Ranu Kumbolo

86 54 99
                                    

Jam pulang sekolah telah tiba, Gafa segera mencangklong tas ranselnya di bahu kanan, lalu keluar kelas dengan cepat. Begitulah Gafa, dia selalu terlihat terburu-buru untuk segera pulang. Sejenak dia berhenti, di depan sana terlihat gerombolan siswa yang sering membully-nya, Gafa kemudian berbelok arah. Tidak apa-apa sedikit berputar, meski agak jauh daripada harus kembali dibuat tak berdaya, bahkan lebam dan rasa sakit yang kemarin saja belum sepenuhnya hilang. Lagi pula dia harus cepat pulang.

Gafa duduk di kursi halte menunggu angkutan umum, sesekali melirik jam tangannya. Siswa berbadan sedikit kurus itu berangkat dan pulang sekolah menggunakan angkutan umum. Sebenarnya banyak temannya yang menawarkan tumpangan hanya saja Gafa tidak suka merepotkan orang lain, terkecuali mendesak.

**
"Hai, Danira, pulang bareng gue yuk!" sapa Dalvin memamerkan senyum.

"Hai," sahut Danira singkat. Dalvin sangat senang mendapat respon dari Danira walau sesingkat itu. Dalam hati Dalvin bersyukur, untung dirinya tidak ada saat Danira memergoki teman-temannya memukul Gafa. Dia memang sedang pencitraan di depan gadis pujaannya itu hanya untuk menarik perhatian Danira.

"Makasih, tapi aku akan dijemput." Tolak Danira halus.

"Bareng gue aja, sopirmu masih lama, nanti capek lo nunggunya."

"Nggak apa-apa, lagian kita nggak searah," jawab Danira sambil tersenyum memamerkan giginya.

"Em gue anter, ayok!" Dalvin salah tingkah, mangingat rumah mereka memang berlawanan arah.

"Nggak usah, thanks. Tuh dah dateng. Duluan, ya," pamit Danira.

Sudah hampir dua jam Danira bergelut dengan tugas sekolah di meja belajarnya. Biasanya Danira dengan mudah menyelesaikan PR, tetapi kali ini fokusnya teralihkan oleh bayangan-bayangan yang dari tadi melintas di benaknya. Danira mengingat kejadian di perpustakaan tadi. Namun, ketukan dari luar kamar membuyarkan lamunannya. Gadis berkulit kuning langsat itu segera keluar menuju meja makan, setelah mamanya mengajaknya makan malam. Danira melirik kursi yang kosong. "Papa lembur lagi, ya, Ma?" Mamanya hanya mengangguk dan menyuruh Danira segera makan.

"Akhir-akhir ini Papa sibuk banget keknya, jarang makan malam bersama kita lagi," protes Danira di sela-sela suapannya.

"Ya, mau gimana lagi Sayang. Tututan pekerjaan." Danira hanya mengangguk dan melanjutkan makan, sejujurnya Danira merindukan suasana yang dulu. Makan malam bersama sudah menjadi hal wajib di keluarga ini. Namun, beberapa bulan belakangan sudah jarang terjadi. Papa gadis itu selalu sibuk.

**
Cling. Pesan masuk di aplikasi hijau milik Danira. Jemari lentik itu menyentuh layar ponselnya dan membaca nama Ranu Kumbolo. Segara dibukanya pesan tersebut.

[Berangkat bareng aku, ya? Aku mau ngomong, penting.]

[Kagak! Aku dianter. Ketemu di kantin aja, ya. Traktir!] balas Danira yang sambil berjalan keluar dari rumahnya.

[Aman.]

Danira kenal dengan Ranu sejak mereka masa orientasi siswa baru saat sama-sama berada di UKS.

"Perih ya?" tanya seseorang yang membuat Danira menoleh pada sumber suara lalu tersenyum tipis.

"Kamu kenapa ada di sini, sakit?" Gadis berkuncir itu balik bertanya.

"Kalau aku baik-baik aja, nggak mungkin ada di sini."

"Ah iya juga sih. Keknya aku salah kalimat deh."

"Aku pusing tadi, panas banget mataharinya, mana nggak sempat sarapan gegara buru-buru," jelas siswa itu menatap langit lewat pintu UKS.

"Lemah!" Tawa keduanya pecah dan sejak hari itu mereka akrab. Sejak hari itulah persahabatan mereka berawal hingga sekarang.

Bel berbunyi bertanda istirahat telah tiba. Danira pergi ke kantin untuk bertemu Ranu seperti janji mereka tadi pagi. Seperti biasa gadis itu selalu ramai sapaan di mana pun dia berjalan selama masih salam lingkup sekolah.

"Lelet banget sih," protes Ranu langsung menyodorkan makanan dan minum ke depan Danira yang sudah lebih dulu pria itu pesan. Dia tahu Danira bukan orang pemilih jika soal makan.

"Hilih, beberapa menit doang."

"Pasti ke sininya nyengirin semua siswa yang nyapa."

"Tidak ada yang salah kan dengan itu?" Danira membuka tutup minumannya setelah duduk di hadapan Ranu.

"Kita harus saling menghargai, Ranu, tanpa harus melihat siapa dan dari mana mereka berasal. Aku sadar aku tidak bisa berbuat banyak atau bermanfaat untuk orang-orang disekitarku, jadi setidaknya aku belajar menghargai mereka. Lagi pula aku senang melakukannya," jelas Danira setelah menyeruput minumannya.

"Hei, kau kan Siswa Pencinta Alam, kau yang lebih paham," lanjutnya kemudian.

"Hiih! Makanlah, Danira, sepertinya cacing di perutmu sudah mengamuk, makanya cerewetmu meningkat satu level." Ranu mulai kesal karena Danira meledeknya dengan membawa label organisasinya itu. Danira yang menyadarinya hanya cekikan. Danira tahu, temannya itu tidak suka membesar-besarkan namanya dengan membawa embel-embel apa pun.

"Mau ngomongin apa sih, Ranu? Kenapa nggak di kantin aja." Gadis yang bersandar di pohon beringin itu bertanya, merasa aneh dengan Ranu. Biasanya juga ngomong di kantin, batinnya.

"Aku dan Elma udah jadian." Mata Ranu berbinar saking bahagianya.

"Haa, bener?" tanya Danira memastikan dengan mata yang membelalak, garis bibirnya melengkung. Ranu tersenyum lebar sebagai jawaban dan gadis itu paham.

"Huaaa!" teriak Danira seketika mengalungkan kedua tangannya di leher Ranu, memeluk temannya itu. Danira ikut bahagia mendengarnya.

"Iiih, lepas!" Ranu langsung menarik kedua tangan Danira yang melingkar di lehernya.

"Nggak usah lebai deh, pake meluk-meluk segala. Aku memang tampan, tapi biasa aja napa."

"Hei, pede sekali dirimu, Ranu Kumbolo. Mentang-mentang sudah tidak jomlo lagi."

"Mau beli sesuatu nggak? Nanti pulangnya bareng aja," tawar Ranu riang.

"Wah wah keknya aku bakal dapat traktiran satu minggu ke depan nih. Kalau tau gini, kenapa nggak dari dulu aja kamu jadian."

"Hei, kau sedang memerasku, Nona?"

"Bisa dibilang gitu, uang jajanku akan aman kalau begini, tapi lain kali aja, ya. Aku ada urusan." Ranu mengangguk sambil mengacungkan jempol.

Ranu menceritakan bagaimana dia begitu gugup mengutarakan isi hatinya, tempatnya di mana, seberapa romantisnya Ranu saat itu dan seperti apa ekspresi Elma. Danira ikut bahagia, pasalnya sudah lima bulan lebih temannya itu mendekati pujaan hatinya dan akhirnya berhasil. Ranu membagi kebahagiaannya dengan Danira karena gadis itulah yang selalu menyemangatinya saat dia mengeluh ingin menyerah.

Setelah berbagi cerita banyak hal, Danira dan Ranu menuju kelas masing-masing. Danira melirik arloji di tangan kirinya, lima belas menit lagi jam istirahat akan usai padahal gadis itu berencana akan mengembalikan buku yang dipinjamnya kemarin. Akhirnya dia menundanya.

Dengan langkah sedikit buru-buru, Danira yang melamun hampir saja menabrak Dalvin yang tiba-tiba saja muncul. Dalvin memberi kode untuk bicara padanya, tetapi Danira langsung menolaknya dengan menunjuk arlojinya memberitahu bahwa sebentar lagi jam istirahat berakhir.
"Maaf, ya," ujar Danira singkat agar Dalvin tidak merasa tersinggung, kemudian berlalu meninggalkan pria populer satu sekolahan menurut siswi-siswi di sekolah itu. Namun, Danira tidak pernah peduli dengan kepopuleran pria itu.

___

DIA GAFA (Kamu Luka yang Diam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang