22. How

17 3 0
                                    

"Yang gak pernah akan mereka mengerti adalah semua obsesi di dunia ini adalah racun bagi orang disekitarnya."

Suara Malik yang kini serak mengisi kekosongan kamar berukuran sembilan meter persegi itu. Di luar jendela, langit berwarna jingga. Ia duduk di atas tempat tidur bersama Gia yang sejak tadi setia mendengarkan keluh kesahnya. Tentang kehidupannya yang kacau, tentang ambisi keluarga besarnya, juga tentang kakaknya yang tak pernah kembali ke tanah air.

"Gue mau kakak gue pulang, Gi. Gue mau dia menyerah dengan penelitiannya yang udah jelas gagal sejak awal. Obat itu udah jelas bahaya dan gak perlu ada yang diperbaiki lagi kecuali mengganti semua formulanya dan memulai semuanya dari awal."

Gia tetap mendengarkan dengan sabar. Perlahan tangannya menggenggam tangan Malik yang rasanya lebih rapuh dari sebelumnya. Malik yang ada bersama Gia bukan Malik yang biasa ia lihat sebelumnya. Malik yang ini lebih kalem, lebih sendu, bahkan terlihat lebih lemah. Malik tampak kesepian, sama seperti dirinya jika tidak ada Ansell, Jeff, Neo, juga Lala di sisinya.

"Gue menyesal kenapa Lala sampai pasang badan buat Savero. Gue cuma mau sedikit ngelukain Savero supaya dia bisa masuk ke rumah sakit dan menemukan bukti-bukti itu sendiri. Gue gak tau kalau Lala akan rela melakukan itu buat Savero."

Gia mengangguk setuju. Tidak ada yang pernah menduga bahwa Lala akan rela berkorban untuk orang lain seperti itu. Tapi, itu pilihan Lala dan yang jelas mereka semua yang mengenal Lala memahami cara Lala berpikir hingga menentukan pilihan.

"Gak apa-apa. Udah kejadian juga. Mana bisa ngulang waktu dari awal. Lagian, Lala bisa bertahan juga, Malik. Jangan khawatir." Gia menghibur. Ia tidak mau melihat Malik tampak kacau lagi. Cukup keadaan saja yang akhir-akhir ini tidak berjalan dengan baik, jangan yang lainnya juga terpengaruh.

"Lala harus segera menemukan bukti dan keluar dari sana. Gue harus bisa yakinin kakak gue buat pulang dan berhenti. Kalau enggak, mungkin hal yang lebih buruk akan terjadi."

Gia mengangguk. "Lagi di proses. Lala itu anaknya gak sabaran. Sekali dapat bukti dia akan terus menyerang. Jadi percaya aja sama dia."

"Gue percaya, Gi," Malik menoleh pada Gia, "gue percaya sama kalian semua."

•••

Di ruang rawat Lala, keadaan terasa lebih hening walau tadi sempat tegang usai Jeff dan Neo berkunjung. Kedua sahabat Lala itu membawakan hasil pemeriksaan sampel darah juga sampel luka Lala yang dikirim oleh dokter Lila -Tantenya Savero- melalui email.

Baik Lala maupun Savero sudah tidak terkejut dengan hasilnya. Memang sejak awal, mereka berdua sudah curiga dengan cairan berwarna merah muda yang selalu disuntikkan ke tubuh Lala pada pagi dan sore hari. Cairan yang mengeluarkan aroma pahit dan mawar sekaligus menimbulkan sensasi nyeri yang amat menyakitkan di lengan serta bagian tubuh Lala yang terluka. Beruntung setelah kejadian kejang tempo hari, Tante Lila memberikan obat penawar yang menetralisir efek dari carian itu. Lala melakukan sesuai perintah hingga ia tidak merasakan efek sampingnya. Namun tidak sampai disitu saja, mungkin setelah semua ini Lala harus menjalani terapi dan detoksifikasi yang tentunya memakan waktu yang tidak sebentar. Terutama mengingat jumlah cairan yang selalu masuk ke dalam tubuhnya dan obat-obatan yang dikonsumsi selama ini.

"La," Savero menatapnya lembut mengusap pipi perempuan itu, "kita pulang, ya. Buktinya udah cukup, kok. Mereka gak akan berani macam-macam lagi. Makin lama kamu di sini, makin aku gak tenang, La."

"Iya, pulang, kok. Habis ngasih pelajaran sama perawat nyebelin itu," Lala balas mengusap pipi Savero dengan tangannya yang bebas.

Ya, Lala sudah menyiapkannya. Sesuai apa yang sudah ia rencanakan dengan Ansell, Jeff, Neo, dan tentu sana Gia. Untuk membakar sesuatu, tentu saja perlu api. Dan Lala siap untuk menarik pemantiknya.

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang