Chapter 11: Duchess Rienna

370 37 0
                                    

Rienna tak bisa menyangkal bahwa kecupan yang diberikan Eldric terasa manis. Jemari Eldric yang menyentuhnya dengan hati-hati juga menggelitik relung hatinya. Rasanya seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam dadanya yang kian sesak.

Bukan kali pertama baginya, tapi entah kenapa sentuhan lembut di bibirnya itu masih terasa jelas bahkan berjam-jam setelah hal itu berlalu.

Rienna berbaring meringkuk di ujung ranjangnya, sementara Eldric...

Rienna menoleh kebelakang, memeriksa Eldric yang tertidur di sisi lain ranjangnya. Nafasnya terdengar pelan, berirama, menandakan bahwa pria itu tengah tertidur pulas. Wajah tampannya terlihat tenang dalam lelap malam.

Di ruangan itu sama sekali tidak ada jam, tapi dilihat dari warna langit yang perlahan kehilangan gelapnya, pagi akan menyapanya sebentar lagi.

Matanya yang terasa panas karena terbangun semalaman suntuk, berkedip pelan. Rienna hanya bisa mengeluh di dalam hati kenapa pula dirinya bisa begitu gampangnya tergoda dengan ucapan manis yang keluar dari bibir Eldric. Jantungnya yang berdegup kencang setiap kali ia ingat bahwa dirinya dan Eldric berada di atas ranjang yang sama membuatnya terbangun semalaman suntuk.

"Malam ini aku akan tidur disini. Para pelayan akan bicara macam-macam jika aku meninggalkanmu sebelum pagi datang."

Itu yang diucapkan Eldric sebelum dia merebahkan diri di atas kasur. Awalnya Rienna mengira kalau tidak apa jika mereka hanya sebatas berbagi ranjang, toh ranjangnya cukup luas. Tapi kenyataannya, kontras dengan Eldric yang langsung tertidur pulas, dirinya masih belum bisa memejamkan mata hingga pagi menyapa.

Kekanakan sekali, pikirnya, mencibir diri diri sendiri yang mudah sekali goyah. Sebenarnya dia tidak menolak pada kemungkinan cinta baru yang akan datang, tapi entah kenapa Rienna merasa perasaannya pada Jun akan terkesan seperti kebohongan belaka jika ia begitu cepat beralih hati. Bukan berarti ia masih berharap untuk kembali ke dunia itu, tapi Rienna merasa kalau perasaan itulah satu-satunya hal yang masih menghubungkan dirinya dengan masa lalu, dengan dirinya yang asli.

Perasaan yang dipendamnya sejak lama itu seharusnya tidak akan begitu saja terhapus dengan sangat mudah. Tapi jika memang begitu, rasanya...

Rasanya manis pahit cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu tak lain tak bukan hanyalah ilusi semata. Semua kenangannya akan teman dan keluarga, juga harapan dan cita-citanya. Semua itu terasa seperti sebuah mimpi yang sebentar lagi akan terhapus dari ingatan bersamaan dengan sinar matahari yang membangunkannya dari tidur.

Mata sewarna langit menatap redup sinar matahari yang perlahan terlihat dari balik jendela kaca, dan saat ia menutup matanya, linangan air mata menetes, membasahi bantal tidurnya.

"Papa, mama..." Bisiknya pelan, "Rienna kangen rumah..."

Sebelum akhirnya tenggelam ke dalam lelap.

***

"...."

"Papa, mama... Rienna kangen rumah."

Eldric yang kala itu baru saja terbangun mendengar bisikan pelan istrinya sebelum ia akhirnya jatuh tertidur. Suaranya terdengar begitu pilu, berbanding terbalik dengan nada bicaranya yang selalu terdengar seperti kicau burung di telinganya.

Terhenyak untuk beberapa saat, Eldric menyadari bahwa mungkin istrinya menanggung kesedihan di dalam tubuhnya yang mungil itu sendirian.

"Siapkan kertas dan amplop." Ujarnya begitu ia melangkah ke dalam ruang kerjanya.

Satu bawahannya, pria paruh baya berambut pirang, segera menuruti perintahnya. "Sepertinya anda terburu-buru sekali, tuan Eldric. Apa terjadi sesuatu?" Matahari pagi baru saja menerangi daratan utara, bahkan sarapan pagi belum disiapkan oleh para pelayan. Eldric yang dikenal sebagai pekerja keras juga biasanya tidak akan datang ke ruang kerjanya sepagi itu jika memang tidak ada pekerjaan yang mendesak.

Over Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang