15

42 5 0
                                    

Saka terdiam memandang sahabatnya. Ranu terus merenung sejak datang sore tadi, bahkan ia tidak fokus bekerja. Tidak seperti biasanya Ranu menjadi teledor seperti ini.

"Lo urus kantor saja, gua yang handle dapur." Ucap Saka sembari menepuk punggung sahabatnya.

Ranu tersadar dari lamunannya, "Sorry, gua kurang fokus."

Saka menggeleng, "Santai saja, kalau ada apa-apa itu cerita bukan di pendem sendiri. Sana ke atas dulu, nanti gua susul!" Ranu mengangguk patuh.

Ia melepaskan apron miliknya kemudian pergi ke lantai atas. Sampai di dalam ruangan itu Ranu terdiam kemudian membuka ponsel yang sejak tadi ia matikan. Setelah ia hidupkan banyak pesan bahkan panggilan tak terjawab dari nomor asing. Ia menebak jika orang yang menelponnya adalah suruhan dari 'beliau'. Masih terlalu abu-abu untuk ia terima saat ini. Ranu merasa campur aduk, tidak sedih, tidak juha bahagia. Entahlah perasaannya saat ini sungguh sulit untuk di utarakan.

Dengan bergetar ia membuka pesan masuk tersebut. Tidak ia balas, hanya ia baca saja. Ia masih bimbang bagaimana mengatakan ini kepada orang tuanya dan bagaimana menganggapi situasi sulit ini.

"Lo kenapa?"

"Kalau nggak kuat cerita ke gua sini." Ujar Saka sembari duduk di hadapan Ranu.

Ranu terdiam kemudian menaruh ponselnya ke meja. "Gua bingung mau mulai darimana, ini semua terlalu mendadak."

"Cielah, lo mau cerita dari akhir ke depan aja gua paham. Tenang aja, gua udah khatam bahasa binatang."

Ranu berdecak kecal, "Sialan, lo!"

"Lo percaya gua punya kembaran?" Saka mengangguk.

"Terus kalau sebenernya kita masih saudara lo percaya?" remaja itu kembali menganggukkan kepalanya.

Ranu terdiam, "Karena emang gua nganggep elo saudara, juga karena Jake." Jawab Saka.

Ranu terkekeh, ia mengira Saka tahu mengenai kebenaran ini ternyata tidak. Ia mengira Saka mau berteman dengannya karena ia masih saudara Saka. Namun ia salah. Asumsinya beberapa hari ini salah besar.

"Lo tahu? Nama panjang gua?"

Saka dengan heran mengangguk, "Ranu Angkasa S."

"Tepat sekali," Ranu terkekeh kecil, "Dan lo tahu kepanjangan dari S?"

"Bajingan, lo aja kagak tahu apalagi gua, setan lo!" Amuk Saka.

"Savalas."

Saka yang tadi akan mengamuk terdiam seketika. Ia menatap Ranu penuh tanda tanya. "Savalas? Savalas yang itu kan? Maksudnya marga emak gua?" Ranu mengangguk.

"Shit, anjing!"

Saka membekap mulutnya, "Wah, anjing, nggak percaya gua kalau lo sepupu jauh gua. Wah, anjing, gila banget."

"Kok bisa?!"

"Bokap gua, anak kandung dari Cokroaminoto Savalas. Dan anak dari Mario Savalas yang publik tahu sebenernya anak bokap dan nyokap gua, alias kembaran gua."

Ranu menatap Saka dengan tatapan kosong. Ini terlalu mendadak hingga membuat dirinya bingung memilih keputusan. Apakah orang tuanya tahu? Atau ada suatu alasan mengapa neneknya dulu memberikan kembarannya kepada adik kandung sang ayah?

"Shit, pantes saja gua lihat foto lo pas masih bocil mirip seseorang."

"Lo tahu muka kembaran gua?" Saka menggeleng. "Gua belum pernah ketemu anaknya om Mario, dia tinggal di Switzerland baru kembali 2 bulan lalu. Kabarnya dia kecelakaan, tapi gua enggak jenguk karena belum siuman masih koma dia."

"Koma?"

Saka mengangguk, "Iya, dia kecelakaan 2 minggu yang lalu. Sekarang belum bangun, kata emak gua belum boleh di jenguk makanya dia kagak heboh lihat muka kembaran lo."

Ranu terdiam, ia teringat dengan perkataan sang kakek 4 hari yang lalu. Ia kembali bertanya tanya kepada dirinya sendiri apakah beberapa minggu ini perasaan yang ia rasakan karena terhubung oleh kembarannya? Apa yang harus ia lakukan. Ranu bingung.

"Gua bingung harus gimana."

Keduanya terdiam belum bisa berfikir jernih karena ini sangat mengejutkan ke-duanya. Apalagi Saka, dia dulu berharap memiliki sepupu seperti Ranu dan ternyata dia memang sepupu Saka.

"Lo mau ketemu kakek lo? Atau mau jenguk kembaran lo? Gua bakal bantu dan dukung semua keputusan lo apapun itu." Saka menepuk pundak temannya mencoba memberi semangat kepada remaja yang tengah gundah.

Tidak ingin membuat keputusan tergesa-gesa dan mencoba berfikir positif, remaja setengah bule itu memutuskan untuk menemui kembarannya terlebih dahulu. Setidaknya perasaan mengganjal di hatinya mungkin akan terobati setelah melihat sang kembaran mungkin? Pikir Ranu.

"Anterin gua ke rumah sakit, gua mau lihat dia."

Saka mengangguk, kebetulan kemarin dia mengantar sang ibu ke rumah sakit kembaran Ranu dirawat. Untuk ruangannya tidak akan sulit mengetahui itu karena rumah sakit itu dikelola oleh adik ibunya.

---

Ranu memejamkan matanya setelah melakukan aktivitas seperti biasa setelah pulang kerja. Ia akan menanyakan semua ini kepada orang tuanya, untung saja hanya ada mereka bertiga di rumah. Jadi ia lebih leluasa untuk menanyakan ini hingga detail.

Adiknya tengah menginap di rumah sang kakek mengingat ini sedang musim liburan anak sekolah.

Sembari menunggu momen yang tepat ia menyiapkan beberapa bukti dan mental terlebih dahulu. Tidak lupa ia membicarakan ini terlebih dahulu dengan kakeknya. Untung saja sang kakek memiliki waktu luang jadi bisa untuk membantu dirinya menjelaskan apa yang terjadi.

"Pa, Ma, Ranu mau nanya sesuatu."

"Mau nanya apa, kak?" Tanya sang ayah sembari duduk di meja makan setelah menghabiskan makan malamnya.

Ranu menghela nafas sebentar, "Nama panjang Ranu yang terakhir cuma huruf S, itu kepanjangan dari apa?"

Semua terdiam, sang ayah tidak langsung menjawab. Ibunya ikut terdiam, ia menoleh kearah putra sulungnya. Matanya nampak berkaca-kaca, namun segera ia hapus sebelum menjadi air mata.

"Kita bersihkan ini semua dulu, baru nanti kita ngobrol di ruang keluarga."

Sang ayah mengambil piring kotor miliknya dan menumpuk piring tersebut bersama dengan piring sang istri dan putra sulungnya. Ia mengambil beberapa sampah dan membuangnya. Sementara sang ibu membersihkan meja, Ranu mengambil tumpukan piring kotor tersebut dan mencucinya. Setelah meja makan bersih kembali, mereka berkumpul di ruang keluarga, dengan sang ayah yang membawa sepucuk foto usang.

Narendra menyerahkan foto usang tersebut kepada Ranu tatkala ia datang. "Duduk, dan lihat foto itu." Ranu mengikuti instruksi dari sang ayah.

"Itu foto disaat kau lahir, dan yang ayah gendong di samping kiri itu adalah kembaranmu. Kalian lahir di hari yang sama, tepatnya kau terlahir pukul 23.27 sementara kembaranmu terlahir pukul 23.47.

Kau bertanya kenapa nama belakang milikmu hanya S? Savalas, itu nama yang asli. Marga dari bapak kandung ayah, dan alasan kenapa ayah tidak memberikan nama lengkap karena keluarga dari ibuku telah membenci marga tersebut hingga ayahmu ini dipandang buruk oleh keluarga dari ibunya sendiri."

Air mata Ranu mulai muncul, ia seolah melihat betapa menderitanya sang ayah. Kilasan memori tentang masa kecilnya kini mulai terjawab.

"Satu kesalahan kami saat itu, membiarkan mereka mengambil kembaranmu karena ekonomi kita tidak se-stabil sekarang. Mario dan Bapak datang di saat ayah bingung bagaimana cara melunasi biaya persalinan. Walaupun ayah bisa meminjam uang dari perusahaan, lebih baik ayah menerima tawaran dari mereka. Tapi sejak kalian berumur 2 tahun tidak ada kabar lagi dari Mario, mereka bahkan menolak untuk berhubungan dengan kami."

"Jadi, apa yang kamu ketahui sehingga bertanya?"

Bentala (𝐑𝐞𝐯𝐢𝐬𝐢) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang