Pesawat yang di tumpangi Lala dan keempat sahabatnya telah mendarat di Bandara. Mereka baru tiba di L.A dan langsung menuju hotel. Lala dan Gia memutuskan untuk tinggal sekamar. Sementara Ansell, Jeff, dan Neo di kamar yang lainnya. Mereka sepakat untuk beristirahat lebih dahulu sebelum melanjutkan rencana mereka untuk bertemu dengan calon rekan bisnis mereka di sana.
Di dalam kamar, Lala baru keluar dari kamar mandi. Ia memilih mandi lebih dahulu sementara Gia sedang sibuk berkirim kabar dengan Malik yang saat ini sedang berada di tempat kakaknya. Setelah melihat Lala selesai mandi, barulah ganti Gia yang pergi membersihkan diri. Dan sambil menunggu Gia, Lala putuskan untuk menghubungi Savero di Indonesia.
"Sav, belum tidur?" tanya Lala sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang ada di dekat jendela besar. Lala mengambil bantal di dekatnya kemudian memeluk benda lembut itu dengan nyaman.
"Sudah. Tapi kebangun karena kamu nelpon," jawab Savero di seberang. "Kamu udah sampai? Gimana perjalanannya? Lancar?"
Lala menjawab dengan anggukan sekalipun Savero tidak bisa melihatnya. "Lumayan. Kami langsung pergi ke hotel. Mungkin baru nanti malam ketemu sama rekan bisnis yang Ansell maksud. Omong-omong, aku ganggu kamu istirahat, ya?"
"Enggak, La. Aku justru nunggu telpon dari kamu," balas Savero masih dengan suara serak khas bangun tidur. "Jangan lama-lama di sana. Kalau urusan udah beres, buruan balik ke sini. Aku kangen soalnya."
Mendengar ucapan manis Savero, Lala tidak kuasa menahan senyumannya. Meski tidak bertemu, meski tidak saling menatap wajah, namun kehadiran Savero terasa nyata. Seolah mereka berada pada satu ruangan yang sama. Seperti mendengar suara berisik dari tempat Savero, Lala menebak bahwa lelaki kesayangannya itu sedang menyamankan posisinya. Entah rebahan atau bahkan duduk supaya bisa bicara lebih nyaman.
"Kamu akan baik-baik aja selama aku gak ada, kan?"
"Tentu aja. Emang aku mau ngapain, La? Aku gak bakalan aneh-aneh juga kalau itu yang kamu khawatirin."
Lala tertawa kecil. "Aku percaya kalau kamu gak akan macem-macem. Cuma aku agak khawatir aja. Tadi pas sampe hotel kepikiran sama kamu."
"Oh, mungkin kamu kangen juga," balas Savero ringan kemudian ia tertawa kecil. "Aku seneng dikhawatirin sama kamu. Makasi, ya. Sering-sering kangen sama khawatirkan aku, La."
Tidak perlu diminta pun, Lala akan melakukannya. Secara otomatis, ia akan khawatir dan merindukan seseorang yang baik padanya
"Kamu gak akan lama di sana, kan?"
"Enggak. Cuma seminggu. Pokoknya bagaimanapun hasilnya nanti, aku akan pulang setelah tujuh hari," jawab Lala. Ia terdiam sejenak dengan tatapan menerawang. Memikirkan beberapa kemungkinan yang sebenarnya ingin ia abaikan saja. "Kalau kakaknya Malik gak bisa pulang dan memberi kita semua jalan tengah, mungkin aku akan nyerah aja buat minta bantuan dia. Toh, hasil laboratorium dan sebagainya udah bisa jadi bukti."
Savero tidak langsung menjawab. Ia berdehem sesaat lantas berkata, "Kadang, gak semua bisa kita dapetin setelah berusaha keras, La. Adakalanya kita gagal. Dan itu gak apa-apa. Gak ada yang salah dan gak ada usaha yang sia-sia sekalipun hasilnya gak sesuai sama keinginan kita."
Jeda sejenak. Dan Lala mencoba mencerna ucapan Savero.
"Jangan menyalahkan diri kamu sendiri kalau hasilnya gak sesuai sama keinginan kamu. Usaha terbaik udah kamu lakukan. Dan inget, La. Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri. Kamu ngerti maksud aku, kan?"
Lala tersenyum meski Savero tidak bisa melihatnya. Perasaannya menjadi lebih nyaman dan lebih ringan. Savero benar, tidak seharusnya ia keras pada dirinya sendiri. Apalagi setelah semua yang sudah ia alami dan ia usahakan.
"Kayaknya aku jatuh cinta sama kamunya udah jatuh sejatuh jatuhnya, deh," ucap Lala kemudian menghela napas. "Padahal kamu ngomong doang di telfon. Tapi perasaanku bisa tenang banget. Aku ngerasa semua akan baik-baik aja berkat kamu."
"Bukan berkat aku, La. Tapi berkat diri kamu sendiri. Aku cuma ngomong doang. Gak ngelakuin apa-apa," balas Savero.
"Tapi omongan kamu bisa bikin aku tenang. Dan aku seneng."
"Aku yang lebih seneng, La. Seneng banget pas tadi kamu bilang kamu jatuh cinta sama aku."
Seketika Lala tersipu. Meski Savero tidak bisa melihat betapa meronanya pipi Lala saat ini.
"Aku..."
"Aku jatuh cinta lebih dulu ke kamu, La," potong Savero dengan tenang. "Aku jatuh cinta sama kamu dan terjebak sama perasaan itu lebih dulu. Jadi La, kita sama-sama jatuh cinta dan itu gak apa-apa. Aku jatuh cinta sama kamu begitupun sebaliknya."
"Perasaan ini, gak akan nyakitin kita, kan?"
"Soal itu aku gak janji, La. Aku gak bisa jamin kalau kita gak akan sakit satu sama lain. Sebab setiap kebahagiaan akan selalu beriringan dengan kesedihan. Dan setiap cinta selalu beriringan dengan luka" ujar Savero. "Sejak awal jatuh cinta, aku udah siap sama rasa sakitnya. Jadi aku gak apa-apa. Yang jadi masalah, adalah aku mungkin gak akan bisa lihat kamu nangis. Air mata kamu terlalu berharga. Jadi aku sebisa mungkin akan berusaha supaya air mata itu gak jatuh. Kecuali untuk sesuatu yang membuat kamu bahagia."
Dan sekali lagi, Lala terpesona. Mungkin ini sudah kesekian kalinya ia dibuat takjub dan tak bisa berkata-kata mendengar ucapan Savero. Tuturnya yang halus, dan begitu meyakinkan. Terdengar tulus dengan makna yang dalam. Mungkin Savero adalah satu-satunya laki-laki dalam hidupnya yang memperlakukannya dengan demikian.
Ketika Lala membutuhkan penyemangat, Savero selalu ada. Setiap Lala membutuhkan pendengar, Savero selalu menyiapkan telinganya. Dan ketika Lala membutuhkan tempat bersandar, Savero akan mendekapnya tanpa Lala perlu meminta. Jika ada satu kebahagiaan lain yang ia syukuri, kehadiran Savero dalam hidupnya adalah bentuk kebahagiaan tersendiri. Kebahagiaan yang tidak akan bisa diukur dan digantikan dengan apapun.
"Kayaknya, dunia dan seisinya akan kalah sama kamu, Sav. Setiap orang akan butuh satu Savero dalam hidupnya," ucap Lala memuji.
"Tapi aku cuma satu. Dan yang aku butuhkan cuma kamu. Jadi aku cuma punya kamu, La. Maaf, stok Savero di dunia cuma satu dan itu khusus buat Lala aja," balas Savero yang sukses membuat Lala semakin salah tingkah dibuatnya.
Lala tidak bisa tidak tersenyum dan senyum perempuan itu semakin lebar. Tingkah ajaib Lala yang tengah berbicara di telfon dengan Savero membuat Gia yang baru keluar dari kamar mandi menatapnya dengan heran. Gia sendiri tidak habis pikir dengan kelakuan ajaib Lala yang berubah-ubah tiap kali sejak berhubungan dengan Savero. Dan melihat tingkah Lala sekarang ini, Gia langsung bisa menebak bahwa penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah Savero. Sebagai sahabat, tentu Gia ikut senang melihat Lala yang sekarang. Perempuan yang selalu menghabiskan waktunya dengan melukis itu kini menjadi lebih manusiawi dan lebih banyak menunjukan dirinya. Tidak melulu fokus pada misi balas dendamnya, tapi juga misinya untuk merasakan indahnya cinta.
[]
Indonesia, 04 September 2023
Noquiyea
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Color
Ficção AdolescenteLala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tanpa kehadiran papanya, Lala mengetahui bahwa papanya berselingkuh dan memiliki anak. Lala dibantu teman-temannya memutuskan untuk membalas pe...