Chapter 7: Percakapan

439 56 0
                                    

Entah kenapa malah jadi begini.

Beberapa saat yang lalu Rienna datang menemui Eldric untuk meminta izin untuk berbelanja ke kota sekalian meminta sedikit uang, tapi sekarang mereka duduk berhadapan di dalam kereta kuda.

Tidak ada satu orang pun yang berusaha memecah keheningan sejak kereta kuda itu berjalan meninggalkan kastil utara. Hawa canggung yang terasa berat membebani bahunya membuat Rienna meringis. Rasanya ingin melompat keluar walaupun kereta kuda itu masih berjalan.

"Kau tidak apa-apa?" Tiba-tiba saja Eldric melemparkan pertanyaan pada Rienna yang tengah mengerutkan dahi sambil melihat ke luar.

"Ya?"

Bingung darimana datangnya pertanyaan itu, Rienna hanya bisa memandang balik sebelum Eldric melanjutkan, "Keningmu," Eldric mengetuk pelan dahinya sendiri, "dari tadi terus berkerut."

"Ah...!" Menyadari maksudnya, Rienna refleks menutupi dahinya dengan kedua tangan--entah untuk apa.

"Kalau kepalamu pusing, lebih baik kita kembali." Eldric yang sempat tertegun beberapa saat karena perbuatan yang tak biasa, akhirnya kembali angkat bicara. Matanya masih terus menatap meski Rienna telah menurunkan kembali tangannya.

"Tidak. Ada barang yang ingin saya beli sendiri. Sebenarnya duke tidak perlu repot-repot menjaga saya seperti ini."

"...Eldric."

"Huh?"

"Panggil aku Eldric. Bukankah seorang istri tidak perlu memanggil suaminya dengan gelar?"

"....."

Rienna tertegun untuk sesaat. Bola mata sewarna langit terbuka lebar memandang pria rupawan di hadapannya.

'Suami' katanya.

Tidak tahu kenapa wajahnya tiba-tiba terasa panas. Meleleh hanya dengan pembicaraan normal bagi sepasang suami-istri, pandangan Rienna kembali terjatuh. Sebagai wanita yang sebelumnya single, percakapan seperti itu pasti sedikit menggelitik hatinya mau dengan siapapun lawan bicaranya.

"Erm. Kalau anda mengizinkan, baiklah..."

"Tidak perlu bicara dengan formal juga." Eldric menyela sebelum Rienna melanjutkan lebih jauh, seakan dia sudah merencanakan percakapan itu sebelumnya.

Memang Rienna memaksakan diri untuk berbicara dengan bahasa formal semenjak dia menyadari kalau dirinya telah bertransmigrasi ke tempat itu. Setiap hari rasanya seperti interview pekerjaan gara-gara dirinya harus berbicara dengan bahasa yang kaku.

Makanya aku butuh novel! Jadi kan aku bisa belajar gimana cara bicara yang normal di sini!

Tapi mungkin jika dengan Eldric saja, dia bisa bicara sedikit santai.

"Jangan salahkan kalau nanti anda merasa tidak nyaman ya." Rienna akhirnya menyerah. Jujur, sebenarnya dirinya juga lelah harus berbicara dengan bahasa baku 7x24 jam.

Senyum tipis sekilas terpapar dari wajah sang duke, "Tidak akan. Lebih baik begitu, bicaralah sesukamu. Marahlah ketika kau kesal dan menangislah ketika kau sedih. Setidaknya dengan begitu aku bisa mengerti apa yang kau pikirkan."

"...Ya, kalau dibilang kesal sih memang aku kesal." Rienna cemberut, lalu menyilangkan tangannya sambil menatap Eldric. Semakin kesini dia merasa kalau Eldric memang sengaja mengikutinya untuk mengobrol denganya. "Makanya tadi kubilang kalau kamu nggak perlu ikut. Katanya sibuk?"

"......."

Entah kenapa saat itu Eldric tidak merespons. Matanya berkedip beberapa kali seakan sedang menyaksikan hal aneh yang baru pertama kali ia lihat dalam hidupnya.

Ah gawat... Apa bicaraku terlalu kasual...?

"Er... Rasanya lebih baik kalau saya bicara dengan formal--"

"Tidak perlu." Sigap, Eldric langsung menyela sebelum Rienna menuntaskan perkataannya. Sambil menyondongkan tubuhnya ke arah Rienna, ia meraih tangan Rienna. Seakan sedang memohon, genggaman tangannya meremas pelan tangan Rienna. "Aku menyukainya."

Deg. Deg-deg.

Apaan sih?! Kenapa tiba-tiba keadaannya jadi begini?

