Chapter 4 : Bayang

574 67 0
                                    

Tidur panjang Rienna terusik saat sesuatu yang dingin menyentuh wajahnya. Gumaman kecil lepas dari bibirnya sebelum kelopak matanya terbuka perlahan.

"...!!"

Suara terkejut datang dari sampingnya ketika kelopak matanya terbuka. "Nyonya...!" Kelu seorang wanita dengan baju pelayan. Dia menutupi mulutnya dengan telapak tangan yang gemetar, seakan terharu dengan apa yang sedang dilihatnya.

"Uh...? Siapa--" Dalam keadaan linglung, Rienna berusaha untuk bangkit dari tempat tidur yang begitu empuk itu. Ia mengangkat tubuhnya untuk duduk dan saat itu juga mulutnya terpaksa untuk kembali tertutup, seakan menolak untuk melanjutkan kata-katanya yang terputus.

Di dalam ruangan besar itu ada 4 wanita berseragam pelayan yang menatapnya dengan wajah terharu. Mereka tertegun di tempat, tangan mereka yang sepertinya tengah sibuk merakit bunga atau mengelap meja kini hanya mengambang di udara, tidak jelas sedang melakukan apa. Beberapa dari mereka bahkan mulai terisak dan meneteskan air mata.

Kenapa pada menangis begini?

Rienna hanya bisa membatin tanpa berkata-kata karena salah satu dari mereka langsung berlari keluar ruangan sambil berteriak 'Nyonya sudah sadar!'.

Nyonya siapa?

Belum juga Rienna sempat untuk memutar nalar, pelayan di sebelahnya sudah berlutut di samping ranjang lalu menggengam tangannya. "Syukurlah! Syukurlah, nyonya! Puji sang Dewi agung, beliau masih melindungi nyawa kita semua!" Kata-kata itu meluncur dari bibir pelayan bagaikan sebuah doa--atau mungkin memang dia sedang memanjatkan doa.

Tapi rasanya ada yang aneh.

Nyonya yang dimaksud ini adalah aku??

Rienna yang bingung dengan prilaku orang-orang di sekitarnya hanya bisa tertegun di tengah isak tangis para pelayan hingga ia mendengar salah satu dari mereka bergumam pelan, "Puji Dewi Frostia, kemurkaan tuan duke tidak akan jatuh pada kami..."

"...Tuan duke?"

Brak!

Bertepatan waktu dengan pertanyaan dari bibir Rienna, pintu megah di ruangan itu terbuka. Entah karena terburu-buru atau memang kekuatan orang yang membuka pintu itu begitu kuat, daun pintu yang tingginya lebih dari dua meter itu hampir membanting dinding.

"--Rienna!"

Yang bergegas masuk ke ruangan adalah seorang pria berpakaian mewah. Kaki senjangnya mengambil langkah panjang, helai rambutnya yang berwarna abu terlihat seperti surai serigala gunung. Sayang kesan baik dari wajahnya yang terukir sempurna harus tertutupi dengan pandangan dingin dari matanya yang tajam.

Menghiraukan para pelayan yang membungkuk untuk memberinya salam, pria itu terus melangkah, mendekati ranjang.

"Tunggu!" Rienna yang masih mengingat jelas wajah pria itu dengan sigap dia turun dari ranjang. Tangannya mendekap bantal, seakan menggunakannya sebagai tameng sebelum berjalan mundur, menjauh dari pria itu. "Jangan mendekat!!"

""....!""

Seperti terkejut dengan apa yang baru di katakannya, para pelayan di ruangan itu terkesiap sambil menutupi mulut mereka. Mereka hanya terdiam, terbujur kaku sembari menatap Rienna dengan terror terpancar di wajah mereka.

Pria yang mereka sebut 'Duke' sempat menghentikan langkah, namun kemudian dengan ragu-ragu kembali mendekati Rienna. Melihat pria itu semakin dekat dengannya, Rienna terus mengambil langkah mundur hingga punggungnya menyentuh dinding.

"Kubilang jangan mendekat--!" Jeritnya sambil mengangkat bantal untuk memisahkan jarak di antara mereka yang semakin menyempit.

Tapi sayang, pria itu sama sekali tak menghiraukan permintaan Rienna. Tangannya meraih lengan sang puan lalu merebut bantal yang sedari tadi menghalangi pandangannya.

"!!"

Di balik sana, mata yang menatapnya dingin itu menunggunya. Meski hanya sekejap mereka berpaut pandang, hawa dingin serasa membelai tengkuknya. Bola mata berwarna abu itu menatapnya tajam bak hewan buas yang akan menerkam mangsanya.

Meski dalam kengerian, Rienna masih berusaha melepaskan diri. "Lepas..!" Seakan sedang mengulang kejadian di malam sebelumnya, rienna memukul dan meronta untuk kabur. "Kubilang lepaskan aku!!"

"Tolong! Kalian..." Matanya terarah pada para pelayan yang masih menatapnya dengan wajah ketakutan, "Kenapa kalian cuma diam saja? Tolong aku!" Rienna terisak. Air mata perlahan mengalir di pipinya.

Rasa takut dan perlakuan acuh dari orang-orang di sekitarnya membuatnya frustasi. Bisa-bisanya mereka hanya menonton saat ada orang yang meminta tolong.

Saat itu ia merasa genggaman di pergelangan tangannya melonggar dan Rienna segera menarik lepas tubuhnya. Tangannya yang baru saja terbebas, terangkat ke udara, "Jangan sentuh aku, dasar penculik kurang ajar!!" Sebelum akhirnya mendaratkan tamparan di wajah sempurna pria itu, meninggalkan bekas kemerahan di atas pipinya.

Setelah bunyi nyaring tamparan darinya, keheningan menghantam ruangan itu. Semua mata tertuju pada Rienna yang juga diam membatu karena suasana janggal di sekitarnya. Para pelayan menatapnya seakan ia sudah melakukan hal diluar batas nalar, sementara pria di hadapannya juga menatapnya dengan wajah sama terkejutnya.

Apa salahnya? Lagipula ia hanya mencoba untuk membela diri. Wanita macam apa yang tidak akan marah jika dipegang seenaknya oleh laki-laki yang tidak mereka kenal?

"Kamu." Rienna membelah keheningan. Matanya tertuju pada pria di hadapannya, "Mau sampai kapan kau menyekapku di sini?"

"...Apa maksudmu dengan menyekap?" Jawabnya setelah beberapa saat, suaranya bergemuruh.

Gimana sih? Dia ini pura-pura tidak tau atau gimana?

"Begini ya..." Rienna menopang tangannya di atas pinggul, "Aku berterimakasih karena sepertinya kamu yang menyelamatkanku dari laut, tapi aku ingin pulang. Nah, sekarang, ada dimana barang-barangku?"

"...Maksudmu pulang ke rumah orang tuamu?" Tanyanya lagi dengan wajah serius.

"Huh? Kemana lagi kalau bukan ke rumah orang tuaku? Lagipula mereka pasti khawatir. Apa sudah ada yang memberi mereka kabar tentang kejadian ini? Kalau belum, mana handpho--"

Kalimatnya terputus. Saat itu, ketika ia menoleh untuk sekedar mencari barang-barang miliknya, Rienna menemukan sesuatu yang janggal. Matanya terbelalak.

Tak jauh dari sisinya, cermin lantai dengan bingkai antik berdiri. Seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Rienna menyentuh wajahnya sendiri sebelum kakinya melangkah mendekat, meninggalkan pria yang masih membatu di tempatnya.

"Bagaimana bisa..." Bibir sewarna buah ceri matang dibalik cermin itu juga ikut bergerak. Bola mata biru cerah yang dihiasi bulu mata lentik membalikkan tatapan kebingungannya. Rienna mengangkat tangannya, meraih rambut panjang yang terkepang dibelakang bahunya, dan bayangan di hadapannya melakukan hal yang sama. Surai sewarna kelopak bunga terjurai hingga pinggangnya.

Disana, terbujur kaku menatapi wajah asing di balik cermin, Rienna akhirnya menyadari kalau saat itu dirinya sedang menempati tubuh orang lain.

-Chapter 4 end-

Author note: Update agak telat karena sibuk plus sedih gak ada yang kasih bintang. Wkwk jangan lupa vote ya!

Over Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang