Introduce : Woohwan

833 59 4
                                    

Junghwan resah.

Kali ini, ia mengaku kalah dari hujan yang semakin ditunggu malah semakin deras. Bunyi gemericik ketika menyentuh tanah semakin mendominasi suasana sekitar.

Kalau saja ia membawa mantel khusus laptop, mungkin ia akan menerobos hujan seperti biasanya untuk sampai pada halte.

Prediksi cuaca di televisi memang tidak bisa dipercaya!

Junghwan merasa ditipu!

Ya sudah. Toh sekarang yang bisa Junghwan lakukan hanyalah menunggu.

Ia tak mau ambil resiko jika laptopnya rusak.

Tempat service jauh.

Harga mahal.

Dan Junghwan juga memiliki tugas presentasi penting untuk minggu depan.

Sudah dibuat sedemikian rupa hingga lupa jajan, masa buyar seketika? Tidak lucu, sumpah.

Hampir lupa. Ponselnya juga.

Ia tidak mau ambil resiko ponsel barunya juga ikut terkena imbas seperti laptopnya kalau-kalau ia memilih untuk nekat.

Huftt...

Ya sudah (2).

Junghwan pasrah bersandar pada dinding depan gedung sekolah sambil menatap langit yang masih gelap. Masih betah mengirimkan pasukan bulir air yang sepertinya belum menunjukkan akan berhenti dalam waktu dekat.

Ia juga sendirian.

Gedung seberang juga tidak ada orang yang sama seperti dirinya. Menunggu hujan.

Jujur, Junghwan lapar juga.

Tapi ini masih di level awal. Ibarat kata, ia masih bisa menahannya dalam beberapa jam kedepan. Setelah itu ia akan pingsan, mungkin.

Junghwan memilih untuk memejamkan mata sebentar.

Mencoba meraba petrichor yang selalu dibanggakan oleh Leeseo sebagai pecinta hujan dengan hidungnya.

Dalam diam, Junghwan mulai merasakan bau amis tanah. Atau tanah yang berbau amis. Atau apalah.

Baunya bukan membuat hidung sakit atau bagaimana, namun justru menenangkan. Hanya beberapa persen saja karena jujur, Junghwan tidak terlalu menyukainya.

Soal bau amis tanah, Junghwan tidak bisa menjelaskannya lebih detail. Intinya seperti itu.

Besok, ia akan menanyakannya pada Leeseo.

Junghwan membuka kedua matanya dan semakin sebal ketika hujan malah semakin deras turun.

Junghwan maju selangkah. Menjulurkan tangan yang lengan bajunya sudah tersingkap hingga seluruh telapak tangannya basah.

"Tolonglah reda. Aku mau pulang. Aku lapar, Tuhan."

Suaranya lirih. Sangat tulus -lebih tepatnya sangat memelas. Langsung disambut bunyi perut keroncongannya.

Ia menarik tangannya dan langsung menjulurkan lengan bajunya cepat.

Ujung netra Junghwan menangkap ada pergerakan di pintu gedung seberang. Kedua matanya fokus menatap seseorang yang berjalan menunduk.

Jaket biru.

Tas disampirkan di satu bahu.

Kedua lengannya tersingkap.

Membuka pintunya dengan satu tangan. Berjalan miring karena ia hanya membuka sedikit ruang untuk berjalan.

Dan ia berdiri tepat didepan gedung.

Lelaki itu mendongak.

Memasukkan kedua tangan disaku celana.

Dan menatap Junghwan dengan datar.



































Asing.

Ini kali pertama baginya.

Bukan apa, hanya ada perasaan aneh.

Tidak ada debaran. Tidak ada mual. Ataupun sesuatu yang berbeda.

Hanya saja, rasa asing itu mampu membuat Junghwan tak bisa lagi mendengar suara hujan yang semakin bergemuruh.

Dan lelaki itu, tersenyum tipis.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hello, Kak! ( Random Short Story )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang