Lala tidur dengan nyaman semalam. Ditemani Savero yang setia bersamanya bahkan rela mengerjakan semua pekerjaan kantor di rumah sakit. Savero tidak melepas pengawasan dari Lala. Setiap kebutuhan Lala, ia penuhi dengan sebaik mungkin.
Bagi Lala, kehadiran Savero seperti angin segar. Sifatnya yang berubah-ubah, perhatian kecilnya, senyumnya yang selalu muncul saat Lala butuhkan, juga bahunya yang nyaman untuk bersandar. Savero berbeda dari semua sahabat-sahabatnya. Mungkin karena Savero sendiri sudah mengutarakan perasaannya, jadi Lala rasa percikan merah muda itu tumbuh diantara keduanya.
"Sav," panggil Lala pada Savero yang tampak fokus dengan layar tab di tangannya.
"Hmm," sahut Savero tanpa menoleh pada Lala.
"Udah malam. Kenapa kita pindah ke kamar ini?" tanya Lala penasaran.
Sekitar satu jam yang lalu Savero meminta pemindahan Lala dari kamar VIP 7 ke kamar VIP 3. Sebenarnya alasan Savero sederhana. Karena AC di kamar itu tidak berfungsi dengan baik dan Lala tidak mempermasalahkannya. Namun, karena Savero bersikeras dan mereka mendapat persetujuan tim manajemen, Lala pun dipindahkan.
"AC-nya kurang dingin, La. Aku gak nyaman. Lagian kita bayar mahal di sini. Enak aja dikasih kamar kurang berkualitas."
"Em, terus yang jaga di luar siapa? Orangnya Jeff?"
"Bukan. Orangnya Neo. Tadi udah ganti shift. Kamu kenapa tanya-tanya gitu? Perhatian banget sama yang jaga di luar? Sama aku enggak." Savero menutup tab-nya dan menatap Lala cemburu.
"Kan aku udah perhatiin kamu. Aku lihatin seharian."
"Diliatin doang gak disayang, ya, percuma."
"Gak percuma. Siapa tau dari liatin doang terus sayang."
Savero menarik kedua bibirnya salah tingkah mendengar ucapan Lala.
"Kayaknya dikit lagi nikah kita, La. Habis kamu jatuh cinta sama aku, nanti aku lamar kamu. Aku usahakan sampe papa kamu setuju buat nerima aku jadi mantu."
Lala tersenyum lebar dan mengangguk begitu saja. Dan dengan wajah berbinar, Savero mendekat kemudian menopang dagunya diatas tempat tidur menatap Lala.
"Cantiknya Savero."
Lala mengerutkan dahinya. "What?"
"Iya. Kamu cantiknya aku."
"Dih, geli." Lala tersenyum pura-pura geli. Padahal rasanya banyak kupu-kupu bertebaran di dadanya.
Savero tertawa kecil. Perlahan tangannya terulur lantas membelai pipi Lala. Diusapnya pelan sambil tersenyum memuja.
"Makasih, ya. Udah berjuang dan tumbuh dengan baik. Makasih juga buat Tuhan yang udah bikin aku ketemu sama kamu. Dan makasih karena mau nerima aku jadi bagian dari lembaran kisah hidup kamu."
Lala terharu. Belum pernah ada yang sebaik dan setulus ini menyayanginya. Belum ada yang mengungkapkan kata-kata menenangkan hati seperti yang Savero selalu ucapkan untuknya. Lala tidak bisa menjawabnya. Ia bukan seseorang yang pandai menghibur seperti Savero.
"Malik gimana? Masih di tahan sama yang lainnya?"
Savero mengangguk. "Masih. Tapi Gia kayak khawatir banget sama dia. Mungkin Gia ke Malik sama kayak aku yang jatuh cinta sama kamu."
Lala berdecak. "Bukan itu maksudnya, Sav. Malik ngomong kenapa dia mau nyelakain kamu?"
Savero mengangkat bahunya ringan. "Kata Jeff dia gak cerita. Cuma dia sempet ngomong berdua doang sama Gia. Nanti aja kalau Gia ke sini kamu tanya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Color
Ficção AdolescenteLala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tanpa kehadiran papanya, Lala mengetahui bahwa papanya berselingkuh dan memiliki anak. Lala dibantu teman-temannya memutuskan untuk membalas pe...