22

96 18 92
                                    

Modal nekat, Pasha datang ke rumah Aya, membawa pecel dan juga minuman kekinian yang digemari Aya.

Pasha menghela napas sebelum mengetuk pintu. Badannya menegang dan keringat memenuhi punggungnya begitu pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dewasa yang ia yakini adalah Abahnya Aya.

"Cari siapa?"

"Aya, Om."

"Aya? Anakku dong."

Pasha mengangguk. "Ayanya udah pulang, Om?"

Moez menatap Pasha dari atas sampai bawah. Pasha yang ditatap begitu hanya bisa pamer deretan giginya seperti biasa.

Begitu selesai menatap Pasha, Moez memandang lurus ke depan, lebih tepatnya ke rumah tetangganya di depan. Dalam diam, Moez mencoba mengingat wajah teman-teman anaknya yang pernah datang ke rumah. Akan tetapi tak pernah ada modelan begini.

"Kamu kenal Aya di mana? Perasaan Aya nggak pernah bawa kamu ke rumah."

"Emang belum, Om. Saya, maksud saya kesini, mau ngelamar Aya."

Moez terkejut bukan main. Ia lalu meminta Pasha masuk ke rumah, membahas tentang maksud Pasha lebih jauh.

Baru Pasha duduk, ia sudah ditanyai banyak pertanyaan oleh Moez, seperti kenal Aya dimana? Statusnya dengan Aya apa? Dan umur Pasha berapa?

Pasha terkekeh. Dalam hati ia bingung harus mulai darimana, karena dulu ia hanya menggantikan Winson bertemu Aya.

Jika ia ceritakan menolong Winson, mungkin laki-laki yang dipanggil Aya Abah itu akan menolaknya mentah-mentah, dan berpikir ia mempermainkan Aya.

"Di mana? Kan nggak mungkin dong, kenalnya lewat hp," ulang Moez, membuat Pasha sadar dari lamunannya.

"Emang dari hp, Om." Lalu Pasha menjelaskan awal ia bertemu Aya sampai ia mantap ingin melamar Aya.

Moez tidak memberikan respons apa pun. Jujur saja, ia terkejut mendengar cerita Pasha. Bisa-bisanya sang anak menerobos larangannya dan memilih laki-laki yang lebih dewasa dari usia anaknya.

"Selera anak gue... Ya Allah kok yang gini," gumam Moez dalam hati.

"Om mesti tanya Aya dulu, bisa dikasih waktu buat mikir 'kan Nak Pasha?"

"Silakan Om," lalu Pasha melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya pamit Om, udah mau magrib."

"Nggak nunggu sampai Aya dateng?"

Pasha terkekeh. "Nggak dulu Om, mau ngejer berjama'ah."

Moez hanya bisa mengangguk. Lalu mengantarkan Pasha sampai depan pagar rumahnya.

Senyum Moez terukir saat Pasha membuka kaca dan membunyikan klakson sebagai tanda pamitnya. Akan tetapi setelah Pasha keluar dari cluster perumahan, senyumnya lenyap digantikan oleh wajah murka.

"Sya, tolong telepon Aya, suruh dia balik sekarang," perintah Moez tanpa ada penolakan.

Ersya menurut karena ia sudah tak sabar ingin mendengar siapa laki-laki yang baru saja datang itu dari mulut sang anak.

🌷

Faiz dan Deja sudah pergi setelah mendapat kue Jihan dan mendoakan agar Jihan selalu dalam lindungan Tuhan.

Aya tertawa, menatap kepergian mobil Faiz yang baru keluar dari parkiran. "Gue pikir dia suka sama gue setelah kejadian-kejadian yang kemarin. Bodohnya, gue sempet salting, seneng, pas tadi gue lagi angkat telepon sugar Daddy, terus dia cariin gue. Jadi apa selama ini? Dia manfaatin gue biar pacarnya enggak—" curhatan Aya terputus saat teleponnya berdering.

The game Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang