8. Trouble

33 5 9
                                    

"Saya capek!" Haris Nabastala menghela napas kemudian menatap tajam Ana yang berdiri bersebelahan dengan Evan. "Saya gak ada waktu buat main-main dengan anak itu. Kalau dia mau pergi silahkan saja. Saya gak akan cari. Paling kejadian ini juga akal-akalan kalian."

"Tapi Non Ilea memang diculik, Pak. Bapak sendiri sudah melihat CCTV. Kita harus segera lapor polisi." Ana bersikeras. Evan pun sependapat.

"Saya rasa kali ini kita memang harus melibatkan pihak berwajib. Sudah dua kali dua puluh empat jam dan Non Ilea belum ditemukan," Evan menjelaskan.

Haris mendengus diiringi senyum miring. "Lapor ke pihak berwajib dan membiarkan nama keluarga kita masuk berita lalu jadi konsumsi publik? Saya rasa tidak. Kami tidak ingin publik tau soal ini. Kita sudah kerahkan orang-orang kita untuk mencarinya. Jadi kita tunggu saja."

"Tapi sudah dua hari, Pak." Evan bersikeras. "Sudah dua hari dan kita tidak tau keadaannya seperti apa di luar."

"Dia biasa liar. Sudah hidup seenaknya. Kenapa kalian repot sekali. Kalian ini kan cuma karyawan. Jangan terlalu peduli dengan dia. Pedulikan diri kalian sendiri. Lagipula saya yang gaji kalian, bukan dia." Pak Haris menegakkan duduknya dan menatap tegas Ana dan Evan.

"Papa bener, lagian Ilea itu sudah biasa hidup di luar. Palingan juga dia lagi nyusun rencana buat bikin heboh satu rumah. Atau dia lagi seneng-seneng di klub malam sama temen-temennya yang gak berguna itu," Nadin itu bersuara.

Ana dan Evan menghela napas. Mereka saling pandang kemudian menyerah.

"Non Ilea gak ada dimanapun." Ana berkata lebih lembut. "Saya sudah menghubungi teman-temannya dan mereka juga sedang berusaha mencari Non Ilea."

"Baguslah. Ada bantuan. Sesama orang tidak berguna dan beban keluarga harus saling membantu," Pak Haris beranjak. "Hubungi saya kalau kalian sudah menemukan Ilea."

"Kalau tidak ketemu bagaimana?" Evan bertanya dengan suara tertahan.

"Tidak apa-apa. Saya punya anak perempuan lain yang bisa menggantikan posisinya." Lalu Pak Haris pun pergi begitu saja diikuti oleh Nadin yang kemudian menggelayut manja di lengan papanya.

Ana dan Evan saling bertukar pandang. Mereka lantas menghela napas. Sambil keluar dari rumah itu, keduanya membicarakan rencana selanjutnya untuk mencari Ilea.

"Aku akan cuti dari kantor. Tugas utamaku adalah menjaga Lala. Aku sudah janji pada mendiang Nyonya Bella." Keputusan Evan sudah bulat. Selama ini ia bekerja di kantor karena Lala memang tidak ada di rumah. Ia bekerja di kantor juga bukan karena pilihannya, tapi perintah Pak Haris sebab ia merasa bahwa keluarga itu memberi Evan gaji. Padahal mau Evan bekerja atau tidak, selama ia ada untuk Lala saat dibutuhkan, ia akan tetap menerima uang setiap bulannya.

"Aku rasa aku juga perlu cuti dari kantor. Aku harus cari Lala. Gak mungkin dia kabur atau pergi kemanapun tanpa ngabarin aku, Mas." Ana pun berniat melakukan hal yang sama.

"Kalau begitu kita urus satu per satu. Sambil cari bantuan untuk menemukan Lala." Evan mengatakan rencananya dan Ana pun menyetujui. "Aku akan hubungi Ansell, Gia, Jeff, dan Neo juga. Siapa tau mereka bisa bantu lebih banyak."

•••

Lala duduk di sebuah ayunan di taman kecil di belakang rumah mama Savero. Ia dan wanita paruh baya itu duduk bersama sambil menikmati buah potong yang baru dibawakan oleh asisten rumah tangga.

"Savero gak datang hari ini?" Lala bertanya usai menelan stroberi yang selesai ia kunyah. "Katanya dia nanti mau anter aku ke Galeri Mada buat bikin mural hari ini. Tapi udah jam segini dia gak muncul."

Bu Liliana tersenyum kamudian mencubit gemas pipi Lala. "Kamu gemesin banget ya ternyata. Baru ditinggal Savero sehari aja udah bingung. Dia pasti datang. Kan udah janji sama kamu."

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang