"Gue gak tau kalo lo bisa bersikap sangat menyebalkan kayak kemarin," Lala menggigit ujung roti yang sudah diberi selai coklat. Sarapan pagi itu mereka hanya berdua saja. Mama Savero sudah pergi ke kantor sejak pagi buta.
Savero tersenyum miring. Ia menyesap kopinya sedikit kemudian meletakkan ponsel yang sejak tadi di tangannya. "Kenapa? Kaget sama perubahan sikap gue?"
Lala mengangguk. "Banget. Awal ketemu sampai sekarang, lo orang yang sulit ditebak."
"Gue anggap itu pujian," Savero mengambil sehelai roti kemudian mengoles selai stroberi di atasnya. "Gue gak berharap ada yang ngerti gue atau bisa nebak gue dan segala sikap gue. Karena jika orang itu ada, maka semuanya jadi gak menarik lagi. Dan rupanya itu juga berlaku sama lo."
Lala tertawa kecil kemudian mengangguk. "Kalau semua udah ketahuan dan bisa ditebak sejak awal, maka gak ada yang menarik dan bikin penasaran."
"Jadi, lo udah ngerasa penasaran sama gue?" Savero mengunyah roti di mulutnya dengan kedipan mata menggoda.
"No, thanks," Lala menggeleng kemudian melanjutkan sarapannya.
Savero mengamati Lala makan. Sesekali laki-laki itu tersenyum. Ini pertama kalinya ia sarapan di rumah mamanya berdua dengan Lala saja. Penampilan polos Lala dengan piyama berwarna hijau mint serta rambut yang dicepol seadanya cukup menarik perhatian. Lala yang ada di hadapannya itu cukup kontras dengan Lala yang ia temui pertama kali di Coyote tempo hari.
"La, boleh nanya?" Savero menopang dagunya di meja sambil menatap Lala.
"Nanya aja. Kenapa?" Lala menopang dagu dan balas menatap Savero.
"Lo emang selalu kelihatan gemesin gini kalau gak pakai make up?"
Lala berdecak kemudian menatap kesal. "Dih, kirain nanya apa," balasnya agak sewot. "Ya, menurut lo aja gimana. Kan lo tinggal berdua sama gue selama beberapa hari belakangan. Lagian nanya yang mutu dikit kenapa, sih."
Savero terkekeh kemudian. "Ya udah kali ini tanya serius. Lo benci sama bokap lo? Melihat sikap lo galeri kemarin apalagi pas ngomong sama Nadin. Sikap lo beda. Lo jadi keras terus kayak musuh. Belum lagi soal rencana lo sama perusahaan si Milo. Kayaknya lo dendam gitu."
Lala diam sejenak lalu tersenyum kecil.
"Jujur aja, gue gak tau apa gue benci sama bokap atau enggak. Tapi gue terganggu sama omongan saudara tiri lo kemarin." Lala memberikan penegasan. "Soal bokap gue. Kecewa kayak apapun dan benci kayak gimanapun, bokap gue tetep bokap gue. Mau gak mau gue ada hubungan darah sama dia," ia menjelaskan. "Sikap dan perilaku bokap gue emang gak bisa dibenarkan. Tujuh belas tahun dia khianati nyokap. Dia selingkuh dan bahkan punya anak tapi gak bisa ninggalin nyokap gue. Sikap gue sekarang anggap aja adalah bentuk pemberontakan."
Lala menatap keluar jendela. Tersenyum melihat bunga-bunga di taman samping rumah bergoyang oleh angin.
"Kadang gue pengen jadi orang biasa aja, Sav," Lala menoleh pada Savero dan tersenyum kecil. "Pekerja kantoran atau pengusaha kecil yang cukup makan sama pendidikan. Gue pernah berharap jadi keluarga yang kayak gitu asal bokap sama nyokap gue harmonis. Gak perlu ada yang namanya rebutan warisan, rebutan jabatan, rebutan siapa yang jadi penerus perusahaan."
"Kalau lo jadi orang biasa. Lo emang bisa ngelakuin yang sekarang ini sedang lo nikmatin?"
"Misalnya apa?"
"Melukis. Lo suka ngelukis, lo suka mainan warna. Lo lebih ekspresif kalau hubungannya sama gambar."
Lala terdiam kemudian mengangguk pendek. "Semua orang bisa menikmati hobinya, Sav. Gue yakin itu. Meskipun gue belum tentu bisa jadi pelukis yang dikenal orang kayak sekarang. Tapi gue yakin gue masih bisa melukis, gue masih bisa menggambar atau apapun yang gue suka sekalipun dalam skala kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Color
Ficção AdolescenteLala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tanpa kehadiran papanya, Lala mengetahui bahwa papanya berselingkuh dan memiliki anak. Lala dibantu teman-temannya memutuskan untuk membalas pe...