"Kita nggak perlu itu," bisik Pasha yang berada di sisi kiri Aya.
"Iya," lalu Aya melangkahkan kakinya mencari barang yang ingin dibeli.
Langkah Aya berhenti di depan kotak makan warna pink, warna kesukaanya saat masih kecil. Senyumnya pun terbit, lalu tangannya terangkat, hendak mengambil kotak tersebut.
"Aya, kita nggak butuh itu," sekali lagi Pasha berbisik, seperti setan sedang merayu agar berbuat kemaksiatan.
"Tapi ini lucu."
"Diliat aja, nggak usah beli."
"Enggak."
Pasha mengangguk. Kurang lebih dua menit la menunggu Aya mengamati kotak tersebut sampai akhirnya tungkai Aya membawa ke tempat lain.
"Om, bajunya bagus deh," beritahu Aya sambil menunjuk pakaian bayi berwarna coklat susu dengan pita di tengah-tengah.
Pasha menghela napas. Lantas menggamit tangan Aya menuju barang yang ingin mereka beli. Ia rasa Aya akan membuang waktu jika tidak dituntun.
"Om, beli baju yang tadi boleh?"
"Buat apa? Kita nggak ada bayi."
"Ya buat siapa kek, buat Mumi kek nanti."
"Emang kamu mau punya adek lagi?"
"Nggak mau sih, tapi lucu."
"Nanti kita beli kalo ada bayinya. Sekarang lagi nggak ada."
"Tapi nanti kalo udah ada bayinya kita perlu."
"Iya, tapi nggak sekarang, tunggu kamu lulus kuliah. Nggak usah asem gitu mukanya."
Tanpa suara, Aya menghempaskan tangan Pasha. Ia berjalan lebih dulu setelah menemukan pramuniaga.
Melihat perlakuan Aya barusan, membuat Pasha lagi-lagi menghela napas, menyusul Aya dan pramuniaga yang sudah menjauh dari pandangannya.
"Sekarang bedrail nya tinggal warna ini, Mbak."
"Kalo biru nggak mecing sama kamar saya," ucap Aya sambil memajukan bibir. Pasha tahu, Aya sedang kesal, apa yang diinginkan tidak terpenuhi.
"Kalo boleh tahu Mbak maunya warna apa?"
"Abu-abu."
"Kalo di gudang ada, tapi nunggu dua hari lagi baru nyampe sini, nggak papa?"
Aya tampak berpikir. Pandangannya mengarah pada Pasha yang berdiri agak jauh dari tempatnya tapi masih bisa mendengar percakapannya.
Pasha mendekat sambil bersuara. "Kita ambil yang udah ready aja. Mbak, saya ambil warna biru, jangan yang pajangan ada?"
"Ada Mas. Kalau begitu saya ambilkan dulu."
Sementara Pramuniaga mengambil barang yang diinginkan, Aya menatap Pasha dengan bibir manyun.
"Nggak mecing sama kamar kita," rengek Aya.
"Jangan protes-protes, nggak semua apa yang kamu mau harus aku turutin. Belajar nerima."
KAMU SEDANG MEMBACA
The game
Teen FictionGara-gara permainan Jihan saat jamkos di sekolah, membuat Aya harus menjerat hati seorang lelaki di bawah Omnya satu tahun