••
ZEEFANO barangkali tidak pernah membayangkan bahwa dia akan berada di titik saat ini.
Memori-memori tentang perjalan-perjalanan kelamnya mendadak berputar-putar menjadi sebuah peringatan yang menyakitkan. Beberapa tahun belakangan Zee tidak menyangka bahwa dia menjalani hal-hal yang cukup buruk, dia tak pernah menyadari bahwasanya dia berada diantara luka-luka hitam yang tak mengering sebab obat dari penghujung dunia pun tak pernah dia tuai. Persiapan jatuh cinta dan patah adalah dua hal yang sama-sama menyakitkan, terdengar kompleks dan basi. Dia pernah sangat jatuh cinta sekalipun dia selalu tidak memiliki keberdayaan untuk sekedar mengatakan bahwa dia jatuh cinta'. Peringainya terlalu pengecut untuk berkata, bibir nya terlalu rapat untuk sekedar mengatakan perlawanan, dia terkurung terlalu dalam seolah-olah dirinya hanya menjadi sebuah boneka dengan segala dosa-dosa yang harus dirinya pegang erat. Bukan hanya pada dirinya sendiri, akan tetapi orang-orang dibelakangnya. Ada banyak luka-luka yang dia toreh sekalipun dia menjerit-jerit kesakitan juga, ada yang lebih terluka dibandingkan dia yang hanya mampu untuk berkata iya' — untuk menunduk dan dikendalikan.
Tentang Marsha, Ashel mantan istrinya, Noel anaknya yang pada akhirnya memilih memeluk Tuhan lebih cepat, juga Noah — anak yang tak pernah menggumamkan kata kasih sayang ayahnya sebab dia tak pernah mengenalnya. Ini salah Zee. Jelas untuk kali ini dia lebih rela untuk mengatakannya demikian, semua hancur karena dia yang tak pernah berdaya untuk hidupnya sendiri. Perandaian-perandaian yang dia gumam kan pun rasa-rasanya terdengar munafik. Berkali-kali dia bertanya, apakah dia pantas? Jika boleh untuk meminta pun, Zee mungkin akan memilih untuk bersimpuh dihadapan ayahnya dengan segala luka dan darah yang bercucuran sebab menentang beliau, dibandingkan harus mandi darah dari luka-luka yang tak terlihat seperti sekarang. Ketahuilah ini lebih menyakitkan bagi Zee. Pikirannya bahkan tidak sanggup untuk memberikannya peluang berfikir, apa yang harus dia lakukan?
Ice Americano yang dia pesan masih belum tersentuh sedikitpun, dibiarkan mengembun begitu saja. Kepulan-kepulan asap rokok dari tangannya sedari tadi menantang untuk beradu dengan udara jakarta yang akhir-akhir cukup buruk. Duduk termangu di pojokan dengan mata yang menelisik gerak-gerak silih berganti orang yang mulai berdatangan dan pergi. Helaan nafasnya berkali-kali terdengar berat, ada gundah yang begitu sulit untuk dirinya jelas kan.
"Kemarin gue ngobrol lumayan banyak sama Daniel."
Rokok ditangannya lantas dia tekan pada asbak dan membiarkannya tercampur dengan kumpulan yang lain. Pandangannya beralih pada Chrityan yang mulai menaruh latte nya dan duduk di depan nya. "Situasinya enggak memungkinkan banget kayaknya, gue enggak yakin bisa bantu banyak. Jasson juga mungkin bakal marah besar kalau lo nekat buat datang lagi sekarang. Inget kan? Marsha masih enggan buat ngobrol, amarah-amarah yang dia punya ternyata masih besar banget. Gue juga enggak yakin bisa bantu lewat Kathrina, cewek itu jelas naruh amarah juga sebagai orang yang nemenin Marsha dari awal. Cuma kalau lo cuma diem, gue rasa semuanya enggak akan pernah baik-baik aja, ya kan? Daniel bilang kalau masa-masa sulit Marsha bukan cuma ketika dia hamil aja, tapi sampai sekarang." Zee menaikkan satu alis nya, dia semakin tertarik dengan apa yang dikatakan Chrityan. Masa sulit? Dalam benaknya, jelas ini bukan soal finansial. Marsha lahir dari keluarga yang cukup berada, dia tidak mungkin merasa sulit dalam hal ini, ataupun tidak mungkin keluarganya membiarkan Marsha merasa begitu, kan?
Chrityan menghela nafasnya. "Noah ternyata prematur, bahkan dia ketika lahir harus berjuang di nicu selama beberapa Minggu. Kebayang kan gimana strugle nya jadi Marsha? Daniel bilang, anak itu hampir aja kehilangan nyawanya, tapi Tuhan kayaknya masih mau kasih kesempatan buat kalian berdua."
"Gue enggak merasa ini kebetulan sih, tapi takdir."
Chrityan menyesap kopi nya, dan mulai menyalakan rokok. Sedang Zee masih termangu. Ada banyak yang masih belum Zee pahami tentang situasi sekarang, barangkali dia ini terburu-buru hingga terkesan memaksakan. Tapi bolehkan jika Zeefano Asadel Najendra ini berbicara tentang naluri sang ayah sekarang? Sekalipun rasanya brengsek sekali ketika tidak pernah hadir pada setiap hal yang menyakitkan, justru kini harus muncul dengan situasi yang tidak mengenakan. Ada banyak hal yang masih belum mampu dia cerna dengan baik pula, kepingan-kepingan luka dari segala patah masih menggerogoti. Betapa berdosanya Zee yang benar-benar apatis. Dia bahkan tidak pernah berbicara tentang sebuah kesalahan hingga semuanya menjadi sangat fatal. Dia jadi membayangkan bagaimana hancur nya seorang Marsha beberapa tahun belakangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Better With You
RandomBagaimana aku jatuh cinta, berakhir atau bersama, senang bisa menjalini bersama mu.