••
"Menurut mu, Jakarta gimana?"
Dia terkekeh kecil. Mendongakkan kepalanya untuk menatap langit malam ini yang justru kosong tanpa bintang yang bertaburan. Jakarta — dia pernah tumbuh dan patah disana. Banyak hal yang mungkin akan sangat sulit jika dijabarkan dengan kata-kata yang ringkas. Yang jelas, Jakarta benar-benar mengajarkannya tentang banyak hal. "Mimpi — mungkin." Perempuan dengan rambut yang digerai itu menolehkan kepalanya, menatap intens seolah menunggu jawaban lebih lanjut dari mulut laki-laki disampingnya ini.
Lagi-lagi dia — Azka Pramana Aditya laki-laki kelahiran Rangkas Bitung itu terkekeh. "Serius, Jakarta itu mimpi. Dulu ada banyak hal yang dirancang disana, mungkin ada banyak juga gagal yang berceceran. Enggak bohong bahwa Jakarta menawarkan banyak perasaan-perasaan. Aku banyak belajar disana, tentang bisnis dan juga relasi yang enggak sepenuhnya mudah. Hal yang menyakitkan dan menyangkan campur aduk. Aku juga enggak tahu harus mengatakan seperti apa, kota itu padat dan riuh. Tapi suasana itulah yang menyenangkan dan menabur banyak rindu. Mimpi-mimpi yang mungkin enggak berhasil, itu yang membuat aku berani ingkah dari ibu kota yang menjadikan aku seperti sekarang" jawabnya dengan senyum di akhir cerita. Dia mengerjapkan matanya beberapakali ketika Azka benar-benar menyelesaikan kalimatnya. Dia merasa bahwa Azka benar-benar menaruh sebuah kota sebagai memoriam yang mungkin tidak akan laki-laki itu lupa. Dia menganggukkan kepala, memahami sekalipun tidak bohong bahwa dia sedikit tak mengerti alasan laki-laki itu menjadikan Semarang sebagai persinggahan.
"Kamu enggak ada rencana buat balik ke Jakarta lagi?"
"Jakarta kayaknya bukan kota yang nyaman enggak sih buat ditinggali?"
"Kenapa?"
Azka menggeleng, dia menjatuhkan punggung nya untuk bersandar pada kursi balkon apartemen perempuan di sampingnya. "Sumpek aja. Tapi untuk membangun masa depan, aku masih mengandalkan Jakarta."
"Sumpek atau karena patah hati?"
Keduanya saling tertawa. Azka menatap perempuan ini yang masih saja terkekeh dengan intens. Dia benar-benar dipertemukan dengan seseorang yang jiwanya cukup besar, memberikan telaga bagi Azka yang kekeringan dan terluka. Merasa diperhatikan, dia menghentikan tawanya dan ikut menatap Azka dengan lekat. "Kenapa?"
"Jakarta enggak sepenuhnya patah hati kok. Justru Jakarta juga memberikan cinta nya lewat kamu."
Dia terkekeh kecil, "Harus banget yah gombal gini? Hahahah."
°°
ADA yang pernah bilang ; "jangan cintai seseorang lebih besar daripada kuasa mu dan semesta mu, sebab yang ditawarkan adalah kecewa dan sakit."
Dia pernah sangat jatuh dalam cinta, dia juga pernah menawarkan tentang sebuah penantian panjang yang pada akhirnya dirinya tidak menemui ujung cerita yang di damba. Dia juga pernah bersedia menunggu cukup lama sebelum dia menyadari bahwasanya jatuh cinta dan segala hal yang menyangkut perasaan bukan hanya tentang bagaimana dia mampu berdiri berlama-lama tanpa harapan yang pasti. Tapi tentang bagaimana dua perasaan itu sama dan selaras. Kenyataannya ; mungkin dia cukup banyak menabur benih-benih harapan pada dia —— perempuan yang cukup mampu menanam lapang dada nya hingga menjadi taman-taman bunga yang bermekaran, kemudian kembali menjadi gersang sebab tak pernah temui sebuah telaga untuk menyiram, perempuan yang dia harap cukup enggan sekalipun dia memohon. Bukan dirinya yang dia mau, dan itu mutlak seharusnya dari dulu dia pahami itu. Tentang kecewa dan juga trauma yang membersemai luka-luka yang besar, dia —— Azka Pramana Aditya baru memahaminya, bahwasanya menjadi Marsha memang tidak mudah. Dia yang selama ini mendesak Marsha untuk lebih legowo menerima banyak hal yang terjadi dan menyebutnya, sejatinya Marsha pun begitu, tapi lagi-lagi bukan dia orang yang Marsha yakini mampu menjadi sebuah obat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Better With You
RandomBagaimana aku jatuh cinta, berakhir atau bersama, senang bisa menjalini bersama mu.