Chapter 2: Pelarian

735 72 0
                                    

Kamar tidur besar dan kasur yang mewah. Itulah yang Rienna temukan saat ia membuka mata. Ia duduk dan memeriksa keadaan sekitar setelah menemukan dirinya berbaring sendirian di kasur yang luas. Derik bara api dari perapian terdengar jelas dalam keheningan malam, bahkan bulan purnama pun menyambutnya dari balik jendela megah di sisi ruangan.

Dimana ini?

Yang jelas tempat itu bukan kamar rumah sakit ataupun kamar hotel yang disewanya untuk berlibur di pantai. Rienna masih bisa melihat laut saat ia menoleh ke arah jendela. Mungkin dia masih berada di kota tempatnya berlibur bersama teman-teman kuliahnya. Nalarnya saat itu mengatakan kalau mungkin kamarnya dipindahkan oleh petugas hotel.

Ia terjatuh ke laut dan seseorang menyelamatkannya. Itulah hal terakhir yang ia ingat. Di tengah amukan ombak, ia berusaha sekeras mungkin untuk meraih uluran tangan itu. Mungkin orang-orang itu yang membawanya kemari, pikirnya.

Meski begitu, gadis itu merasa banyak sekali hal janggal. Alih-alih lampu tidur, yang ia temukan di atas nakas di samping tempat tidurnya adalah candle holder. Bahkan saat ia melihat ke arah langit-langit, yang menggantung disana adalah chandelier dengan lilin di setiap ujung lengannya.

Kenapa tidak ada lampu di ruangan ini?

Entah kenapa perasaannya tidak enak.

Berniat untuk mencari tahu, Rienna meraih lilin dari atas nakas lalu berjalan mendekat ke arah perapian, menyalakan bara kecil di atas lilin itu. Meski redup, cahaya lilin setidaknya bisa sedikit membantunya untuk melihat dalam kegelapan. Paling tidak Rienna ingin melihat keadaan di luar, sekaligus memastikan apakah ia berada di hotel atau benar-benar berada di tempat asing.

Hati gusar membuat langkahnya terasa berat. Entah karena heningnya malam, Rienna merasa  suara debaran jantungnya terdengar lebih keras. Tapak kaki di atas lantai marbel yang dingin juga kian membuatnya merasa tak nyaman.

Rienna berputar mengelilingi ruangan, tapi ia sama sekali tidak menemukan barang bawaan atau koper miliknya. Sebelumnya ia berharap setidaknya akan menemukan ponsel miliknya. Paling tidak jika ada handphone dia bisa merasa sedikit lebih tenang karena bisa menghubungi teman-teman atau keluarganya.

Merasa tidak punya pilihan lain selain pergi keluar, akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk membuka pintu ke arah koridor.

Tubuhnya menegang. Mungkin tadinya dia mengira kalau pintu besar yang terlihat berat itu akan berderek saat ia membukanya, namun heningnya malam ternyata tetap tidak terusik. Pintu megah itu terbuka dengan mudahnya.

Dengan langkah pelan, Rienna membawa dirinya ke tengah lorong kastil. Yang menemaninya kala itu hanyalah cahaya lilin dan temaram rembulan. Tidak ada siapapun di sana. Kedua ujung dari koridor itu tak terlihat, gelap terselubung oleh bayang-bayang.

Pemandangan tebing tinggi dan luasnya samudra yang terhampar di balik jendela tidaklah berarti bagi Rienna yang baru saja tersadar di tempat yang sama sekali tidak ia kenali. Bahkan kerlip bintang nan indah di angkasa tidak mampu membuang rasa gusar yang perlahan mulai melilit tubuhnya.

"Ini... dimana?"

Bisikan pelan lepas dari bibirnya. Suaranya gemetar, diguyur oleh realitas bahwa dirinya benar-benar sendirian di tempat yang tidak ia kenali membuatnya gemetar, seakan kengerian sedang menyelubungi tubuhnya.

Orang-orang itu membawaku kemari, pikirnya.

Berharap kalau dirinya hanya sedang bermimpi buruk, Rienna mulai berlari. Suara derapan kakinya bergema di antara lorong kastil yang membeku. Kakinya terasa kaku karena dinginnya lantai batu, tapi ia terus berlari tanpa henti.

Rienna mencari dan mencari, tapi dia tidak menemukan apapun. Selain lautan luas, yang bisa ia lihat di balik jendela hanyalah hutan mati. Suhu dingin membuat ranting-ranting pohon terlihat bak mencuat ke angkasa, tanpa satupun dedaunan hijau tumbuh di atasnya.

Selain itu, sepanjang matanya melihat, Rienna tidak menemukan sinar lampu mobil atau bahkan jalanan beraspal yang biasanya meliuk-liuk di lereng pegunungan.

Dalam kepanikan itu, entah sejak kapan api kecil miliknya padam, tertiup oleh angin saat ia berlari tak tentu arah. Rienna merasa sudah cukup lama berlari tapi, ia masih saja belum menemukan pintu keluar.

"Sebenarnya seluas apa tempat ini...?" Rienna berbisik pada dirinya sendiri. Langkahnya terhenti sejenak untuk melihat sekeliling.

Saat itu ia mulai curiga apa mungkin dirinya hanya berputar-putar saja di tempat yang sama. Tapi Jelas pemandangan di luar jendela terlihat berbeda, dan dirinya pun yakin bahwa ia sudah melewati beberapa ruangan besar sebelum akhirnya berhenti di tempat itu.

Baru saja ia ingin melanjutkan langkah yang terputus--

"Siapa disana?!"

--Klang.

Terkejut dengan suara lantang di tengah keheningan itu, Rienna tak sengaja melepas cengkraman pada tatakan lilin dan suara dentingan logam menghantam lantai marbel berbunyi nyaring, seakan memekakan telinganya.

Rienna refleks berbalik, matanya terbuka lebar saat ia melihat sosok seorang pria yang melangkah keluar dari lingkup bayang malam.

Cahaya temaram rembulan menyinari sisi wajahnya yang terukir sempurna. Helai rambut berwarna abu yang berayun lembut di atas bahunya nampak seperti benang perak di bawah sinar bulan. Kaki senjang membawa sang tuan ke hadapannya dan baru saat itulah Rienna melihat betapa dinginnya tatapan yang diberikan pria itu padanya.

"Yang benar saja... Kau, lagi-lagi..." Pria itu berbisik pada dirinya sendiri sambil mengerutkan keningnya. Dia mengernyit--ekspresi yang tampak seperti amarah bercampur dengan kekecewaan yang ditunjukkannya itu entah kenapa membuat Rienna terpaku.

Rienna ingat--pria itu adalah penyelamatnya. Meski hanya sekejap, ia sempat sadarkan diri dan melihat pria itu berada di sampingnya.

"--Tolong!" Seperti tengah menemukan sebuah harapan, gadis itu berlari ke arah pria itu. "Tolong bawa aku pulang. Keluargaku pasti khawatir!" Pintanya.

Mungkin dirinya salah kaprah, mengira kalau pria itu adalah orang baik-baik yang akan mendengarkan permintaanya. Karena begitu gadis itu mendekat, pria itu malah mencengram keras pergelangan tangan Rienna, mencegah gadis itu untuk kabur darinya.

"Akh!" Di saat itu juga kepanikan terpapar jelas di wajah Rienna. Sekuat tenaga, dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman pria itu. Rienna menarik tubuhnya keras-keras, tapi usahanya hanya berakhir dengan rasa nyeri di pergelangan tangannya. "Lepas! Lepaskan aku!!"

Pria itu mengatakan sesuatu--tapi pening bercampur dengan kepanikan meredam setiap kata yang terucap dari bibirnya. Saat itu tubuh Rienna terasa kian memanas, entah karena memang keadaannya yang masih belum pulih atau adrenalin yang terpompa dalam darahnya.

"Lepas!!" Pukulan yang dia berikan sebagai perlawanan sama sekali tidak ada gunanya. Tubuh pria itu hampir setangguh batu, tak bergeming meski Rienna memukul dan mendorongnya. "Tolong! Siapapun, tolong aku!" Usahanya berakhir nihil karena lengan pria itu akhirnya mengunci kedua pergelangan tangannya.

Mungkin teriakannya membangunkan orang-orang di sekitar, karena samar-samar ia bisa mendengar suara langkah kaki terburu, mengarah ke tempatnya berada. Tapi sebelum Rienna sempat memeriksa keadaan, pening berat menyerang kepalanya. Meski dirinya menolak, saat itu juga tubuhnya mengkhianatinya.

"Uh..." Naas, tangan yang memenjarakannya adalah tangan yang dengan sigap menyangga tubuhnya saat ia kehilangan keseimbangan. Kakinya tiba-tiba terasa lemas bersamaan dengan kesadarannya yang lenyap direnggut kegelapan.

Dalam sisa kesadarannya, ia mendengar pria itu berteriak, memanggil namanya.

"--Rienna!"

"Tuan! Apa yang terjadi-- Astaga... Nyonya!"

Sayang, Rienna tidak menyadari kepanikan yang kembali terjadi di kastil itu setelah dirinya jatuh lemas di pangkuan sang Duke.

-End of Chapter 2-

Author note.
Semoga perubahan POV bolak-balik ini gak terlalu bikin bingung.

Over Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang