Chapter 1: Istana Utara

891 76 4
                                    

"Urgh..."

Aku tidak bisa bernapas---tolong aku, Jun--siapapun!!

Entah sudah berapa menit berlalu, tapi Rienna masih merasa terombang-ambing. Entah karena amukan ombak atau memang karena kesadarannya yang hilang timbul.

Rasa sesak di dadanya kini berubah menjadi nyeri tak tertahankan. Jeritan atas rasa sakit hanya mampu untuk bergema dalam pikiran yang semwrawut, karena bibir kelunya sama sekali tak dapat bergerak.

Tidak hanya itu, seluruh tubuhnya terasa dingin. Kaku, bagaikan membeku.

Tapi samar, ia bisa mendengar sesuatu. Suara itu datang dari jauh, seakan datang dari luar samudra yang tengah menelannya utuh.

"--Na! Rienna! Buka matamu!"

Uh...? Siapa...?

Suara yang tidak ia kenal, tapi entah kenapa terasa begitu familiar. Tidak hanya itu, suara itu--panggilan pilu pria itu membuat hatinya sakit.

"...Kumohon. Rienna... Kembalilah padaku..."

--Gasp.

Udara yang tiba-tiba mengisi paru-paru, membuat Rienna terbatuk. Bagaikan sihir, rasa sesak di dadanya menghilang begitu saja. Meski rasa sakit di sekujur tubuhnya tidak menghilang, setidaknya ia merasa tidak lagi terkekang oleh jeratan maut.

"Argh..." Erangan kesakitan yang lepas dari mulutnya disambut dengan keramaian di sekitar. Perlahan, Rienna mulai bisa mendengar suara di sekitarnya lebih jelas.

Orang-orang berteriak memberi perintah, isak tangis, langkah kaki terburu lalu satu suara yang sedari tadi memanggil dari sisinya.

"...." Rienna perlahan membuka matanya, dan disana ia melihat seorang pria dengan wajah penuh kesedihan. Bola mata abu menatapnya lekat-lekat, sementara tetesan air jatuh dari rambutnya yang lembab.

Pria berambut perak dengan mata abu... Rasanya aku pernah melihatnya... Tapi dimana? Aku tidak ingat...

Pelan, kelopak matanya yang berat kembali tertutup.

...Ah, rasanya lelah sekali. Kupikirkan nanti saja...

Dan Rienna kembali kehilangan kesadarannya.

××××××××

"Sa-saya sudah berusaha sekerasnya, tuan." Seorang pria paruh baya menundukkan kepala, menunjukkan penyesalan.

Di hadapannya berdiri sang tuan rumah yang masih menatapnya dingin. "Lalu kenapa dia masih belum juga sadar?" Ujarnya sambil mengerutkan kening, jelas amarahnya mulai tak terbendung. "Sudah tiga hari berlalu, tapi tidak ada perkembangan yang berarti. Aku bisa saja langsung memecatmu jika kerjamu tidak becus!"

"T-tuan Eldric, saya bisa bersaksi kalau sir Claye sudah bekerja semalaman untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh nyonya." Tidak ingin keributan kembali terjadi, kepala pelayan kediaman Arkwright berusaha menenangkan sang Duke.

Duke Arkwright yang biasanya tenang dan rasional menjadi lebih emosional karena keadaan istrinya yang tak kunjung membaik. Sebagai kepala pelayan yang sudah berbakti pada keluarga Duke beberapa generasi kebelakang, Welch tidak bisa membiarkan sang duke untuk melakukan sesuatu yang jelas akan dia sesali kelak. Sir Claye adalah salah satu dokter terbaik di Auretia. Kemampuannya bahkan bisa disandingkan dengan dokter-dokter kerajaan.

"Saya rasa, sir Claye butuh sedikit istirahat setelah memggunakan kekuatan sihirnya semalaman. Selain itu, bukankah luka-luka di sekujur tubuh nyonya sudah menghilang tak berbekas?"

Eldric menghela nafas sambil melirik ke arah Claye. Memang jika dilihat baik-baik, sang dokter terlihat sangat kelelahan. Wajah tirus dan kantung mata yang menghitam adalah pertanda kalau dia memang berkerja semalaman suntuk. Ia mengerutkan kening lalu berjalan melewati kedua bawahannya, mendekati ranjang tempat istrinya berbaring. "Kalau begitu istirahatlah, tapi sebelum itu kirimkan surat rekomendasi ke serikat pekerja. Aku ingin mempekerjakan dokter lain. Dengan begitu kalian bisa berkerja bergantian."

"Terimakasih banyak, tuan. Tentu, akan saya lakukan sesuai perintah anda." Claye mengelus dada sambil menghela nafas lega. Beberapa saat yang lalu ia kira dirinya akan kehilangan pekerjaannya saat itu juga.

Sesungguhnya ia menyadari bahwa memang salahnya tidak sejak awal mengatakan kalau ia tidak akan mampu menyembuhkan nyonya jika ia hanya seorang diri. Seterampil apapun seseorang dalam menggunakan sihir penyembuh, kapasitas mana dalam tubuhnya tetaplah terbatas.

Betapa terkejutnya ketika ia mendapat panggilan mendadak dari kediaman duke dan melihat sekujur tubuh istri Duke penuh dengan luka dan memar saat ia datang di kastil utara. Belum lagi wajahnya begitu pucat seputih lembaran kertas. Kepala pelayan memberitahunya kalau nyonya Rienna terjatuh dari tebing dan tenggelam ke laut. Bisa dikatakan sebuah keajaiban beliau bisa selamat dari kecelakaan berat seperti itu.

Karena itu dia berusaha begitu keras untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh nyonya. Claye tidak ingin menyia-nyiakan keajaiban yang mungkin Dewi Laut Frostia telah berkati pada nyonya mereka. Tapi sepertinya loyalitas membuatnya buta akan realitas bahwa ia memang butuh bantuan orang lain. Memang pantas Duke naik pitam, dan dia harus berterima kasih atas kemurahan hati yang telah diberikan Duke padanya.

"Kalau begitu saya permisi. Saya akan buatkan ramuan untuk nyonya sebelum saya beristirahat. Akan saya titipkan pada pelayan nanti." Setelah membungkuk hormat, Claye akhirnya melangkah ke luar ruangan bersama kepala pelayan Welch yang mengikutinya dari belakang.

"Terimakasih sudah membela saya tadi, sir Welch." Tutur Claye saat mereka berjalan di koridor megah Istana Utara.

"Tidak perlu berterimakasih, saya hanya melakukan hal yang perlu saya lakukan untuk keluarga Arkewright."

Meski masih berparas lesu, Claye menjawab dengan senyum, "Ah, ya... Sebenarnya saya penasaran, bagaimana bisa nyonya Rienna terjatuh dari tebing?"

Langkah kaki Welch terhenti saat ia mendengar pertanyaan itu, dan hanya dari ekspresinya saja Claye dapat menebak kalau Welch sedikit kesulitan untuk menjawabnya. "Apa mungkin..."

Sebelum Claye selesai merangkai kata, Welch membenarkan asumsinya, "Benar... Nyonya sendiri yang melompat dari atas tebing." Bisa dibilang, upaya bunuh diri. Tapi tentu sebagai kepala pelayan keluarga Duke, Welch tidak bisa mengatakannya dengan gamblang.

"Saya juga punya pertanyaan untuk anda." Welch melanjutkan pembicaraan sambil kembali melangkah. "Apa nyonya bercerita sesuatu pada anda sebelum ini? Kalau tidak salah sir Claye sering bertemu dengan beliau untuk pemeriksaan rutin kan?"

"Ya, kira-kira sebulan sekali. Tapi beliau jarang mengajak saya mengobrol." Jawabnya sambil mengingat-ingat. "Saya pun hanya datang untuk sebatas memeriksa kesehatan nyonya, tapi..."

"Tapi...?"

Claye merenung lalu menggelengkan kepala, "Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja saya merasa kalau nyonya Rienna selalu terlihat kesepian."

"Kesepian ya...?" Semua orang di Istana Utara tau akan hal itu. Duke Arkwright hampir tidak pernah tinggal di kediamannya setelah menikah dengan nyonya Rienna. Bahkan satu hari setelah upacara pernikahan mereka, tuan Eldric lebih memilih untuk pergi ke medan perang daripada tinggal bersama istrinya.

Setelah setengah tahun berjalan, baru sekarang Duke kembali dan seakan ingin menyuarakan kekecewaannya, nyonya Rienna melemparkan dirinya ke jurang tepat di depan mata Duke.

Welch dan pelayan yang saat itu melayani nyonya Rienna begitu panik ketika melihat tuan Eldric juga ikut melompat. Tapi berbeda dengan sang Duke yang bisa menggunakan sihir pelindung, nyonya Rienna kembali dalam keadaan tak sadarkan diri dan tubuh penuh luka.

"Setidaknya saya sudah menyembuhkan luka-luka di tubuh nyonya. Hanya saja demamnya belum juga turun." Ujar Claye kemudian, berusaha untuk mengalihkan topik. "Akan saya buatkan ramuan, bisa tolong panggilkan pelayan untuk mengantarnya nanti?"

"Tentu. Kalau begitu saya akan kembali melihat keadaan tuan Eldric." Langkah mereka terhenti di depan pintu kamar tamu yang kini ditempati oleh Claye. "Silahkan beristirahat untuk hari ini, sir Claye."

-End of chapter 1-

Author note.
Ternyata nulis itu memang lebih lancar kalau pakai hp ya? Apa ada yang sama juga kalau nulis di computer malah mandet idenya?

Over Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang