16

59 5 0
                                    

Black membelah jalanan dengan cepat, bahkan sang pengendara tidak menghiraukan klakson yang seolah mengumpat pada dirinya. Yang ia lakukan hanyalah terus mengendarai Black dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di tujuannya.

Tidak butuh waktu lama karena menjadi pengendara ugal-ugalan, ia sudah sampai di depan rumah besar. Klakson yang motor ia pencet membuat satpam penjaga rumah itu reflek membuka gerbang disaat melihat cucu dari pemilik rumah datang.

Begitu gerbang terbuka ia bergegas melajukan motornya masuk hingga ia sudah berada tepat di depan pintu masuk. Tanpa pikir panjang ia memarkirkan motornya sembarangan dan membuang helm mahal itu ke lantai. Remaja ini terlihat sangat menyeramkan, tanpa ada senyuman di wajahnya. Ini akan sangat berbahaya karena Ranu bukan tipe orang yang mudah marah. Dan bahkan dapat di hitung jari berapa kali mengeluarkan aura seperti ini. Yang artinya amat sangat langka.

"Kenapa baru datang? Eyang sudah nunggu kamu main ke sini." Pria tua yang berumur hampir 89 tahun itu masih tersenyum melihat cucunya tanpa ekspresi.

Ia tersenyum lebar, "Kau sangat mirip dengan Narendra, ya, walaupun aku tidak pernah selalu disisinya namun aku tahu kalian sangat mirip."

"Terserah, saya hanya ingin bertanya satu hal. Kenapa kalian meninggalkan ayah saya sendirian di neraka itu?!" Nadanya memang rendah, namun intonasinya sangat mengintimidasi.

"Duduklah terlebih dahulu, Eyang akan dongengin ceritanya." Cokroaminoto, atau sering dipanggil Cokro tatkala dengan temannya, mencoba membujuk cucunya agar mau duduk menjelaskan cerita darinya.

Ranu menghela nafas, "Saya tidak ada waktu, besok saya akan ajukan surat pengunduran diri. Saya akan pastikan surat tersebut sudah ada di meja anda pagi-pagi sekali."

"Ck, keras kepalanya mirip seperti neneknya."

Cokro menghela nafas, "Oke, duduk-lah bentar, Eyang ceritain ceritanya."

Ranu duduk di single sofa, duduknya tegak mengintimidasi. Sementara sang kakek duduk tepat di depannya dengan santai.

"Dulu keluarga Eyang begitu mementingkan ke stabilan perusahaan. Disaat perusahaan ayah dari nenek-mu mengalami bangkrut dengan tanpa persetujuan kami, orang tua Eyang mengajukan perceraian kami. Dengan keputusan Narendra akan Eyang bawa sementara Mario akan bersama Nenek-mu. Namun keluarga mereka menolak, karena mereka berfikir bisa memanfaatkan ayah-mu. Dan juga kondisi kesehatan Mario kala itu tidak memungkinkan untuk tidak dalam pengawasan dokter pada akhirnya Eyang membawa Mario.

Setelah sekian lama Eyang mendengar jika keluarga Nenek-mu benar-benar tidak bisa diselamatkan. Oleh karena itu kami mencoba berhubungan lagi dengan Narendra, namun saudara Nenek-mu yang lain merasa cemburu karena Savalas masih terbang dengan baik. Mereka tidak mengijinkan kami dekat secara terus terang, dan yang bisa Eyang lakukan hanyalah mengawasi mereka dari kejauhan. Ayahmu menolak segala bantuan Eyang, hanya satu yang ia minta dari Eyang, yaitu mengambil Langit karena ia percaya kita bisa berkumpul kembali."

Cokro menghela nafas panjang, "Namun sampai sekarang itu belum terjadi," Ia tersenyum tipis kemudian melanjutkan ceritanya. "Disaat umur-mu 2 tahun kita berhenti berhubungan dengan mereka, karena ada banyak mata yang mengincar Savalas kala itu. Yang bisa kita lakukan adalah mengisolasi semua dari dunia luar. Setelah aman, justru penghubung kita tidak ada kabar dan setelah Eyang dengar ia sudah tiada. Eyang begitu pengecut hingga tidak bisa bertemu langsung dengan anaknya sendiri, walaupun Eyang sudah merindukan anak sulung Eyang."

Ranu terdiam mencerna semua informasi yang Eyang-nya sampaikan. Begitu berat masa lalu yang dialami mereka, apakah begitu cara kerja dunia? Ia semakin tidak paham.

Lama terdiam sembari mengamati ekspresi cucunya akhirnya Cokro mulai mengeluarkan suara. "Menginap saja di sini, sudah malam, lagi pula Eyang masih merindukan cucu sulung Eyang."

"Jangan terlalu difikirkan, ini semua terlalu berat. Lagi pula itu sudah masa lalu, saatnya menata masa depan," Cokro menepuk pundak cucunya mencoba menyalurkan rasa nyaman.

Setelah lama terdiam Ranu membuka mulutnya, "Ranu boleh peluk Eyang?" Cokro terkekeh kemudian membawa Ranu kedalam dekapannya.

Dengan lirih Ranu kembali berucap, "Ranu dari dulu pengen dipeluk Kakek, tapi ternyata dia bukan kakek Ranu. Pantas saja Ranu enggak pernah dipeluk atau diberikan apapun. Ranu kangen Eyang,"

Cokro terdiam matanya berkaca-kaca, dalam pikirannya berkecamuk. Apa sebegitu dibedakan anaknya dengan anak Wito? Hingga cucunya menjadi sekuat ini? Apakah mantan istrinya juga memperlakukan cucu dan anaknya seperti yang Wito lakukan kepada anak cucunya? Sungguh ia sangat menyesal karena memiliki gengsi yang begitu tinggi hingga anak cucunya menderita seperti ini.

"Sekarang ada Eyang yang siap bantu punggung kuat cucunya, tenang saja. Apapun akan Eyang lakukan demi cucu Eyang," ia hanya bisa membisikkan kata tersebut kepada Ranu yang menangis dipelukannya.

---

Ranu terbangun dari tidurnya tatkala telponnya berdering. 3 panggilan tidak terjawab dari seniornya, ah, ia lupa jika hari ini masih harus bekerja. Sudah pukul 9, pantas saja senior menelponnya.

Ia harus bergegas kembali dan menyampaikan surat pengunduran diri secepatnya, harus.

"Mau kemana?" Ranu menoleh, ternyata ada sang kakek.

"Mau pulang, hari ini mau ngundurin diri."

Cokro berdecak, "Masih ingat rupanya,"

"Sudah duduk dulu. Temani Eyangmu ini sarapan, nanti suratnya gampang, pakai baju Langit dulu aja." Ranu mengangguk kemudian bergabung ke meja makan.

Semalam ia benar menginap di rumah sang kakek, ia tidur di kamar yang memang sudah kakeknya persiapan sejak lama. Nuansa kamar Ranu sengaja dibuat netral, sehingga Ranu masih bisa mengatur kamar sesuai ke inginan-nya nanti.

"Bas, hadiah yang saya siapkan sudah datang?" Tangan kanan sang kakek mengangguk, ia datang setelah Ranu dan kakeknya selesai sarapan.

Ranu yang merasa itu bukan urusannya lebih memilih untuk menghabiskan segelas kopi hangat yang ada di depan kakeknya. Susu yang dibuat untuknya juga sudah habis.

"Nih, mulai sekarang ini buat kamu. Anggap saja Eyang memberikan ini untuk merayakan kesuksesanmu bergabung dengan perusahaan Eyang."

Ia mengerutkan keningnya, "Tuan muda, maksudnya adalah selamat bergabung ke Savalas Company sebagai jajaran pemegang saham utama. Jadi anda tidak perlu bekerja magang di sana lagi." Jelas Bastian.

"Secara tidak langsung... gua dipecat?"

Bastian dan Cokro menggeleng, "Anda tidak perlu bekerja seperti kemarin, anda hanya perlu mengikuti rapat penting saja." Ranu mengangguk paham.

"Oh, okay."

"Bagaimana jika kita melihat hadiah yang Eyang berikan untukmu terlebih dahulu?"

Ranu mengangguk patuh, lagipula dia sekarang penasaran dengan kunci yang ada ditangannya. Ranu menebak ini adalah merk dari brand automotif terkenal dan tentu saja salah satu impiannya memiliki motor dari brand tersebut.

Ia mengekor dibelakang sang kakek, kemudian ada Bastian yang juga mengikuti mereka menuju ke garasi di rumah besar itu. Setelah sang Eyang menyuruh salah satu pegawai disana untuk mengeluarkan hadiah Ranu, mereka menunggu di sana dengan senyuman misterius dari sang kakek membuat Ranu merinding. Tidak lama setelah itu motor berwarna merah itu sampai dihadapkan Ranu. Ia hanya bisa melongo tunggu ini sepertinya sangat berlebihan untuknya. Seketika ia menjerit kecil.

"WOII!"
"Wah, gila. Belum siap gua, astaga."

Ranu meracau sembari mendekati motor tersebut. Motor mahal yang tentu saja menjadi idaman seluruh pecinta motor sport, apalagi ini adalah keluaran terbaru.

Ia menoleh kebelakang, "Ini serius?" Sang kakek hanya tersenyum tenang sembari mengangguk.

"Eyang, kalau mau ngasih hadiah begini kenapa harus sekarang? Nanti pajaknya gimana, haduh pusing!" Racau Ranu namun tak urung kembali tersenyum sembari memeluk Eyang-nya.

"Halah, kayak lupa kalau jadi cucunya konglomerat saja kamu!"


----
Tbc...

Bentala (𝐑𝐞𝐯𝐢𝐬𝐢) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang