"Ini bukan ide yang baik, Sell. Gak sopan pergi tanpa pamit kayak gini apalagi orang-orang di sana lagi pada istirahat." Gia menatap Ansell yang sedang menyetir. Meski ia menentang ide Ansell pada akhirnya Gia ikut juga. Bagaimana bisa ia membiarkan teman-temannya terjebak masalah sendirian.
Ansell sendiri tahu, pergi tanpa pamit bukanlah hal baik. Terutama karena mereka sudah diberi pertolongan, perbuatan mereka ini tidaklah sopan. Tapi jika lebih lama disana, entah apa yang akan terjadi mengingat semalam kejadian itu cukup mengganggu mereka.
"Ada Jeff di sana. Ada Malik juga. Mereka yang akan jelasin ke orang-orang yang nolong Lala kalau kita bawa Lala pergi. Gue juga udah minta Jeff untuk ngucapin makasi ke orang itu."
Lala diam saja. Sepanjang perjalanan, ia hanya melihat keluar jendela. Ke arah langit yang masih gelap karena waktu masih menunjukan pukul empat pagi.
"Kita kemana?" Lala terlihat penasaran. Kali ini ia tidak tahu ide apalagi yang dimiliki teman-temannya untuk menyembunyikan keberadaannya. Mengingat ini sudah kali kesekian mereka berlima didatangi orang-orang suruhan keluarga papanya. Entah kenapa sejak Lala meninggalkan rumah, orang-orang justru menunjukan kepedulian. Berbeda sekali dengan keadaan ketika ia masih ada di rumah itu setelah kepergian mamanya.
"Kita akan pergi ke tempat Jeff. Untuk sementara lo tinggal di situ dulu. Nanti keperluan lo yang lain, gue bakal minta asisten pribadi lo buat ngurus. Selama mereka masih ngejar lo, mending lo sembunyi dan gak perlu nunjukin diri." Ansell masih fokus mengemudi namun ia tegas menjelaskan rencananya. Memang sejak Lala memutuskan untuk meninggalkan rumah, Ansell dan Gia adalah dua orang yang selalu pasang badan untuk menyembunyikan keberadaan Lala bagaimanapun caranya. Meski itu artinya mereka harus berbohong pada semua orang yang mereka temui.
"Kayaknya gue gak bisa kalau gak ada kalian." Lala menatap sendu pada kedua punggung temannya yang duduk di depan. "Kalau gak ada kalian, gue mungkin gak akan sampai sejauh ini."
Gia menoleh kebelakang dan berdecak. "Ngomong apa sih, lo? Gak perlu sok sendu gitu. Jijik gue!"
Lala tertawa kecil. Gia si mulut pedas yang sebenarnya tidak se-galak itu. Hanya saja memang ucapan Gia selalu tepat pada situasi seperti ini. Sebenarnya Lala sendiri tidak memiliki waktu untuk menjadi sendu. Tidak untuk semua rasa sakit dan kesedihan yang sudah ia lewati selama beberapa tahun terakhir.
Meninggalkan rumah adalah pilihannya. Dan jika memang dicari oleh keluarga papanya adalah hal yang harus ia hadapi saat ini, maka memang sudah seharusnya ia menghindar. Menjauh sebisa mungkin. Bersembunyi serapat mungkin, hingga satu saat ia sendiri siap menunjukan dirinya.
"Gue denger, mereka cari lo lo bukan cuma karena lo kabur dari perjodohan. Tapi juga karena lo bikin mural di kamar Nadin. Emang lo bikin mural gambar apaan?" Gia menoleh kebelakang lagi karena penasaran. Ia menatap Lala cukup lama sambil menunggu perempuan itu menjawab pertanyaannya.
Dan bukannya menjawab, Lala malah tersenyum. Senyum miring yang dapat Gia pastikan bahwa Lala memang sedang mencari gara-gara kemarin.
"Anak Simpanan. Anak Haram. Bitch. Fuck. Dan lain sebagainya." Lala menekankan setiap kata dengan senyum puas.
Gia membulatkan matanya namun kemudian tertawa kencang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Lala bisa menulis kata-kata seperti itu di kamar serba merah muda milik Nadin -saudara tirinya-. Sementara Ansell tentu saja hanya bisa diam dan menggelengkan kepala. Sudah biasa dengan kelakukan ajaib dan nekad dari dua perempuan itu.
"Kok bisa lo masuk ke kamar Nadin. Emangnya gak ketahuan?" Gia baru bertanya setelah menyelesaikan tawanya yang terdengar sangat puas.
"Bisa. Tentu aja pakai duit. Tinggal suap aja beberapa orang, atur rencana. Terus pas mereka semua pergi makan malam di luar, gue masuk ke kamarnya dan bikin coretan mahakarya itu."
"Dan lo gak ketahuan?" kini Ansell yang bertanya. Meragukan bagaimana Lala bisa lepas begitu saja dari orang-orang yang berjaga di sana.
Lala tersenyum. Kali ini mengangguk ringan mengakui bahwa ada yang tidak sempurna di rencananya.
"Gue ketahuan sama Kak Alden. Tapi gak tau kenapa, dia malah lindungin gue. Dia biarin gue selesai corat-coret di kamar Nadin terus gue diantar pergi sama dia."
"Diturunin di jalan?" Gia memastikan.
"Iya," Lala membenarkan. "Dia cuma pesen. Lain kali gue gak boleh ketahuan kalau mau bikin ulah lagi."
Ansell sekali lagi hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan apa yang Lala lakukan untuk membuat kesal saudara tirinya. Meskipun menurutnya itu kekanakan, tapi itu adalah cara Lala untuk menunjukan emosinya. Untuk menunjukan perasaan yang selama ini sudah ia pendam dan ia tahan.
"Gue dengar malam itu di acara makan malam, Nadin ketemu sama Milo dan kedua keluarga ngomongin soal perjodohan," Gia sedikit menyinggung perihal kejadian di malam Lala membuat masalah. "Kalau gak ada acara makan malam itu, pasti lo gak punya kesempatan buat bikin Nadin kesel, kan?"
Lala sekali lagi membenarkan. Memang momen itu yang ia tunggu. Momen dimana ia dan Milo seharusnya menentukan tanggal pertunangan. Tapi karena ia sendiri kabur, Nadin yang akhirnya menggantikan posisi Lala menjadi calon tunangan Milo.
"Lo sama Milo udah jadi mantan. Lo masih ngarep sama dia?" Ansell terdengar penasaran. Bukan rahasia lagi bagi mereka semua bahwa Lala dan Milo pernah menjalin hubungan. Keduanya baru putus setelah mama Lala meninggal dunia. Lebih tepatnya, Milo meninggalkan Lala saat itu.
Gia jadi salah satu yang paling kesal ketika Milo memutuskan hubungannya dengan Lala seminggu setelah pemakaman mamanya. Milo kemudian pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan dan baru kembali beberapa bulan yang lalu. Dari yang Gia dengar, Nadin menggantikan Lala dan bertunangan dengan Milo adalah ide dari papanya Lala sendiri. Beliau ingin anaknya menjadi bagian dari keluarga Floyd yang terkenal itu. Karena hanya Nadin putri yang ada di rumah, mereka memutuskan Nadin yang berhak mendapatkan kesempatan itu.
"Kalau gue jadi lo, La. Gue ancurin tuh si Milo. Seenaknya dia minta putus padahal lo lagi jatuh dan butuh dia." Gia terdengar berapi-api. "Alesan ke Amerika nerusin pendidikan. Balik-balik dia malah dijodohin sama si Nadin. Siapa yang gak kesel coba."
"Milo, kan, juga butuh sokongan keluarganya. Kalau dia berhasil jadi menantu keluarga Nabastala, kemungkinan dia bakal diakui sebagai salah satu penerus yang berpotensi. Selama ini gue rasa kemampuan dia masih diragukan." Ansell ikut berpendapat. "Milo emang kelihatan paling terkenal diantara cucu keluarga Floyd yang lain. Tapi kemampuan bisnisnya masih kalah sama adiknya."
"Milo punya adek? Kok gue gak tau!" Gia terlihat heboh sendiri. Sebenarnya ia cukup penasaran dengan anggota keluarga itu. Apalagi karena Milo itu lumayan tampan. Ia jadi ingin tahu, bagaimana rupa adiknya Milo yang sampai saat ini belum pernah muncul di acara-acara khusus para keluarga yang rutin diadakan setiap tahunnya.
"Lo udah ketemu, Gi. Dan lo bilang dia ganteng," Ansell mengingatkan dengan santai. Mereka baru tiba di parkiran apartemen milik Jeff dan berjalan menuju lift.
"Oya? Kapan?" tanya Gia penasaran begitupun dengan Lala.
Ansell menoleh pada Gia kemudian tersenyum ketika mereka masuk di dalam lift.
"Tadi di klinik. Savero Noah Floyd. Itu adiknya Milo."
[]
Savero Noah Floyd
Thank You for reading. See You on The Next Part
29 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Color
Fiksi RemajaLala menjalani hidupnya sebagai pelukis mengikuti jejak mendiang mamanya. Selama memutuskan hidup sendiri tanpa kehadiran papanya, Lala mengetahui bahwa papanya berselingkuh dan memiliki anak. Lala dibantu teman-temannya memutuskan untuk membalas pe...