🍂🍂
Ini adalah bab Revisi
••
DIA' kali ini tak banyak bicara seperti biasanya. Bahkan minuman berperisa manis asam yang menimbulkan sedikit rasa segar itu sedari tadi hanya dimainkan dengan sedotannya saja. Seekali memandangi beberapa orang yang berlalu lalang seolah bergantian memenuhi coffeshop. Hujan diluar membuat nya jauh lebih sensitif berbicara tentang sebuah perasaan seperti beberapa saat yang lalu. Namun, dia disini, duduk berhadapan dengan perempuan yang tak kalah diam seakan enggan membuka suara lebih dulu. Entah tengah membuatkan agar dia mempunyai banyak waktu untuk mengobrolkan tentang ini, atau memang enggan. Perempuan dengan style-an blues putih, juga rambutnya yang di gerai seolah sabar menanti penggalan-penggalan cerita yang akan keluar dari mulut nya.
Ah, dia jadi ingat kedepannya, kemungkinan akan sulit untuk menemukan kembali waktu seperti ini lagi.
Bukan tak ingin, akan tetapi kesibukannya meronta untuk di prioritaskan. Kembali menghela nafasnya, kali ini berhasil mengundang atensi perempuan yang duduk dihadapannya, untuk sedikit rela menyingkirkan toast varian 'cheezy crispy chicken saos mentai yang sedari tadi dirinya nikmati dengan damai. Dipandangi lekat temannya itu dengan alis yang sedikit terangkat, seolah bertanya 'ada apa? Dia' — perempuan itu lagi-lagi hanya menghela nafasnya dengan kasar, menatap lekat sosok di hadapannya ini yang menunggu sebuah kalimat keluar dari mulutnya. Di teguk beberapa kali minuman yang sedari menjadi korban pelampiasan untuk menguapkan sebuah ragu. Tak lupa berdekhem kecil untuk sedikit mencairkan suasana.
"Marsha, dia apa kabar kak?" Dari banyaknya awalan obrolan, perempuan itu memilih menanyakan sosok yang tak ada dihadapannya, yang entah sekarang tengah apa dan bersama siapa.
Indah — si perempuan dengan blues putih dan rambut yang digerai itu yang sedari tadi diam pada akhirnya menghela nafasnya yang terasa begitu berat. Memilih untuk meneguk air dinginnya guna memberikan sedikit ruang tenggorokannya jauh lebih basah. Menatap lekat wajah temannya lamat-lamat, seolah mencari hal-hal lain dari mata perempuan itu. Indah tersenyum kecil. "Baik Shel. Ya, harusnya begitu. Sejauh ini gue liat nya ya dia baik-baik aja, dia menjalani hidup kayak orang-orang lainnya. Cuma kemarin Noah emang baru aja masuk rumah sakit, jadi ya dia agaknya masih repot aja sama itu karena lagi picky eater banget anaknya. Sejauh ini dia baik. Kamu enggak perlu khawatir begitu." Jawab Indah apa adanya. Samudera bening dalam matanya seolah menenangkan, dia berbicara dengan kata yang terdengar menyebalkan, namun terasa begitu hangat. Perempuan itu mengangguk-angguk paham, dia jadi ingat bagaimana dirinya menemukan sosok Marsha yang luar biasa dari Indah. Juga menemui fakta-fakta yang menyakitkan juga bahagia bagi nya sendiri.
Ah, itu sebab nya semua hal membawanya hingga ke tempat ini.
"Kamu sendiri gimana? Denger-denger, kamu enggak akan bawa anak kamu ke Australia?" Pertanyaan itu, kembali menjadi pertanyaan yang sebal untuk dirinya dengar. Dia jadi ingat sedang apa anaknya sekarang? Ah, di jam 14:20 mungkin anak laki-laki itu masih terlelap bersama Suster Rita yang menjaganya.
"Kenapa?"
Dia mengangguk sebagai jawaban baik dari pertanyaan Indah. Jika menarik kebelakang, sejujurnya masih ragu juga dengan keputusannya untuk meninggalkan sang anak yang belum genap satu tahun. Tapi jika melihat kedepan, sungguhan memang tidak bisa dipertimbangkan lebih banyak lagi. Keputusannya seharusnya memang benar. "Gue cuma takut dia jadi enggak bisa tumbuh-berkembang dengan baik karena gue yang sibuk disana. Percuma enggak bisa liat perkembangan nya satu-persatu karena gue juga enggak bisa membagi fokus gue. Jadi, ya memutuskan buat enggak bawa dia udah gue pikirin banget. Walaupun enggak bohong agak sedikit khawatir dan sakit juga. Lagipula, ibu mana yang mau ninggalin anaknya begitu aja? Tapi karena gue sama Asadel juga udah ngobrol, sama keluarga juga ngobrol mereka setuju aja. Gue enggak mungkin enggak mikirin gimana anak gue kan, kak?" Indah mengangguk-angguk, mencoba memahami situasi temannya ini. Memang, sedari dulu dirinya juga paham betul bagaimana rumitnya menjadi seorang yang berjuang sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better With You
RandomBagaimana aku jatuh cinta, berakhir atau bersama, senang bisa menjalini bersama mu.