Aya merasa ada yang berbeda dari ketiga sahabatnya. Ketiganya lebih banyak diam dan asyik dengan ponsel masing-masing.
Acara makan siang di mall pun terasa hampa, Aya seperti sedang makan sendirian jadinya.
"Ges, ke toilet dulu ya aku."
Ketiganya pun beralih melihat Aya, kompak mengangguk.
"Aya."
Aya langsung berbalik, melihat siapa yang memanggil. Langkahnya sempat berhenti sesaat sebelum akhirnya ia berlari kencang, menuju toilet yang ia tahu ada di lantai dua sementara dia sekarang berada di lantai tiga.
Saat Aya sedang mencuci tangan, wajah Pasha terlintas, kepalanya menggeleng, mencoba mengusir bayangan si pengkhianat itu, lalu tak lupa ia memanjatkan doa, semoga tidak bertemu Pasha lagi.
Doanya tidak menjadi kenyataan. Begitu keluar toilet, malah melihat Pasha bersandar di tembok, membawa dua minuman merk terkenal.
"Ngapain kesini?" Tanya Aya ketus.
"Nunggu Mama—"
Aya langsung berbalik ke belakang begitu Pasha menjawab. Jujur, ia sangat malu sekali. Ia pikir Pasha menunggunya dan memohon-mohon seperti enam hari lalu.
"Di dalem ada Mamanya, Om?" Tanya Aya penasaran, seingatnya, tidak ada orang lain di toilet selain dia.
"Bukan."
"Tadi bilangnya Mama."
"Lagi nunggu Mama dari calon anak-anakku."
"Tuh 'kan, paling bener udah aku ngelepasin cowok modelan kamu."
Pertama-tama, Pasha menurunkan telunjuk tangan Aya yang menunjuk-nunjuk tepat ke wajahnya. Kedua, ia meminta Aya menarik napas, berharap omelan Aya akan mereda. Akan tetapi gadis itu malah balik bertanya untuk apa?
"Supaya kamu nggak marah-marah lagi, nggak malu diliatin orang? Tenang ya." Kata Pasha meyakinkan dengan memegangi kedua bahu Aya. "Mama dari calon anak-anakku maksudnya itu kamu, aku mau bilang kalo yang kamu liat kemarin itu—"
"Buat apa sih ngomong gitu? Geli tahu."
Aya lalu pergi setelah menurunkan kedua tangan Pasha yang masih memegangi bahunya. Ia kembali lagi ke Pasha setelah tiga langkah berjalan, dengan teganya ia menginjak kaki Pasha dengan sepatunya.
Suara ringisan Pasha pun terdengar di telinga Aya.
Sampai di tempat makan, Aya tidak menemukan teman-temannya, bahkan meja yang ia isi tadi sudah di tempati orang lain.
"Aya."
Aya berdecak, lalu berbalik ke belakang, mendapati Pasha masih mengikutinya bersama perempuan yang pernah ia temui.
"Apa?"
"Dia, cewek yang kamu lihat. Tolong jelasin." Pinta Pasha diakhir pada perempuan di sampingnya.
"Emang dia siapa, Sha?"
Satu alis Aya terangkat tinggi, kenapa perempuan itu memanggil Pasha dengan nama? Bukankah Pasha menjelaskan jika perempuan waktu itu adalah keponakannya? Oh Aya tahu, Pasha membohonginya lagi.
"Calon istriku."
Bukan hanya perempuan itu yang terkejut, Aya pun sama. Bisa-bisanya Pasha menyebut Aya calon istri sedangkan di antara mereka tidak ada pembicaraan kesana.
"Serius? Kamu calon istri Pasha? Pasha ini Om aku. Aku keponakan dia, Pasha sodara Bapakku. Besok malam ada acara nggak? Yuk ke rumah, aku kenalin sama keluarga kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
The game
Teen FictionGara-gara permainan Jihan saat jamkos di sekolah, membuat Aya harus menjerat hati seorang lelaki di bawah Omnya satu tahun