Rienna tidak menyadari, tapi saat itu wajahnya kembali memerah. Perlakuan baik yang ia terima dari duke yang dikenal sebagai pria dingin itu membuatnya salah tingkah. Meski memang dia sempat kesal, tapi kalau di hadapannya ada pria tampan memperlakukannya dengan lembut, hati lemah gadis mana yang tidak akan luluh?

Lagipula wajah rupawannya itu jelas sebuah kecurangan!

Memang Rienna awalnya ingin mengata-ngatai pria itu bajingan karena sudah meninggalkan istri sendiri sehari setelah upacara pernikahan mereka, tapi kalau dipikir-pikir pergi ke medan perang itu merupakan titah kaisar.

Bukankah kekesalannya seharusnya ia lempar pada kaisar nan jauh di ibukota sana? Suaminya jelas tidak bersalah!

[PLAKK]

Bunyi nyaring tamparan yang ia berikan untuk dirinya sendiri membuat Eldric terkejut, tapi sayang kepanikan dari suaminya tak ter-register di benaknya yang kala itu sudah terlalu runyam dengan monolognya sendiri.

Gila! Gila kamu Rienna! Bisa-bisanya mikir begitu. Memang kamu tuh lemah banget sama kebaikan orang!

Rienna mengingat kembali kenangan yang rasanya begitu jauh dari jangkauan. Jun, sahabat baik yang dicintainya. Rienna pertama kali memendam rasa karena kebaikan dan perhatian yang selalu Jun berikan padanya.

Memang pada dasarnya Rienna cepat tersentuh pada kebaikan yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya, tapi Rienna sudah mendapatkan pembelajaran yang tak mungkin ia lupakan. Kebaikan tidak selamanya berasal dari rasa cinta dan romansa. Karena itu kali ini ia berjanji kalau ia tak akan jatuh ke jurang yang sama.

Ia harus menghiraukan apapun perasaan yang mekar dalam hatinya. Tak lagi sanggup ia mengalami patah hati, apalagi jika ia masih harus terus tinggal bersama dengan Eldric sepanjang hidupnya.

Hubungan mereka hanyalah sepasang suami-istri tanpa cinta. Kebaikan yang diterimanya bahkan bukan untuk dirinya, melainkan untuk sang pemeran utama, Rienna Welshburg.

Dan ingat, bukankah ini adalah kelanjutan dari cerita yang telah mencapai bad end?

"...."

Mulai merasa tenang, Rienna akhirnya menyadari sesuatu.

Eldric yang sedari tadi berada di hadapannya kini duduk di sampingnya. Entah sejak kapan jarak di antara mereka terhapus dan satu lengannya mendekap erat pinggang Rienna.

Suara hati yang sedari tadi memenuhi kepalanya mendadak senyap ketika jemari milik Eldric mengusap pipinya yang memerah karena tamparannya sendiri. Ada sesuatu yang terpancar dari pandangan matanya--tak lagi pandangan dingin, melainkan tatapan penuh kekhawatiran--dan penyesalan.

Pandangan yang sama dengan saat kesadarannya timbul dan tenggelam saat pertama kali jiwanya tersesat ke dalam tubuh barunya itu. Eldric yang mendekap tubuhnya saat itu memandangnya dengan sorot mata yang sama.

"E-eldric... Aku tidak apa-apa..." Entah kenapa suaranya juga ikut memelan. Mungkin karena jarak mereka yang terlalu dekat.

Mendengar itu, bola mata berwana abu berpindah dari pipinya, kini mengembalikan tatapan sewarna langit milik Rienna, "Jangan lakukan ini lagi." Tangannya masih mengelus pelan pipi yang memerah, seakan takut jika ia akan melukai Rienna jika ia menambah sedikitpun tenaga.

Seperti ingin menyembunyikan ekspresinya yang kalut, Eldric menempelkan keningnya di atas bahu kecil Rienna. Rienna tidak bisa menjelaskan kenapa, tapi beban yang terasa di atas bahunya entah kenapa terasa manis nan pahit.

Menyelesaikan perkataan yang terputus, bisikan pelan yang kemudian lepas dari bibir Eldric kembali mengiris hati gadis itu, "...jangan sakiti dirimu lagi. Kumohon."

Kemudian hanya keheningan lah yang menemani mereka hingga kereta kuda yang mereka tumpangi berhenti di distrik perbelanjaan kota Bellefort.

***

Author note: Setelah dibaca ulang, chapter yang dipublish ini ternyata save-an yang lama. Chapternya sudah benar sekarang. Maaf untuk kesalahan teknisnya. (Nangis)

Over Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang