07

3 1 0
                                    

Lura dan Elzein terdiam, tidak ada yang bersuara selain suara bising mobil. Lura memilih menikmati jalanan melalui kaca mobil di sampingnya daripada melihat laki-laki di sampingnya ini yang sama sekali tidak memiliki hati. Lura pikir mereka tidak akan pergi ke pasar sesuai intruksi Kirana tadi, tapi kini keduanya dalam perjalanan menuju pasar.

Lura menarik nafas gusar saat tiba-tiba Elzein mengemudikan mobilnya seperti orang yang kesetanan. Lura melirik Elzein yang menatap datar ke depan dengan rahang yang mengeras, ‘ada apa lagi dengan laki-laki ini?’ Batin Lura, tidak berani bertanya. Matanya membesar saat tiba-tiba Elzein mengerem mendadak, seandainya dia tidak mengenakan seatbelt maka dahinya pasti sudah berciuman langsung dengan dashboard.

Lura tidak berani bertanya, dan bahkan bernafas pun rasanya dia segan, takut membuat Elzein semakin gila dan membuat mereka berdua mati sia-sia nanti. Matanya hanya melirik Elzein diam-diam yang sedang bernafas terengah-engah. Untung saja  jalanan ini sepi, jadi tidak ada yang melihat aksi gila yang dilakukan pemuda sukses ini.

Elzein mengontrol nafasnya yang terasa berat, hatinya terasa sangat sakit, diitambah ucapan Lura tadi membuatnya merasa semakin tidak berguna. Elzein bergerak memeluk Lura dari samping, dia meletakkan kepalanya di bahu Lura, tampak tubuh gadis itu menegang kaget.

“Apa aku sekejam itu? Apa aku melukai perasaan Mamah? Apa aku tidak layak disebut manusia, Al?” Tanya Elzein dengan tergesa-gesa, tangannya semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Lura.

“A … kamu baik-baik saja, kan?” Tanya Lura hati-hati, perlahan dia menggeser tubuhnya yang sebelumnya menghadap ke depan jadi menyamping menghadap ke arah Elzein.

“Apa aku tidak layak disebut manusia, Al?” punggung laki-laki itu bergetar, Lura juga merasakan baju bagian bahunya basah, laki-laki itu manangis. Lura jadi menyesal mengatainya tidak punya hati.

“Siapa yang bilang begitu? Kamu manusia dan punya perasaan, mungkin tadi kamu sedang dalam mood yang tidak baik saja,” ucap Lura menenangkan Elzein, tangannya terulur mengelus punggung Elzein dengan lembut.

Lura meringis malu, takut Elzein mendengar suara jantungnya yang sedang berpacu keras di dalam sana.

“Kamu membenciku, Al?” Tanya Elzein di sela-sela tangisnya, bahkan pelukannya yang sangat erat membuat Lura sedikit susah bernafas.

“Tidak, Zein, aku tidak membencimu.”

“Panggil aku, El,” pinta Elzein sambil melerai pelukannya dan menatap lekat pada retina milik Lura. Ada kesungguhan di sana dan ketulusan, Lura jadi bingung, jika memang dia merasa bersalah begini, kenapa dia tidak menolong ibunya?
Dan lagi-lagi pertanyaan Lura hilang ketika sampai di tenggorokannya, jantungnya yang berdegup kencang harus segera di atasi, Lura mencoba menutupi wajahnya yang memerah karena tatapan Elzein.

“El, apa kita jadi pergi ke pasar?” Tanya Lura untuk mengalihkan tatapan Elzein yang mampu membuatnya kaku dan memerah. Sedikit rasa janggal muncul di hatinya ketika memanggil ‘El’ karena nama itu mengingatkannya pada sang kekasih yang sedang berjuang untuk mimpinya. Namun sebisa mungkin Lura menghilangkan rasa itu, biar dimana pun kedua orang yang bernama El itu tidak akan pernah bertemu.

Terdiam sebentar. Elzein merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, kemudian mengelap sisa air mata di sudut retinanya. Lura hanya terdiam dan mencoba memecahkan tek-teki yang bersarang di otaknya. Lura bingung menghadapi keanehan Elzein hari ini, yang pertama laki-laki itu tiba-tiba berubah dingin, irit bicara, kejam dan menyeramkan. Namun di sisi lain, Lura merasa nyaman dengan Elzein yang seperti ini, walau kejam dan dingin, tapi tulus.

Mobil yang mereka kendarai kembali bergerak, Lura hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa, bertanya pun takut tidak dijawab, jadi lebih baik diam.

“Turun.”

Lura terkejut, kini mereka telah berada di pinggir sebuah danau yang indah. Tempat ini sepi, hanya ada mereka berdua. Ada bunga teratai di sisi lain danau yang sangat indah, saat bunganya mekar dan daun bunga itu mengambang di atas air danau. Lura tesenyum dan menatap Elzein yang ikut memandang lurus ke tengah danau.

Elzein menggenggam telapak tangan Lura dan membawanya ke sebuah sampan di tepi danau. Lura terkejut, ada getaran aneh di hatinya kala tangan Elzein menggenggam erat tangan milik Lura. Entah getaran apa itu, hatinya menghangat bahkan jantungnya berpacu hebat di saat Lura menaiki sampan itu dengan bantuan Elzein.

“Al!” panggil Elzein sambil mendayung sampan itu menjauhi tepi danau.

“Iya?” jawab Lura sambil menatap Elzein yang berada di depannya, mereka berdua duduk berhadap-hadapan.

“Kamu senang?”

“Tentu. Di desa tidak ada danau, adanya cuma sungai kecil, itu pun dijadikan irigasi ke sawah-sawah penduduk desa,” terang Lura sambil tersenyum, tangannya menyentuh air danau yang dingin.

“Jangan benci aku, yah, Al,” pinta Elzein, wajah dinginnya berubah jadi wajah serius dan ada luka yang disembunyikan di bola mata legam itu, hal ini yang Lura lihat dari tatapan teduh Elzein.

Lura menggelengkan kepala, tangannya terulur menggenggam erat tangan Elzein, bukan dia yang mau, tapi tangannya yang reflex melakukan itu. Lura segera menarik tangannya dan menatap Elzein takut. Namun yang Lura lihat, Elzein tertawa kecil. Elzein meletakkan alat dayung itu di samping tubuhnya. Tangan kiri Elzein terulur menggenggam erat tangan Lura, sedangkan tangan kanan dia gunakan untuk mengacak rambut Lura pelan.

“Lucu banget, sih,” kata Elzein sambil tertawa kecil.

Lura terkejut, mungkin saat ini bola matanya sudah bersiap untuk keluar. Melihat Elzein tertawa membuat jantungnya berdegup kencang, dan secara tidak sadar tawa Elzein menular hingga ke bibir tipis milik Lura. Elzein tampan dengan tawa itu, retinanya menyipit membentuk lengkung bulan sabit dan itu sangat menawan.

“Kamu cantik.”

Lura bersiap mengeluarkan bola matanya saat ini juga. Bukan hanya itu, jantungnya pun ikut ingin melompat saking terlalu cepat berdegup, dan jangan lupakan rona merah di pipinya. Elzein brengsek.    

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang