Perundungan

44 34 5
                                    

Sudah dua hari ini Gafa berangkat lebih pagi dari hari di mana dia pernah dihukum. Gafa yang tidak terbiasa terlambat merasa jera. Pagi yang masih menyisakan dingin, beberapa bulir embun masih bertengger di daun bunga-bunga depan kelas. Gafa berjalan menuju kelasnya. Saat dia menoleh melihat halaman yang dikelilingi ruang kelas matanya menyaksikan dua orang sedang berjalan bersisian. Si cowok berjalan dengan terus menatap sosok di sampingnya dan si cewek terus berjalan menatap ke depan.

"Tenang, mereka nggak ada hubungan apa-apa," sergah seseorang mengejutkan Gafa, ternyata teman satu kelasnya yang entah datang dari mana.

"Maksudnya?"

"Danira kan. Kamu liatin dia sama cowok arogan itu?" tebak siswa yang cukup akrab dengan Gafa itu.

"Nggak. Nggak sengaja liat."

"Hilih, cowok cuek macam kamu mah paling bisa ngelesnya," ledek siswa usil tersebut yang tidak mendapat respon dari Gafa.

Gafa berjalan cepat tidak memedulikan teman yang tempat duduknya berada tepat di belakang bangkunya itu.
___

Beberapa siswa tak dikenal masuk ke kelas Gafa saat jam istirahat, dan langsung menggebrak meja Gafa. Murid perempuan pun menjerit ketakutan. Salah satu dari mereka langsung memegang kerah seragam Gafa lalu menariknya keluar. Tak ada yang berani membantu Gafa, semua siswa takut ikut campur, sebab mungkin mereka akan bernasib sama dengan Gafa.

Sekelompok siswa asing itu menyeret paksa Gafa menuju gudang sekolah. Sesampainya di sana, Gafa di dorong kuat hingga jatuh tersungkur. Baru saja siswa yang sudah berantakan seragamnya itu akan bangun, sebuah tendangan telah lebih dulu menghantam bokongnya dan seketika membuat Gafa kembali tersungkur. Lalu, tanpa jeda satu orang lagi menariknya berdiri dengan paksa. "Kalo kemarin lu bisa lolos, sekarang jangan harap!" sentaknya dengan senyum menyeringai lalu meninju pipi bagian kiri Gafa kemudian dibalas dengan pipi kanannya oleh seorang lagi.

Seseorang lagi berdiri di depan Gafa dengan tinju yang sudah siap menerkamnya ketika siswa lain sudah menyingkir menjauh, dia Dalvin.

Dalvin menghantam perut Gafa kuat, tetapi Gafa sempat menghindar, membuat Dalvin kesal lalu memperkuat serangannya dan lagi lagi berhasil ditangkis oleh Gafa. Dalvin benar-benar emosi, dia menyuruh teman-temannya menangkap Gafa dan memengang kedua tangan siswa yang sudah kusut tersebut.

Tanpa aba-aba Dalvin langsung meninjunya berkali-kali untuk meluapkan emosinya. Setelah Dalvin merasa puas barulah dia berhenti. Salah satu di antara mereka maju menendang kedua betis Gafa secara bergantian dan terakhir menendang paha Gafa dengan keras membuat siswa itu terjatuh ke lantai tak berdaya. Gafa hanya bisa pasrah, sekuat apa pun dia mencoba melawan akhirnya tumbang juga. Setelah puas dan melihat Gafa sudah tidak berdaya, Dalvin cs pergi dengan tawa kepuasan.

Gafa berusaha keluar dari gudang, berjalan gontai menahan nyeri di wajah dan bagian tubuh lainnya, sesekali berpegangan pada tembok. Danira yang baru saja dari perpustakaan melihat Gafa berjalan sempoyongan tanpa tenaga. Gadis itu segera berlari ke arah Gafa yang hanya berjarak sepuluh meter darinya.

"Hei, kenapa?" tanya Danira menyentuh bahu kanan Gafa. Gafa yang merunduk memejamkan mata menahan rasa nyeri langsung menoleh sambil menggeleng.
Danira melongo dengan mata membulat mendapati wajah Gafa penuh dengan lebam dan bibirnya terdapat bekas darah. Tanpa banyak kata Danira langsung merangkul kedua bahu Gafa dan akan membawanya ke UKS.

"Lepas!" ucap Gafa menggerakkan bahunya menolak. Namun, tidak dipedulikan oleh Danira. Gadis itu terus berjalan dengan masih merangkul Gafa erat. Gafa yang sudah hampir kehabisan tenaga akhirnya menurut saja. Danira membaringkan Gafa di tempat tidur UKS.

"Diem!" sentak Danira ketika siswa itu akan bangkit, "atau mau kuikat badanmu itu di brankar biar nggak bisa pulang sekalian."

"Kenapa mulutmu cerewet sekali," keluh Gafa sambil meringis menyentuh bibirnya.

"Apa?" tanya Danira berbalik yang tadinya berjalan menuju lemari dalam ruangan itu.

"Nggak."
Danira segera mengambil kotak P3K dan mengambil baskom kecil yang diisi air.
"Aku keluar bentar, jangan ke mana-mana." Danira berlalu ke kantin mengambil es yang sudah dipecah menjadi kecil dari pemilik kantin.

Setelah berada kembali di UKS gadis itu membersihkan lebam pada wajah Gafa dengan kain kecil yang telah dibasahi air yang telah diambilnya tadi. Kemudian es batu tersebut diselipkan dalam kain kecil, lalu ia mengompreskannya pada pipi dan bibir Gafa yang lebam. Setelah mengompres Danira memberikan obat merah pada bibir Gafa yang tadi berdarah.

'Ya Tuhan, ini nyerih sekali,' batin Gafa menjerit.

"Biar kuantar pulang," ujar Danira mengembalikan semua benda yang diambilnya tadi ke dalam lemari.

"Nggak usah."

"Jangan ngeyel."

"Aku harus kerja."

"Kerja? Dengan badan kamu yang begini kamu masih mikirin kerja?" celoteh Danira.
"Kamu datang ke resto juga nggak bisa ngapa-ngapain. Kamu hanya akan merepotkan yang lain," dalih gadis itu dengan sedikit kesal. Gafa yang masih terbaring lemah membenarkan perkataan Danira dalam hati.

"Kamu istirahat dulu, biar cepat pulih dan bisa kerja lagi, kerjanya juga fokus." Gafa akhirnya mengangguk tanda setuju.

"Ayo kuanter pulang."

"Nggak usah aku bisa sendiri," tolak Gafa.

"Nggak. Pokoknya aku anter," tegas gadis itu dan menatap lawan bicaranya.

"Jangan bolos, Danira," sahut Gafa dengan tatapan entah. Danira mengembus napas pelan.

"Nanti aku bisa balik ke sekolah. Ayolah jang banyak protes kek cewek."

'ngeselin bat nih cewek,' batin Gafa.

"Eh tapi aku izinin kamu dulu, ya. Kelas berapa?"

"XII E."

"Yang pojok dekat lantai tiga itu kan?"
Gafa mengangguk.

Danira segera keluar menuju kelas Gafa. Gafa menatap punggung Danira hingga menghilang dari pintu. Entah kenapa Gafa menurut saja dengan perlakuan gadis itu.

Danira masuk ke kelas Gafa begitu saja karena masih jam istirahat. Siswi itu memindai meja satu-satu mencari letak tas Gafa. Danira sudah hapal dengan tas pria itu setelah beberapa kali bertemu.

"Hai, Danira," sapa salah satu siswa yang tadi pagi meledek Gafa. Danira yang disapa merasa heran karena siswa itu tahu namanya. Dia lupa kalau dirinya siswi terpopuler di sekolah.

"Hai, em ini kelas Gafa kan? Betewe tasnya mana, ya?" Danira mencoba berbasa-basi.

Siswa yang ditanya sudah bisa menebak apa yang terjadi, mengingat bagaimana kasarnya Dalvin dan teman-temannya menyeret Gafa. Siswa itu menunjuk meja Gafa dan Danira langsung membereskan buku-buku Gafa masuk dalam tas seraya berkata, "Izinin Gafa, ya, entar."

"Oke, biar aku yang kasih tau guru entar," ujar siswa itu yang dari tadi berdiri di samping Danira. "Oh, iya ak---." Belum selesai siswa itu bicara, Danira langsung pamit setelah selesai dengan barang-barang Gafa.

"Makasih, ya, permisi." Gadis itu mencangklong ransel Gafa di punggungnya sambil berjalan, dia sudah tidak memperhatikan tangan siswa tadi yang terulur untuk memperkenalkan diri.

Saat menuju kembali ke UKS Danira memesan taksi online dan tak lupa mengirim pesan kepada ketua kelasnya, jika dia akan terlambat masuk setelah jam istirahat.

"Tasmu yang ini kan?" tanya Danira memastikan sambil berputar seperti orang menari memperlihatkan tas Gafa yang sedang dipakainya dan hanya dibalas anggukan oleh Gafa.

"Lucu kan kalau aku yang make." Gafa hanya diam menatap Danira malas.

"Pulang sekarang?" tanya Danira lagi melihat keadaan Gafa yang begitu kesakitan. Tanpa menjawab pria itu langsung bangun lalu turun dari brankar.

"Aku bisa sendiri." Saat Danira akan membantunya lagi-lagi pria itu menolak. Danira membiarkan Gafa berjalan sendiri dan mengikutinya. Namun, baru beberapa langkah Gafa terhuyung, langsung saja Danira menangkap lengannya yang memang sengaja mengawasi pria itu dari belakang.
"Jangan sok kuat makanya," oceh Danira seraya membantu Gafa berjalan.

____

DIA GAFA (Kamu Luka yang Diam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang