1. Prolog

3.7K 305 21
                                    

Langkah itu terhenti di sebuah makam yang sangat bersih dan terawat, tak lupa rangkaian bunga banyak berserakan di atasnya.

Pria itu memandang sendu, sementara wajahnya mencoba untuk tetap tersenyum. Tak ingin memperlihatkan wajah menyedihkan miliknya.

"Maaf hari ini aku datang telat, kau pasti sudah menungguku bukan?"

Sudah 19 tahun berlalu, tapi setiap datang kemari, pria itu tetap tak bisa menahan rasa sedih dan nada getir dalam bicaranya.

"Lihatlah, aku kembali membawakan Lily segar untukmu. Kau pasti suka bukan?" Tom terus berbicara sendiri.

Awan mendungpun dan cuaca yang mulai gelap seolah mendukung akan kesedihannya, seolah tau jika pria itu masih terkurung dalam duka yang tertanam sejak lama atas kecerobohannya sendiri.

"Harry, apakah disana sempit? Bagaimana bisa kau sangat betah untuk tinggal? Sementara disini, aku akan membawamu menuju dunia yang luas."

Penyesalan tiada henti, terus menyiksa Tom setiap detik dalam hidupnya.

"Setiap hari aku mencoba untuk menjalani hari dengan baik. Tapi tetap saja, semuanya terasa semu untukku."

Semua curahan hatinya, selalu Tom utarakan dengan perasaan yang sama. Kata-kata yang sama dan kesedihan yang sama.

Sementara itu, dibalik pohon jauh dari pemakaman. Terlihat seorang wanita yang menunduk dengan sedih, melihat suaminya yang terus terjebak dimasalalu.

"Mau sampai kapan kau akan seperti ini? Harry sudah lama pergi."
.
.
.
.

"Mom! Dimana sepatuku? Aku lupa menyimpannya.." suara teriakan itu terdengar di lantai 2.

"Tidak usah berteriak, Mom akan mencarinya." Astoria menggeleng heran melihat tingkah anaknya.

"Mom, tapi aku ingin memakai sepatu itu sekarang." wajahnya terlihat merajuk.

"Harry, kita bisa menyuruh Diaken untuk mencarinya. Ayo segera sarapan karena pukul 11 kita harus segera pulang ke London."

"Tapi..." wajahnya terlihat ragu.

"Tidak ada penolakan sayangku. Kita sudah membicarakannya secara sepakat kemarin malam."

"Baiklah..."

Harry tertunduk lesu, dia lebih suka tinggal di Paris daripada di Britain sihir. Lagipula, sejak kecil dirinya memang sudah lahir dan besar disini

"Ayo. Daddy sudah menunggumu sejak tadi."
.
.
.
.

Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam lamanya dengan sapu terbang dari Paris menuju Britain sihir,akhirnya Harry bisa merasakan udara di kota kelahiran ayah dan ibunya.

Dia melihat pemandangan kota padat di bawah sana dengan kagum, sementara tangannya terus memeluk bahu sang ayah.

"Kau suka? Lihatlah, kau pasti akan betah jika tinggal disini." Draco tersenyum melihat tingkah anaknya.

"Tapi Paris takkan pernah tergantikan." keluhannya.

"Yayaya... Kau belum melihat kota ini dengan jelas, Daddy akan mengajakmu ke Diagon Alley besok."

Jujur saja, ini penerbangan pertamanya dengan Ayah dan Ibunya membuat Harry sedikit gugup karena belum pernah menaiki sapu terbang sekalipun.

"Lalu dimana tempat Scorpius bersekolah, apakah disini?".

"No, Hogwarts tidak disini." Draco menggeleng lembut. "Jauh di pegunungan sana, tepatnya di Irlandia. Butuh waktu 12 jam untuk sampai dengan menaiki KingCross di peron 9 3/4."

"Ayo belok kanan bawah Honey, Malfoy Manor ada di bawah sana!" Astoria menunjuk menara di bawah awan sana dengan telunjuknya, sementara dengan lihai dia membelokkan sapu terbangnya.

"Granpa dan Grandma House..."

"Yes sayang, untuk sementara kita akan tinggal disana."

Sebenarnya mereka bisa saja melakukan Apparate dan sampai lebih cepat. Tapi sayang, peraturan Apparsi dan penjagaan bangsal semakin di perketat oleh pemerintah sihir. Membuat mereka harus pergi menggunakan sapu terbang, sementara di bagian perbatasan banyak Walpurgis yang menjaga keamanan sebelum di perolehan masuk.
.
.
.
.

"Hallo sayangku, kami senang kalian sudah sampai. Masuklah, kami sudah membuat penyambutan untuk kalian." Narcisaa menyambut mereka dengan raut bahagia. Lalu pandangannya beralih pada Harry dan memeluknya erat penuh sayang. "Harrison, cucuku sudah besar. Ayo masuk, Grandma merindukanmu. Mau cokelat? Kami membeli banyak khusus untukmu."

"Mom... Jangan terlalu memanjakannya, dia sudah 17 ingat?" Draco menegur pelan.

"17 hanyalah angka, bagiku Harry adalah bayi mungil kesayangan Malfoy family."

Harry hanya mendengarkan perdebatan itu, sementara dia masuk terlebih dahulu karena lelah. Tidak ada barang yang dibawa, karena para peri rumah sudah mengirimnya ke Manor lebih awal.

"Scorpie!" teriaknya bahagia saat melihat smag kakak yang terduduk manis di ruang keluarga.

"Berhentilah berteriak Hawwy, suaramu bisa merobohkan Manor nanti..." Scorpius memutar bola matanya jahat.

"Ouhh.. Kau kakak yang menyebalkan!" keluhnya.

"Kau tidak rindu denganku?" suara bariton terdengar dari arah belakang.

"Grandpa?!" teriaknya penuh kesenangan. "Tentu saja rindu." Harry memeluk kakeknya dengan erat.

Draco dan Astoria menatap semuanya dengan haru, diam-diam keduanya saling menakutkan tangan dengan erat.

Mereka tak menyangka, jika kelahiran Harry sangat membawa keberuntungan. Awalnya mereka takut jika kehadiran anak terakhir mereka tidak diterima, tapi nyatanya Harry malah menjadi kesayangan keluarga ini.
.
.
.
.
.

"Arrgghhh!!! Sampai kapan?! Sampai kapan semua ini berakhir?!"

Daphne terus berteriak marah seolah kesetanan, sementara benda-benda disekitarnya pecah tak beraturan mengelilingi ruangan.

"Aku benci! Aku benci menjadi yang diasingkan!" air mata itu terus menuruni pipinya.

Berbeda dengan sang adik yang hidupnya harmonis. Daphne tidak merasakan itu, meski semua orang menganggapnya sempurna dan Permaisuri yang agung. Tapi dia masih merasa kosong dan belum cukup.

Dia tidak butuh semua gelar ini dalam hidupnya, dia hanya butuh Tom gara bisa melihatnya, menatapnya seperti awal pernikahan mereka.

Tapi setelah kejadian itu, dimana Harry di eksekusi. Tom berubah dan terus menangisi Harry yang bahkan jasadnya sudah menghilang.

"Aku hanya ingin berada di posisi itu, hanya ingin di cintai... Hiks... Hiks..." tangisnya sendu. "Aku hanya korban disini, apakah au boleh egois?!"

Suaranya bahkan sangat serak dan hampir parau. Salahkan dia mengharapkan cinta dari suaminya?

Dia hanya menerima lamaran Tom karena benar-benar mencintainya. Buka karena ingin mendapatkan tahta atau apapun.

Jika saja Cedric Doggory masih hidup, mungkin dia tidak akan mengalami nasib seperti ini. Cedric adalah Mate yang sebenarnya. Meski Cedric mencintai Cho Chang, tapi pria itu tidak pernah menyakitinya seperti ini.

"Aku... Aku hanya ingin pria tulus yang mencintaiku..." racaunya dalam tangisan. "Tapi semuanya milik orang lain..."
.
.
.
.

Tom tau, dibalik ruangan itu Dhapne sedang menangis dan mengeluarkan seluruh emosinya.

Dia juga merasa bersalah, telah mengorbankan 2 orang dalam hidupnya demi sebuah keegoisan. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya tak bisa di isi oleh orang lain, semuanya hanya untuk Harry.

Dirinya memilih untuk memberikan Dhapne waktu luang dan pergi meninggalkan tempat itu.
.
.
.
.

Segini dulu cuman Prolog soalnya

TBC...

My Baby Mate II (TOMARRY) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang