Sudah pukul tujuh malam. Gedung itu pun sudah ramai pengunjung. Mereka yang datang adalah para tamu undangan. Mulai dari pengusaha, pegiat seni, kolektor lukisan, dosen seni rupa, hingga orang-orang dari kalangan atas yang memang sudah tidak asing dengan benda-benda dengan nilai seni tinggi.
Tamu-tamu yang hadir tampak anggun dan gagah dengan gaun serta setelan jas yang rapi. Mereka disambut oleh petugas dan penerima tamu yang dandanannya juga tak kalah rapi. Para tamu yang hadir diberikan brosur yang berisi karya-karya yang dipajang di sana serta karya apa saja yang bisa di beli.
Milo Floyd datang menggandeng perempuan cantik yang tak lain adalah Nadin. Keduanya dipuji serasi ketika sama-sama memberikan ucapan selamat pada si pemilik acara. Tak lama setelah Milo dan Nadin tiba, rombongan Ansell pun memasuki gedung acara. Ansell yang datang menggandeng Gia yang tampak anggun dengan gaun berwarna hitam selutut. Di belakangnya ada Neo dan Jeff yang juga tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna biru gelap. Mereka menolak sesi foto dari pemilik acara. Usai memberi ucapan, mereka berempat menyingkir. Berdiri di pojok ruangan sambil mengamati sekitar.
"Gimana perasaan Lala lihat mantan sama saudara tirinya malah dijodohin? Baper gak ya," Neo meneguk anggur yang ada di tangannya sambil mengamati Nadin dan Milo yang menikmati sebuah karya lukis.
"Udah gak ngefek apa-apa," sahut Gia usai menelan anggur yang ia teguk. "Isi kepala Lala sekarang cuma rencana buat bikin keluarga papanya kesel dan hancur perlahan."
"Dengan bantuan Savero? Lo yakin bisa?" Ansell menatap dengan ragu. "Kita sampai sekarang berusaha keras buat diakui sebagai orang-orang yang punya kemampuan. Nggak asal dari keluarga old money terus hidup enak. Dulu kita cuma sekumpulan orang buangan yang dianggap saingan sama saudara sendiri buat rebutin warisan."
"Tapi kita gak kayak gitu, Sell. Gak pernah kayak yang mereka pikir. Kalau gak karena otak encer lo, mana mungkin kita bisa bikin jaringan investasi sebesar sekarang?" Neo mengingatkan.
"Kalau bukan karena Gia pinter lihat peluang juga kita gak tau apakah pilihan kita benar," imbuh Jeff.
"Dan karena Neo lulus sekolah hukum, kita jadi paham soal pajak, soal bagaimana melindungi harta kita secara legal?" Gia tersenyum. "Juga karena lo adalah gudang informasi, kita semua bisa menjalankan rencana dengan lancar, Jeff. Kalau gak ada Jeffery James yang jago nutupin semua rencana kita, kita bisa apa?"
"Dan jangan lupakan bank berjalan kita, Lala." Ansell menambahkan. "Kalau gak karena duit dia, semua ini gak akan sampai sejauh ini."
"Kalian bener. Masing-masing punya peran. Itu kenapa kita gak tergoyahkan," Jeff mengangkat gelasnya memberi hormat pada ketiga sahabatnya.
"Soal Savero, pasti Lala udah mikir panjang. Kita hanya perlu percaya dan tetap waspada." Neo memberi peringatan.
"Gue setuju. Gue gak tau si Savero akan se-cerdik dan se-licik apalagi." Jeff menambahkan. "Ngamuk di kantornya kayaknya gak cukup lampiasin gimana keselnya gue sama dia."
"Hampir gue tembak kepalanya kalo gak inget dia sembunyiin Lala," tambah Neo tak kalah kesal. "Untung Ana sama Mas Evan kasih kabar kalo Lala baik-baik aja. Kalo enggak, habis nasibnya Savero."
"Tapi ngomong-ngomong soal Lala dan Savero. Emang mereka gak dateng? Bukannya muralnya Lala tadi pagi selesai? Ada di ruangan pameran, kan?" Gia celingukan mengamati orang-orang yang baru datang dari pintu utama. Tapi Lala tak kunjung muncul.
•••
Acara pembukaan galeri yang lebih mirip perhelatan Met Gala itu masih ramai. Para wartawan dan fotografer masih menunggu di karpet merah untuk memotret beberapa artis ibukota juga pengusaha terkenal yang turut hadir ke acara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Color
Teen FictionLala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tanpa kehadiran papanya, Lala mengetahui bahwa papanya berselingkuh dan memiliki anak. Lala dibantu teman-temannya memutuskan untuk membalas pe...