira, wanita itu sudah gila karena Zein mencampakkannya. Dan satu-satunya jalan menghentikan Sabira adalah dengan melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

***

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang