16

3 1 0
                                    

Lura dan Dhea segera pergi meninggalkan kantin. Setelah mereka menitipkan absen pada salah satu teman kelasnya, keduanya segera meninggalkan kampus dengan menggunakan mobil Dhea. Lura merasa beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik Dhea, mereka baru bertemu, tapi Dhea sudah memperlakukannya seperti seorang teman yang sudah lama dekat.

Mobil melaju dengan kecepatan standar, Dhea juga tidak banyak bertanya. Lura menutup matanya dan memijat dahinya pelan. Seingatnya dulu jika El yang muncul maka akan melakukan keributan, tetapi sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Sebegitu egoisnya Zein, hingga dia harus marah hanya karena Lura dekat dengan El.

Marah di sini bukan karena cemburu, tapi karena Zein tidak ingin El menguasai tubuhnya. Zein tidak ingin dengan kehadiran Lura, El jadi ingin hidup lebih lama. Apalagi setelah mengenal Lura, El tidak pernah melakukan hal bodoh lagi. Itu jelas berbahaya untuk posisi Zein.

“Rumah kamu masih jauh?” Tanya Lura memecah keheningan yang sejak tadi bersemayam di dalam mobil mewah itu.

“Lumayan,” jawab Dhea sambil tersenyum seolah menenangkan perasaan Lura.

Jalanan yang sepi dan dikelilingi pepohonan, entah mengapa situasi itu membuat Lura jadi merasa semakin takut dan tertekan.

“Ra, mobil yang dibelakang sepertinya ngikutin kita, deh,” kata Dhea sambil melirik Lura sebentar.
Lura menatap spion mobil Dhea yang berada di sampingnya, dan benar ada satu mobil berwarna hitam yang sepertinya memang mengikuti mereka.

“Dari tadi mobil itu selalu di belakang kita,” lanjut Dhea semakin meyakinkan opininya.

“Coba cepatin lajunya, Dhe. Siapa tahu memang jalurnya sama, kan?”
Dhea mengangguk dan mulai menaikkan laju mobilnya. Dan hal itu juga dilakukan oleh mobil hitam di belakang mereka.

“Mobil itu ngikutin kita, Ra. Sialan! Mana rumah aku masih jauh,” ujar Dhea mulai panik.

“Jangan panik, Dhe. Tetap segini ajah lajunya, dari sini tempat yang ramai masih jauh?”

“Lumayan. Tunggu, itu mereka ngapain?” Dhea semakin panik saat penumpang mobil hitam di belakang mereka, mengarahkan pistol ke mobil yang mereka tumpangi.

“Apa? Meraka ngap-”
Belum sempat Lura menyelesaikan ucapannya, suara tembakan di iringi ban mobil pecah langsung terdengar indera pendengarannya. Mobil yang melaju dalam keadaan kencang dan ban belakang mobil yang pecah, membuat Mobil yang dikendarai Dhea dan Lura bergerak tidak terkendali.

“Pegangan, Ra!” teriak Dhea, gadis itu berusaha mengendalikan stir mobil dengan sekuat tenaganya.
Lura memejamkan retinanya sambil berpegangan, gadis itu merapalkan doa kepada yang kuasa untuk keselamatan jiwa mereka.

Dhea berusaha mengendalikan stir mobil dan pikirannya yang blank karena semua terjadi begitu saja. Dhea merasa takut, bahkan sangat takut, tapi saat ayahnya mengajari Dhea menyetir, ayahnya berpesan, ‘saat kamu dalam situasi yang sulit dan terlebih kamu bawa penumpang, jangan panik. Tetaplah berusaha tenang, karena saat kamu panik, bisa-bisa penumpang yang kamu bawa bisa jantungan saking takutnya.’

Dan untuk itu, Dhea memilih membanting stir ke salah satu pohon di samping jalan. Mobil menabrak pohon, untung mereka berdua mengenakan seatbelt, dan juga Dhea yang tadi berusaha memelankan laju mobil, membuat benturannya tidak terlalu keras.

“Lura, kamu  baik-baik, ajah, kan?” Tanya Dhea saat mobil sudah benar-benar berhenti.
Retina Lura yang sejak tadi tertutup, langsung terbuka saat mendengar suara Dhea.

“Aku baik, kamu? Ada yang sakit?” Tanya Lura khawatir. Jantungnya masih berdegup kencang, namun sebisa mungkin dia bersikap normal. Lura masih tahu diri, untuk tidak merepotkan Dhea lebih banyak lagi.

“Aku gak papa.”

Keduanya diam, saling mengontrol detak jantung masing-masing, hingga suara ponsel Lura memecah fokus mereka. Nomor yang tidak dikenal, dengan tangan bergetar menggeser tombol hijau.

“Ha … halo.”

“Jauhi Zein, hari ini nyawamu dan orangtuamu yang jadi taruhannya.”
Sambungan terputus. Lura beralih membuka foto yang dikirim oleh orang itu. Foto itu berisi ketidakseimbangan pengeluaran dengan bangunan yang dibangun, ini laporan keuangan desa mereka. Lura terkejut, Lura yakin Ayahnya tidak akan korupsi.

Lura segera menghubungi nomor orangtuanya. Ini pertama kalinya, Lura menghubungi orangtuanya sejak dirinya ikut Elzein ke kota, Zein memang pernah menghubungi keluarganya, saat Lura akan mendaftar di kampusnya saat ini. Pada nada ketiga, sambungan terhubung.

“Halo, siapa ini?”

Lura bergetar mendengar suara ibunya. Rindu, dia sangat rindu.

“Lura, bu.”

“Pak, Lura telpon, pak! Ibu kangen kamu, Ra. Ibu kira kamu akan lupain kami, Ra. Maaf, Nak, ibu dan ayah tidak bisa berbuat banyak untuk menolongmu, dulu. Kamu apa kabar, Sayang?”

Lela menangis, hatinya sangat sakit mengingat hal yang menimpa putrinya dua bulan yang lalu.

“Lura baik, Bu. Ayah sama ibu apa kabar?” Lura menangis, hari ini sangat berat untuknya. Mulai dari Zein, nyawanya yang hampir hilang dan hal yang menimpa ayahnya.

“Kami baik, Nak. Kamu kenapa menangis?”

“Lura kangen ibu dan ayah. Maaf Lura membuat ibu khawatir dua bulan ini.”

“Ibu juga minta maaf.”

Lura menghela nafasnya, “Ayah mana, Bu?”

“Halo, Ra. Ini ayah, Nak.” Suara tenang milik ayahnya membuat tangis Lura semakin pecah, seandainya sekarang dia ada di desa, pasti Lura sudah berhambur ke pelukan Ayahnya.

“Ayah, apa kabar?”

“Jika Ayah bilang ayah baik-baik saja, maka itu bohong. Ayah sangat merindukan putri kecil Ayah,” ujar Rejio, air matanya jatuh begitu saja.

“Lura kangen, Ayah, tapi ayah jangan khawatir putrimu ini baik-baik saya, Yah. Lura mau nanya sesuatu sama, Ayah?” Lura berusaha melarikan topik pembicaraan, dia takut semakin lama berbicara dengan kedua orangtuanya, membuat Lura membuka mulut terhadap semua yang dia alami. Dan hal itu akan membuat orangtuanya khawatir.

“Tanya apa, Ra?”

“Laporan keuangan tahun ini, ada kejanggalan di sana, Yah.”

“Kamu tahu darimana, Nak? Itu bendahara desa memakai uangnya untuk membayar biaya operasi anaknya. Saat itu pak Riko tidak punya pilihan, hingga dia langsung pakai uang desa. Ayah tidak tahu mau marah atau tidak, seandainya Ayah ada di posisi pak Riko, Ayah juga akan melakukan hal yang sama.”

Lura mengangguk mengerti, bukan ayahnya. Itu sudah cukup untuk membuat hatinya tenang.

“Udah dulu, Yah. Lura ada urusan, nanti Lura telepon lagi,” izin Lura, setelah mendapat persetujuan dari orangtuanya, Lura mematikan sambungan ponselnya.

Lura mengelihkan fokusnya pada Dhea yang sejak tadi terdiam di sampingnya.

“Aku udah hubungin orang rumah untuk bawa montir sekaligus jemput kita ke sini,” ucap Dhea.

Lura mengangguk, “aku bakal ceritain semuanya tentang aku, sebelumnya aku minta maaf udah bohongin kamu.”

Lura menceritakan semuanya pada Dhea, tanpa tertinggal sedikit pun. Lura cukup tenang saat melihat respon Dhea, gadis itu tidak marah. Dhea hanya mengangguk dan memeluk Lura erat.

***

THE CHOICE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang