23. Sorry To Your Self

22 3 0
                                    

"Lukanya udah Tante obatin. Luka tembak gak biasanya sampai berdarah kayak gitu. Untung kalian buru-buru pergi," Tante Lila merapikan alat-alatnya usai mengganti perban Lala di tangan dan bagian yang terluka. "Lagian, kenapa nekat lepas infus sendiri? Kalau tangan kamu kenapa-kenapa bagaimana, La. Lain kali harus lebih hati-hati. Jangan sampai ada bikin orang kelabakan kayak tadi," lanjutnya mengoceh.

Lala tersenyum canggung dan mengangguk segan. Sadar bahwa tadi ia sudah kelewatan pada dirinya sendiri padahal ia bisa melakukan hal lain yang tentu tidak perlu melukai tangannya seperti saat ini. Lala juga sadar sudah membuat Savero khawatir. Apalagi Savero lebih banyak diam sejak keluar dari rumah sakit hingga sampai di klinik Tante Lila.

"Iya, Tante. Maafin aku. Aku akan lebih hati-hati lagi."

"Minta maaf bukan sama Tante, La, tapi sama diri kamu sendiri. Dan lagi, terima kasih sudah menyelamatkan Savero, maaf kamu terluka karena menghadang peluru yang akan mengenainya."

"Iya, Tante. Makasih juga karena Tante Lila udah mau nampung aku di sini."

Tante Lila mengangguk saja kemudian pamit meninggalkan Lala beristirahat di salah satu kamar di kliniknya.

Setelah Tante Lila pergi, Savero masuk ke ruangan. Ia membawa selimut dan bantal yang ia letakkan di sofa seperti bersiap-siap untuk tidur.

"Mau tidur, Sav?"

"Mau nyangkul," sambarnya merebahkan diri di sofa, "kamu udah tau malah nanya," lanjutnya sewot.

Lala tak kuasa menahan dirinya untuk tidak tertawa. Ekspresi sewotnya saat menjawab pertanyaan Lala tampak lucu. Apalagi Savero menggerutu tak jelas. Mirip anak kecil yang sedang kesal.

"Ih, kok malah sewot. Kan, aku cuma nanya."

"Ya, kan, aku juga cuma jawab," sahutnya sambil menyelimuti dirinya sendiri.

Lala tersenyum tulus. Ia menatap Savero beberapa saat kemudian berkata, "Maaf, ya, Sav. Maaf udah bikin kamu khawatir sama tindakanku tadi."

"Hmm."

"Kenapa hmm doang?"

"Terus kamu mau aku jawabnya apa?"

"Ya, apa gitu. Jangan hmm doang."

"Yaudah, iya sayang," ralat lelaki muda itu.

Lala tertawa kecil dibuatnya. Gemas dengan cara Savero menjawabnya.

"Sav, sini, deh!"

Savero berdecak dan menoleh pada Lala. Tidak banyak bicara, ia keluar dari selimut lalu berjalan mendekat dengan ogah-ogahan.

Lala masih tertawa kecil ketika meraih lengan padat lelaki yang terkenal pendiam dan dingin itu. Ia tarik perlahan yang langsung ditangkap Savero dengan ajakan untuk duduk di tepi tempat tidur.

Lala pun bangun untuk duduk dan berhadapan langsung dengan lelaki itu. Ia masih tersenyum kemudian mendekatkan tubuhnya dengan Savero lantas memeluknya dengan hangat.

"Ngambek, ya?"

"Udah tau nanya."

Lala terkekeh. "Sabar sedikit lagi, ya. Selangkah demi selangkah semua jadi lebih jelas sekarang. Urusan rumah sakit Sinha kita anggap aja udah cukup buat buka kasus mama lagi sesuai rencana. Setelahnya itu urusan Om Gunawan dan teman-temannya."

"Lalu kita?"

Lala menyurukkan hidungnya di leher Savero dan tersenyum di sana. "Nanti setelah badainya tenang."

"Pasti masih lama."

"Semoga gak lama. Aku juga udah mulai capek. Pengen ngelukis lagi."

"Kamu emang gak cocok main dengan rencana balas dendam kayak gini. Kamu cocoknya duduk manis di depan kanvas. Menikmati keindahan dunia lalu kamu tuangkan dalam lukisan."

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang